Birdi si burung nuri kecil yang belum bisa terbang. Selama ini Birdi selalu diam di dalam sangkar. Setiap hari ayah dan ibunya, yang bergantian mencari makan untuk Birdi.
Ayah dan ibu memang belum mengizinkan Birdi terbang, karena memang dia masih kecil.
Tapi sekarang Birdi sudah merasa dirinya besar, dan Birdi ingin belajar terbang.Birdi pun belajar terbang sendiri saat ayah dan ibu sedang mencari makanan di hutan. Namun, belum juga terbang tinggi, Birdi sudah terjatuh dan sayapnya patah.
“Aaaaaa... sayapku... sakiiiit... ayaaaaaah.... ibuuuuu....” tangis Birdi kesakitan.
Untung saat itu juga ayah dan ibu pulang. Melihat anaknya terjatuh, ayah pun langsung mengangkat Birdi dan membawanya ke sangkar.
“Kenapa tidak menunggu ayah dan ibu pulang kalau mau belajar terbang Birdi. Kalau sendiri seperti ini kan bahaya. Untung kami segera datang, dan sayapmu bisa langsung diobati.” Kata ibu khawatir.
Sejak saat itu Birdi pun jera, tidak mau belajar terbang lagi. Dia lebih memilih diam di sangkar menunggu ayah dan ibunya pulang membawa makanan.
“Sepertinya sayapmu sudah sembuh nak, apa tidak mau belajar terbang lagi? kali ini ayah yang ajari,” ajak ayah saat sore hari.
“Tidak mau ah yah, aku di sangkar saja. Aku pokoknya tidak mau terbang lagi. takut jatuh. Sakit sekali saat sayapku patah,” tolak Birdi yang takut kejadian jatuhnya terulang.
“Jatuh sekali itu wajar, ibu juga dulu waktu belajar terbang jatuh beberapa kali. Tapi nggak jera buat belajar lagi. jadinya ya bisa mahir terbang seperti sekarang.” Ibu ikut meyakinkan Birdi.
“Pokoknya aku nggak mau terbang lagi. titik.” Tegas Birdi.
Dan benar saja, Birdi tidak mau terbang lagi. Sudah dibujuk berapa kali pun, dengan berbagai cara apapun Birdi tetap tidak mau terbang.
Tidak peduli teman-temannya mengejek Birdi yang tidak bisa terbang, Birdi tetap tidak peduli. Asal tidak terjatuh, dan tidak patah lagi sayapnya, Birdi memilih untuk tidak terbang.
Suatu hari ayah dan ibu Birdi pulang terlambat saat mencari makanan di hutan. tidak bisanya mereka pulang hingga sore hari.
Biasanya siang hari pun mereka sudah kembali dengan berbagai macam makanan. Tapi hari hampir menjelang malam, ayah dan ibunya belum juga pulang.
“Aku harus mencari mereka. Aku takut terjadi yang tidak-tidak pada mereka. Tapi aku harus cari dimana? Lalu bagaimana caraku mencari ayah dan ibu? Berjalan? Itu sih bisa seminggu kemudian aku bertemu ayah dan ibu.” Ujar Birdi makin cemas.
Tidak ada jalan lagi untuk Birdi. Dia harus terbang mencari ayah dan ibunya. Tapi Birdi masih takut untuk terbang.
Birdi pun bingung, antara mengikuti ketakutannya dan tidak terbang, atau menghentikan kecemasan dengan terbang mencari ayah dan ibu.
“Aku harus berani. Aku pasti bisa. Aku pasti bisa terbang. Harus berani demi ayah dan ibu,” Birdi terus menyemangati dirinya. Keputusannya sudah bulat, Birdi akan mencoba untuk terbang.
“Berani.... berani... aku pasti bisa... aku pasti bisa...” ucap Birdi dalam hati sambi merentangkan sayapnya.
Birdi sekali mengepakan sayapnya untuk pemanasan. Dua kali... tiga kali... empat kali kepakan sayap, badan Birdi mulai terangkat.
Dan setelah usaha kerasnya mengepakan sayap, badannya sudah terangkat tinggi. Birdi pun mencoba memajukan badannya sambil terus mengepakan sayapnya. Dan Birdi pun berteriak.
“Aku bisa terbang...... aku terbang.... aku terbaaaaaang...” Birdi terus berteriak senang.
Namun tiba-tiba Birdi mendengar suara lain. “Kamu pasti bisa Birdi... Kamu pasti bisa terbang anakku,” itu dalah suara ayah.
Ternyata ayah dan ibu bersembunyi di balik pohon sedari tadi. Mereka sengaja membuat Birdi khawatir. Sehingga memaksa Birdi mau tidak mau untuk terbang mencari mereka. Dan ternyata rencana mereka berhasil. Kini anaknya tidak lagi takut terbang.
“Ayah... ibu... aku terbaaaaaaaang.”
“Terbanglah Birdi... terbanglah nak... terbang yang jauh... terus kepakan sayapmu dan jangan pernah takut jatuh,” pesan ayah pada Birdi.