BAB 1 - Pulang

70 3 1
                                    

Siang begitu panas. Matahari tanpa malu menyembulkan wajahnya. Dava mengangkat barang-barang bawaannya masuk ke bagasi mobil, dibantu oleh Pak supir yang menjemputnya. Merasa semua barang telah berdiam di tempat yang tepat, mereka segera masuk ke mobil dan melesat meninggalkan area Bandar Udara.

"Bagaimana, Nak Dava? Enak tinggal di sana?" Pak Sarto – supir Dava – memecahkan keheningan.

"Lebih baik daripada di sini, Pak," jawab Dava sembari tersenyum miris. Pak Sarto tidak melanjutkan niat untuk bertanya. Beliau tahu maksud dari jawaban Dava tersebut. Akhirnya perjalanan itu hanya diisi dengan keheningan.

Bukannya beristirahat, setelah sampai, Dava hanya membantu Pak Sarto menurunkan barang-barang bawaan. Lalu tanpa menunggu lagi, Dava bergegas melajukan mobil pribadinya. Tak ia pedulikan teriakkan Papanya – karena ia bahkan belum menyapa orang rumah.

Mobil kian melaju saat memasuki jalan panjang yang berujung pantai. Lalu secara mendadak Dava menginjak pedal rem, menimbulkan bunyi decitan. Di sinilah ia. Di tepi jalan yang lengang seorang diri. Menunduk dalam di atas kemudi. Merasakan perih yang kian melesak masuk setiap kali ia pulang ke rumahnya. Menyublim bersama bulir kerinduan yang menetes perih yang tertatih. Ya, dia sadar. Dia telah pulang.

***

Langit belum sepenuhnya berganti jubah pagi saat Natta menapakkan kakinya memasuki SMA Garuda Bangsa. Sunyi, sepi. Begitulah pemandangan yang ia dapatkan di dalamnya. Kakinya terus menjejak lapangan. Melewati koridor panjang, hingga masuk ke sebuah ruangan di samping perpustakaan.

Ruang OSIS. Begitu tulisan di pintu ruangan itu.

"Pagi, aku pulang," sapa Natta bersemangat kepada anggota OSIS yang sudah hadir.

"Pulang? Emang rumah lo?!" ledek Khai, satu-satunya cewek di ruangan itu selain Natta, sekaligus sahabat baiknya.

"Pulang dari liburan maksudnya gitu, loh!" Natta terkekeh kecil.

"Dasarrr!" celetuk Nugi, siswa pindahan saat kelas X semester II. Natta masih dengan kekehannya.

"Oh ya, Rei, bagi jadwal MOS hari ini dong. Btw, aku tutor kelas berapa ya?" tanya Natta pada ketua OSIS mereka.

"Ini. Udah lengkap tuh tugasnya di situ. Masukin aja ke belakang name tag." Rei menyerahkan selembar kertas sedang seukuran name tag panitia MOS.

"Wah... Emang lo ketua OSIS kritis, Rei!" Rei hanya terkekeh mendapat tinjuan pelan dari Natta di bahunya.

"Ya udah, sambil nunggu yang lain datang. Kita cek tugas masing-masing bidang ya. Buat yang bagian PBB boleh ke lapangan. Barisin anak baru yang udah datang," kata Rei tegas.

Semua panitia MOS – yang berasal dari seluruh anggota OSIS – segera fokus dengan tugas masing-masing, termasuk Natta yang langsung sibuk menyiapkan materi di kelas yang akan dia bimbing nanti.

***

Dava terbangun karena bunyi detak jam dinding. Eh salah, maksudnya teriakan jam beker. Matanya terbuka pelan dan mengerjap silau ketika larik-larik sinar matahari dari sela tirai jendela di seberang tempat tidur menyorot langsung ke matanya.

Seluruh tubuhnya terasa tak bertenaga. Ia masih jet lag. Ya bayangkan saja, dia tidak istirahat sedikit pun kemarin. Bahkan ia baru memejamkan matanya pukul sebelas malam, setelah hanya tidur sebentar selama perjalanan panjangnya dari Brazil menuju Indonesia, tanah kelahirannya.

Dengan malas, Dava bergegas mandi untuk memulai hari barunya lagi di kota ini. Kota yang telah ditempatinya sejak ia masih orok, bahkan saat ia masih dalam kandungan.

Kamu akan menyukai ini

          

Setelah merasa siap, Dava berpamitan pada Bibi Sari – pembantu di rumah itu – untuk berangkat ke sekolahnya. Seperti biasa, dia menggunakan mobil pribadinya – hadiah ulang tahunnya yang ke-16.

Mobil Dava memasuki area parkir SMA Garuda Bangsa. Setelah memarkirkan mobilnya dengan sempurna, Dava melesat hendak mencari daftar pembagian kelas baru. Namun langkahnya terhenti ketika melihat Kris – adik kelasnya dulu yang memang akrab dengannya – sedang berbicara dengan seorang cewek.

"Natt, sukses ya nge-MOS-nya. Kayaknya semangat banget setelah keluar dari kelas anak MOS lo. Btw, kita sekelas lagi loh," ucap Kris, menepuk puncak kepala Natta.

"Ish Kris! Nepuknya slow aja kali! Jelas dong semangat. Natta gitu loh," jawab Natta semangat. Jempol kanannya menabrak dadanya dengan bangga.

"Btw... gue sekelas sama lo lagi?! Yahhh...." sambung Natta, berlagak sedih.

"Sial! Nggak gitu juga kali muka lo," kesal Kris, menoel hidung Natta.

"Hehehe..." Natta tertawa dalam bentuk suku kata. "Becanda, ding. Udah ya Kris, gue mau lanjut dulu," tambahnya, lantas berpamitan, yang dibalas dengan senyuman dan lambaian tangan oleh Kris.

"Woi!!!"

Kris menoleh kaget ke sumber suara di belakangnya.

"Eitsss!" sentaknya. "Dava? Wihhh... Ma bro udah pulang?" Kris melangkah mendekati Dava. "Oleh-oleh?" Lalu menengadahkan tangan di depan cowok itu.

"Setan lo! Tanya kek apa kabar, ini malah nanya oleh-oleh," sembur Dava.

"Oke oke. Lo apa kabar nih? Udah tuh," ucap Kris nyengir.

"Nggak ikhlas pertanyaan lo. Gue baik. Lo kayaknya yang nggak baik. Makin buruk gue denger. Masih sering masuk kantor guru nggak lo?"

"Yoa. Masih. Gue peringkat terakhir lagi," sahut Kris santai. Dava menggeleng-gelengkan kepalanya. Nggak nyangka dia masih kalah nakal dari Kris.

"Btw, siapa tuh cewek?" tanya Dava penasaran. "Itu yang barusan ngomong sama lo," lanjutnya saat melihat Kris mengerutkan dahi.

"Oh itu. Gue lupa bilang, nih. Kita sekelas loh. XI IPA 1. Nah, cewek tadi itu sekelas kita. Namanya Natta," jelas Kris panjang.

"Kok gue nggak pernah liat?"

"Ya elo aja hiatus di negara orang. Gue aja ngabisin waktu sama lo cuma awal-awal gue masuk. Ya untung kita udah kenal lama dari SMP," kata Kriss. "Akhirnya sekelas juga gue sama senior. Hahaha..." Kris tertawa, meninggalkan Dava yang sudah kesal dibuatnya.

Dava memutuskan untuk mencari Gibran – sahabat karibnya – di deretan kelas XII IPS sebelum bel masuk berbunyi.

Dava tak perlu repot-repot melihat daftar kelas Gibran, atau bertanya pada siswa lain, karena saat naik ke lantai tiga, tepat di jajaran kelas XII IPS, Dava sudah menatap punggung sahabatnya itu.

"Woi, Gibran!" panggil Dava dan segera si empunya menoleh ke belakang. Dava dengan senyum khasnya berjalan menghampiri Gibran. Tangan kirinya bersarang di saku celana, sedangkan tangan kanannya memegang tali tasnya yang hanya menggantung di sisi kanan.

"Yooo, akhirnya lo balik juga. Enak nggak di sana?" tanya Gibran sembari ber-high five dengan Dava dan mereka saling memberi tepukkan pelan di bahu.

"Lumayanlah buat pengalaman baru." Dava tertawa kecil. "Lo apa kabar? Baru aja gue mau ke kelas lo," ucap Dava yang membuat alis Gibran terangkat satu.

"Emangnya lo tahu kelas gue?"

Dava mengeluarkan tawa khasnya. Tawa yang semakin membuat kaum hawa menaruh hati padanya. Kenapa? Karena jelas tampang Dava memang memikat. Tapi sayangnya, belum ada satu pun siswi di sekolah ini yang berhasil masuk ke hati Dava. Mereka sampai berpikir bahwa Dava itu gay, dan pasangan gay-nya itu Gibran.

