BAB 13

185K 13.7K 2.9K
                                    




AIR mata Ira kering karena menguras tangis. Di sampingnya terbaring Alden dengan ditemani selang infus di punggung tangan kiri cowok itu. Sejak tadi Alden belum siuman dari pingsannya. Bunda cemas, begitu pun Ira. Saat ini Bunda sedang salat di masjid. Sementara Ira tidak karena sedang berhalangan.

"Kamu bisa jahat ya, sama aku?" tanya Ira lebih kepada angin malam. "Kamu sakit kayak gini karena seseorang yang sama sekali nggak peduli sama kamu. Sementara aku yang sangat peduli sama kamu, kamu buang kayak sampah."

Ira mendongak. Mempertanyakan pada diri sendiri kenapa orang seberuntung Iris harus menyia-nyiakan Alden. Iris memiliki apa pun yang dia mau. Talenta, cowok, bahkan hal-hal yang Ira inginkan ada pada Iris. Lalu kenapa tidak sekali pun Iris peduli pada Alden? Kalau jadinya seperti ini, Ira rela Alden bersama Iris... yang tidak Ira rela adalah bila Alden menderita.

Tidak apa bagi Ira. Toh, patah hati sudah menjadi makanan sehari-harinya.

Krieeet....

Pintu depan menggeser terbuka. Ira menoleh perlahan, terkejut melihat Iris berada di sana bersama Ari. Ira memang menelepon Ari untuk segera ke rumah sakit karena penyakit Alden kambuh. Namun dia tidak menyangka bahwa Ari akan membawa Iris. Dari sekian banyak orang yang bersama Ari, kenapa harus Iris yang melihat ini?

Ada raut bingung sekaligus cemas di wajah Iris ketika melihat Alden. Hal ini membuat Ira mendengus geli. Kadang cewek akan baru nyesel kalau sudah terjadi sesuatu yang buruk. Contohnya adalah wajah Iris sekarang. Sangat menyebalkan.

"Alden...?" tanya Iris, ling-lung. Matanya kini mengarah pada Ira. "Ra, Alden kenapa?"

Ira sepenuhnya mengabaikan Iris. Dia berdiri. Berjalan menuju Ari dan Iris hingga mereka berhadap-hadapan. Jarak mereka hanyalah batas pintu.

"Kayaknya lebih baik kalo lo pulang dulu, Ar. Biar gue di sini yang jaga Alden."

Tidak mendapatkan jawaban Ira, Iris menoleh ke arah Ari, menuntut penjelasan. Namun Ari hanya menatap Ira dalam diam. Membuat Iris bingung setengah mati. Baru saja Iris hendak mengambil langkah menuju Alden, Ira menghalanginya.

"Lo nggak berhak ke sana," ucap Ira dingin. Tangannya mencengkeram erat pergelangan tangan Iris. "Lo sama sekali nggak berhak."

"Maksud lo apa, sih? Apa salah kalo gue jenguk Alden?"

Cewek berengsek.

Menurut Ira, Iris adalah antagonis yang bersemayam menjadi protagonis gadungan. Dia lebih kejam dibanding Ira. Dia tidak memiliki perasaan, apatis, bahkan yang terpenting dia tidak peduli dengan perasaan orang lain. Mengapa Alden bisa menyukai cewek seperti itu?

Keadaan hening dan canggung untuk sesaat. Iris dan Ira saling pandang sengit. Sementara Ari hanya menghela napas berat.

"Is... Iris...."

Suara parau itu memecah keheningan di antara mereka berempat. Tiga kepala menoleh ke arah satu, yang terbaring di tempat tidur. Memanggil salah satu dari tiga kepala, mungkin merasakan kehadirannya.

"Airysh...."

Ira tidak percaya ini. Saat Ira melakukan segalanya untuk Alden, cowok itu malah memikirkan Iris. Menurut Ira, Alden sama saja. Di otak Alden mungkin Ira hanya... 0,05 persen.

Dengan perasaan terluka, Ira mengambil tas jinjingnya dan berderap keluar kamar rawat. Ira sempat menyenggol keras bahu Iris, tapi bahkan cewek itu tidak melawan sama sekali. Iris hanya terpaku melihat Alden.

Lagi-lagi hening ketika Ira berlalu pergi. Ari merasa sesak saat melihat Iris menatap Alden. Seolah sahabatnya itu bisa kapan pun merebut Iris dari sisinya.

I Wuf UKde žijí příběhy. Začni objevovat