Rafi POV
Kemunculan gossip tentang Bella,membuat gue stress. Berusaha nyari solusi buat dia, tapi gue bingung gimana caranya? Kuliah pun gue gak bisa fokus. Ngomong-ngomong gue kuliah jurusan sastra, jangan tanya gue bisa bikin karya apa. Novel. Salah satu dari sekian banyak karya sastra yang bisa gue ajakin fokus. Namun ide gue, tersedot karena kasus Bella.
Sial
Laptop gue lebih banyak jam nganggur, sengaja gue anggurin. Karena percuma gue buka Microsoft Word, gak bakal ada yang bisa gue tulis.
"Bro. Ke kafe biasanya yuk?"Tiba-tiba Bimo ngagetin gue
"Sial. Lo bikin gue kaget, tau gak?"Kata gue, berusaha mematikan laptop yang sudah dinyalakan setengah jam
"Sorry bro. Ayok? Lo lagi bokek?"Tanya Bimo
"Enak lo ngomong. Gue gak pernah kehabisan duit. Honor novel"kata gue dengan ringan
***
Kafe.
Gue tersiksa kalau harus ke tempat super pengap ini. Kebanyakan pengunjung, yang datang dengan tujuan ngerumpi, atau menggunakan wi-fi gratis. Membuat gue gerah.
Beda lagi ceritanya kalau gue kesini bareng Bella
Lagi-lagi nyambung ke Bella, pusing gue mikirin dia. Bukan tanpa sebab,setiap gue mikirin dia. Sedih
"Bro lo mau minum apa?"
"Kopi hitam aja. Lagi mager minuman yang manis"kata gue
"Oke"
Kopi hitam? Baru pertama kali gue nyobain kopi hitam. Biasanya Mocca Late. Tapi gue pengen mengekpresikan pikiran gue melalui warna kopi yang gue pesen. Hitam. Ya, pikiran gue hitam, bahkan goresan putih tak mampu menetralkan hitam pekatnya otak gue.
Kopi Hitam. Gue masih bertanya-tanya, apakah ini kopi? Warnanya lebih mirip warna oli kendaraan. Menjijikan. Sama menjijikannya dengan pikiran gue yang kosong. Tanpa ragu, gue minum juga, oli hangat yang terdapat di hadapan gue
"Bro. Lo ada masalah apa? Seminggu ini, lo kayak orang gila. Melamun aja kerjaannya, terus kadang lo ngomong sendiri dengan ekspresi marah"Tanya Bimo, menyesap Mocca Latenya
"Sial. Kenapa lo tau? Gue emang lagi dibawah tekanan. Naskah novel gue bahkan ke tunda beberapa minggu"
"Mending lo ceritain ke gue"
"Gue mager"
"Halah"
Gatau apa yang membuat gue gini. Intinya kalau cerita, bingung mau ceritain gimana.
Luar kafe terlihat sangat damai, orang-orang ber lalu-lalang dengan santai menyebrangi jalan layang. Beberapa mobil, berhenti di depan jendela kafe, karena parkiran yang sudah terlalu sempit. Senja, menyapa hari, menenggelamkan tentramnya matahari yang semula bersinar berseri-seri. Awan putih, berhambur dimana-mana, tidak bersatu, sehingga tidak membentuk pola. Sayangnya, awan sore ini kurang banyak. Pohon rindang, bergoyang kanan dan kiri, mengikuti arah mata angin. Menambah kesejukan di tengah kota metropolitan. Walau banyak kendaraan yang menyebabkan polusi, ada beberapa orang yang mengendarai sepeda. Ramah lingkungan. Sebutan untuk pengendara sepeda tersebut, mereka santai dan berjajar menembus panjangnya jalan yang ramai.
Sial. Gue berasa bikin novel, kalau gue disuruh ngulang kata-kata gue tadi. Jelas lah kalau gue lupa
"Bro. Gue risih, ngeliat lo melamun mulu"kata Bimo
"Sorry bro. Gue emang lagi kacau"kata gue jujur
"Gue punya suatu tempat yang bisa melepas beban lo"kata nya dengan percaya diri
Gue mengangkat alis "Serius? Tempat apa tuh?"Tanya gue meremehkan
"Lo liat aja nanti. Yuk,cabut. Gue yang nyupir"Bimo langsung merenggut barang-barangnya yang berada diatas meja
***
Author POV
Tanpa banyak omong, Rafi menerima tawaran Bimo. Bukan karena apa-apa, tapi diam-diam Rafi juga mendambakan hang out secara pribadi. Setelah Bella ke Jepang, belum ada yang mengajaknya jalan, secara pribadi. Paling-paling hang out satu fakultas, atau reunian. Itu pun, tidak bisa dibilang hang out
. Karena setiap detik, digunakan untuk mengecek ponsel, berfoto-foto selfie ratusan kali, foto bareng dan mengupdatenya dengan sebuah caption "Senangnya bisa ngobrol lagi bareng temen lama" dan semua itu adalah kesalahan besar, omong kosong. Ngobrolnya tidak seberapa ketimbang menyalakan LCD ponsel. Bahkan percakapan yang dilakukan,hanya sekedar basa-basi. Bertanya alamat rumah,nomor ponsel,sosial media, tempat kuliah,jurusan kuliah. Dan basa-basi tersebut sangat terlihat sangat palsu, dibuktikan dari tatapan mata si pembicara yang menatap layar ponsel, yang diajak berbicara pun tentu risih, namun juga bingung ingin menegur bagaimana. Terkadang sangking asyiknya main ponsel. Kita sudah selesai berbicara sepanjang kereta api pun si pengajak bicara masih tetap berkutat pada ponselnya. Tidak jarang yang diajak berbicara memberi kode seperti: pura-pura batuk, menghela nafas sepanjang-panjangnya,ada juga yang frontal "Lo denger gak gue ngomong apa?". Itu saja cuplikan singkat reunian yang pernah dialami Rafi. Hal itu membuatnya malas mengikuti kegiatan seperti itu lagi. Sehingga sebagian besar waktunya digunakan untuk berdiam diri dikamar, ditemani laptopnya yang berjasa. Dan pandangan Rafi terhadap hang out pribadi tidak se negatif, reunian ataupun jalan-jalan bareng teman se fakultas. Menurutnya, jika kita pergi hanya dengan orang-orang tertentu. Pasti akan lebih fokus terhadap tujuan mereka. Memang pandangan Rafi terlihat tidak jelas. Namun ia punya alasan kuat, yang membuatnya semangat."Melamun lagi"kata Bimo tiba-tiba
"Sorry bro, gue emang gak bisa membohongi otak ini. Jadi gue langsung balik , makasih waktunya"Rafi menggendong tas hitam ke pundaknya
Rafi menoleh ke arah Bimo "Tempat ini keren, bisa jadi referensi kalau lagi stres"
"Telpon aja kalau butuh bro"
**
Rafi POV
Adakah rasa yang jauh lebih pahit daripada ini? Jika ada maka lumuri aku dengan semua itu.
Adakah dingin yang lebih dingin daripada kutub utara? Jika ada maka bekukan lah aku dengan semua itu kepadaku
Adakah panas di dunia ini yang melebihi matahari? Jika ada maka pangganglah aku dengan semua itu
Adakah gelap di dunia ini yang tak bisa di terangi? Jika ada perangkapkanlah aku di dalam semua itu
Jangan kepadanya, ia terlalu lembut untuk menanggung semuanyaApakah aku diberikan kesempatan untuk melihat sinar senyummu seperti dulu? Namun kau di luputi sebuah duka, tak pernah terbayang bagaimana jadinya jika aku adalah dirimu.
Bela, berjanjilah padaku. Bahwa kita akan berjumpa lagi
**
Tbc
Love, Rebravewhite+

ČTEŠ
Begin A Figthers
Akční"Gak akan mau jadi anak beladiri yang kelakuannya kaya laki-laki"Bella berusaha meyakinkan Ibunya untuk tidak mendesaknya lagi. Bella adalah gadis feminim, tentunya ia enggan menerima tawaran yang akan menghilangkan nilai feminimnya. Dengan berat ha...