"Siapa sih yang nggak tau kelas seorang Algibran Vanjulio? Anak IPS yang pintar dan murah senyum sama anak-anak di sekolah, cowok idaman, tajir, ganteng, macho...."

"Kampret! Lebay banget lo!" Gibran memotong perkataan Dava yang mulai menjurus ke arah yang aneh-aneh.

"Eh," panggil Dava. Gibran menaikkan sebelah alis. Dava terdiam sebentar, memperhatikan Gibran dengan pandangan yang sudah dimengerti oleh sahabatnya itu. Gibran lantas menepuk bahu Dava sampai dia mengerjapkan mata beberapa kali, lalu kembali fokus kepada lawan bicaranya.

"Jangan dipikirin lagilah! Come on, Dav. Bukan saatnya lo ngingat itu lagi. Hidup berjalan, dan ini takdir lo. Lakuin apa yang bisa lo lakuin sekarang. Berhenti menyalahkan siapa dan apa," kata Gibran, membuat Dava menghela nafasnya dalam. Dava menunduk dan memandang kakinya yang bergerak-gerak membentuk pola melingkar.

"I know," sahut Dava. "Tapi gue nggak bisa. Setiap kali gue lagi diem, pasti... lo taulah maksud gue apa." Gibran menganggukkan kepalanya mengerti.

Dava masih tetap dalam tunduknya. Terkurung untuk merasakan perih itu lagi. Perih yang rutin muncul ke permukaan, dikarenakan luka lama yang terus membekas. Luka yang selalu melebam membiru. Kau tahu kan bagaimana sakitnya luka dalam?

Dan itulah yang Dava rasakan. Mendapati dirinya terjatuh, tapi alih-alih beranjak bangun, dia malah terjerembab ke dalam hingga jatuh. Membiarkan raganya tenggelam ke dalamnya begitu dalam. Merelakan sepenuhnya dirinya menjadi bagian dari ruang itu. Menepikan pedih yang menggores sekujur tubuh saat dia tersungkur.

Dia hanya terus bertanya, kapan perjalanan pedih ini berakhir? Di pantai bahagia mana ia akan bermuara?

Dava akhirnya mendongak dan menatap Gibran dengan senyum tipisnya, saat mendengar bel masuk berbunyi.

"Gue tunggu lo di kantin pas istirahat nanti. Daahh!!!" pamit Dava langsung meninggalkan Gibran di belakangnya.

***

"Natt, makan yuk. Gue belum sarapan pagi tadi. Mumpung anak-anak MOS juga lagi istirahat. Kita kan tutor, entar masuk kelas lagi," ajak Khai, sesaat setelah menghampiri Natta yang sedang meng-handle kelas X-5 – sementara Khai di kelas X-3.

"Ya udah, yuk!"

"Natt, lo sekelas sama anak exchange itu ya?" Khai bertanya, membuat Natta mengernyit bingung.

"Siapa?"

"Itu lohhh... Kak Dava. Dia kan pertukaran pelajar ke Brazil tahun lalu. Tapi dia sempat jadi Pan-MOS di kelas gue dulu. Dia ngulang kelas XI tahun ini bareng kita," jelas Khai panjang kali lebar.

"Gue ngak tau, Khai."

"Ahh elo mah... nggak update!" Khai mengibaskan tangannya di depan wajah Natta.

"Daripada lo ... Gosip mulu. Udah ah, yuk cepetan!" Natta menarik tangan Khai tergesa. Khai hanya pasrah ditarik seperti kerbau dicucuk hidungnya.

"Eh, kita mau ke kantin yang mana nih?" Natta memberhentikan langkah mereka.

"Makanya nanya dulu kek. Ini main narik-narik aja. Emang gue delman?! Pake di tarik-tarik segala!" protes Khai. Natta terkikik geli.

"Maaf, deh. Kalo lo delman, gue yang narik, gue kudanya dong?"

"Emang!" Khai terkekeh setelahnya.

"Dasar! Manis-manis gini dibilang kuda."

"Emang permen, manis?!"

"Yee... dasar! Sirik bilang aja kale." Beginilah mereka kalau sudah bersatu, berceloteh ria, saling meledek satu sama lain.

"Udah deh. Capek gue berdebat sama lo. Kita ke kantin sana aja yuk!" Natta mengarahkan telunjuknya ke arah kanan. Mereka pun berjalan menuju 'pabrik energi buat kampung tengah' alias kantin. Tentunya masih dengan celotehan yang makin lama makin ngawur.

***








~Valentin Vaval

(22 Agustus 2016)

Yang Orang-Orang Sebut CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang