BAB 4

734 34 7
                                    

Gue sudah menekan bel sejak 5 menit yang lalu dan sekarang gue mulai nggak sabar. Gue mulai berpikir, jangan-jangan Atha kemarin habis sama Raja. Gue tiba-tiba aja jadi merinding setelah mikirin itu. Apa kalau Atha jadi arwah penasaran dia bakal gangguin gue? Padahal gue 'kan nggak sengaja ninggalin dia. Gue menunduk memerhatikan sepatu sekolah gue yang mulai dekil karena sudah dipakai hampir 3 tahun sejak kelas 10.

Kalau dipikir-pikir, gue sengaja sih ninggalin dia. Soalnya gue takut sama Raja dan gue juga nggak mau berurusan sama Atha lagi. Tapi kesannya kok malah gue kelihatan jahat ya dengan ninggalin Atha. Tapi gue belum liat berita orang meninggal sih hari ini, jadi masih ada kemungkinan Atha belum mati. Atau mayatnya yang belum ditemukan, Raja kan gila, bisa aja dia buang mayat ke laut.

Gue sudah berencana untuk kembali di lain waktu, sebelum akhirnya gue melihat seorang pria. Usianya tidak bisa dibilang muda, karena gue pasti lebih muda. Namun ia tampaknya berusia sekitar 25 tahun, dia bukan om-om. Pria itu menggunakan kemeja putih lengan panjang, jas hitam disampirkan di lengan kanan juga lengkap dengan sepatu pantofel. Ia terlihat akan meninggalkan meninggalkan apartemennya.

"Mas!" Panggil gue yang sepertinya terlalu keras.

Pria itu menoleh kaget hingga keycard-nya hampir terjatuh, "I-iya."

"Masnya kenal nggak sama Atha? Dia tinggal di sini!" Ucap gue sambil menunjuk pintu apartemen Atha.

"Kenal." Jawab pria itu sambil menaruh keycard-nya ke dalam saku celananya.

"Boleh tanya nggak? Dia ada di dalem atau lagi keluar?" tanya gue sambil menunjuk pintu apartemen Atha. Secara terang-terangan pria di hadapan gue ini memandangi gue dari atas kepala sampai kaki.

"Hari Kamis kayak gini, biasanya kalau saya berangkat kerja, dia udah pulang sih. Mungkin dia main dulu sama temen-temennya." Kini ia menjelaskan sambil memainkan ponselnya seperti mengecek sesuatu. Ia tampak tidak peduli setelah terang-terangan menatapku curiga.

"Terus kira-kira dia pulangnya kapan?" Gue cepat-cepat bertanya karena dia seperti akan segera pergi.

"Mungkin dia nongkrong bentar sama temen-temennya di kampus." Jawab pria itu tampak seperti berpikir.
Gue menggumam 'oh' sekaligus menerima informasi bahwa Atha adalah anak kuliahan.

"Tapi bisa jadi juga dia pergi main ke ruman temennya." Lanjut pria itu lagi.

Gue cuma bisa ngangguk karena nggak tahu mesti bilang apa.

"Atau bisa juga temen-temen Atha yang nginep di sini." Ucap pria itu.

"Terus intinya apa ya mas?" Tanya gue yang bener-bener nggak mengerti.

"Intinya, selalu ada banyak kemungkinan di mana Atha sekarang." Jawabnya sambil tersenyum.

Gue memegang erat ponsel yang ada di tangan gue. "Jadi masnya nggak tahu kapan Atha pulang?"

Pria tersebut menarik napas dan berkata, "Iya."

Gue menelan ludah. "Tapi kemarin Atha pulang 'kan?"

Gue mengusap tangan gue sendiri supaya nggak buru-buru ngelempar ponsel ke wajah pria itu. Kini pria tersebut menggumam dan memegang dagunya seolah mengingat sesuatu.

"Kebetulan saya nggak pasang CCTV di kamar Atha."

Jawaban pria itu membuat gue membuang napas kesal. "Maksudnya mas liat nggak dia pulang?"

"Ada banyak kebetulan. Seperti, kebetulan di lorong ini nggak ada jendela." Ucap pria itu sambil menepuk dinding di sebelahnya.

Sepertinya gue dan dia sama-sama frustasi jadi gue membiarkan pria itu pergi.

Sekarang yang gue pikirkan adalah kebingungan. Gue bingung apa haru menunggu Atha yang nggak pasti atau gue pulang aja dan kembali lagi ke sini besok. Tapi gue takut digentayangin kalau Atha mati dan hp-nya masih ada di gue. Bukan cuma itu, gue juga takut kalau dia masih hidup dia malah lapor polisi kalau gue udah membawa lari hp dia.

Gue menyalakan ponsel Atha untuk mencoba menghjubungi teman-temannya Atha. Namun begitu gue lihat ternyata hp Atha sudah terkunci dan gue nggak tahu apa password-nya. Di daftar kontak emergency call-nya pun nggak ada siapa-siapa.
Akhirnya gue memutuskan untuk menunggu Atha selama 2 jam ke depan. Kalau dia nggak muncul, gue akan kembali lagi besok.

°°°°°

Gue duduk di lantai koridor apartemen dan menyalakan stopwatch di hp gue. Kemudian ketika dimenit ke-tigapuluh tujuh seseorang keluar dari lift dan gue yakin 100% itu Atha. Gue langsung buru-buru berdiri dan mematikan stopwatch.

"Kok lo nggak bilang makasih gitu?" Tanya gue kesal.

"Kok gue harus bilang makasih. Harusnya lo yang bilang terima kasih karena udah gue tolongin, perkara mobil doang gue bisa beli lagi. Dan lo juga harusnya bilang maaf karena udah bawa hp gue seenaknya. Tapi ya gue juga bisa beli lagi." Ucap Atha angkuh membuat emosi gue meningkat sampai ke ubun-ubun.

"Terus kalau lo bisa beli hp dan mobil baru lagi, kenapa lo nyuruh gue bawa mobil lo ke bengkel? Kenapa nggak beli mobil baru aja?" Tanya gue dengan kedua tangan di pinggang.

"Karena lo masih bocah SMA, harusnya nggak usah pake mobil dulu. Lo harus belajar tanggung jawab." Atha menaruh telunjuknya di jidat gue. Gue ingin menebas tangannya tapi ia sudah terlebih dahulu menarik tangannya.

Lalu gue diem bentar, memikirkan ucapan Atha. Dia ada benarnya, semua bisa dibeli lagi tapi gue harus tanggung jawab.

"Ya udah, maaf ya. Makasih juga." Ucap gue dengan suara kecil.

Atha menjawab dengan gumaman dan itu membuat gue sebal karena dia pelit ngomong banget.

"Terus lo ngapain sekarang masih berdiri di situ?" Tanya Atha yang kini seolah akan menutup pintu apartemennya.

Gue mengusap tengkuk gue dan bertanya, "Lo nggak apa-apa 'kan?"

Atha menatap gue tajam, bikin takut. "Maksudnya?"

Rasanya gue mati kutu bingung mau jawab apa. "Maksud gue, Raja nggak ngapa-ngapain lo kan? Lo nggak mati kan?"

"Jadi lo pikir gue di depan lo ini setan gitu?" Tanya Atha dengan nada sarkas.

Gue cemberut mendengarnya, "Oke gue udah tau lo sangat baik-baik aja."

Atha tersenyum kecut, "Jangan sampe deh kita ketemu lagi."

Gue makin sebal jadinya. Memang dia pikit gue sudi gitu ketemu orang kayak dia lagi? "Lo kira semua tempat ini punya lo? Gue juga nggak mau ketemu lo."

"Bagus deh. Soalnya kalo kita ketemu lagi tandanya lo nabrak mobil gue lagi." Ucap Atha sambil menjulurkan lidah. Ia membanting pintu tepat di hadapan hidung gue.

Gue mengepalkan tangan gue. Rasanya menyebalkan sekaligus memalukan. Gue menendang pintu apartemen Atha lalu melangkah dengan kesal menuju lift. Padahal gue udah tanya dia baik-baik, tapi orang nyebelin akan selalu menyebalkan!

"Heh! Awas ya lo nabrak lagi."

Gue menoleh ke belakang, tapi Atha sudah menutup kembali pintunya.

"Tai." Rasanya mau nangis, kenapa gue diejek begitu coba!? Padahal gara-gara mobil dia kemarin gue digangguin sama Raja.

Gue mengetik pesan untuk Friska, memberi tahu dia kalau gue akan segera ke rumahnya. Gue nggak mau krsel sendirian.

Accidentally In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang