"Kamu lebih suka musim hujan apa musim panas?"
"Musim hujan dong, soalnya kalau kulit terbakar sinar matahari ntar jadi item"
"Kalau musim hujan gitu, kamu suka ngapain?"
"Tiduran sambil nonton drama korea"
"Oh... Trus kalau nonton drama gitu suka genre apa? Komedi romantis apa action?"
"Drama kerajaan gitu sih biasanya... Zaman Joseon atau Goryeo"
Remi bermaksud bertanya pada Ve tapi malah Eros yang menjawab. Dia jadi sebal, Eros kok tau banyak hal soal Ve sih? Karena merasa sukses membuat Remi sebal, Eros jadi ngakak sendiri sambil mukul-mukul meja.
Yang ditanya soalnya juga hanya senyum-senyum. Duduk dengan nggak nyaman tepat di depan Remi, untung saja mereka dipisahkan oleh meja, kalau nggak pasti Ve udah males banget. Akhirnya Eros langsung terus terang aja. "'adek' Remi... 'kakak' Ve nggak suka sama kamu, kan udah aku bilangin"
"Ta, tapi..." Remi masih berusaha karena baginya berjuang itu harus sampai batas paling akhir "Itu kan kamu yang bilang. Aku mau dengar langsung dari Kak Ve..."
Mata Remi yang cokelat terang-terangan menatap Ve, meminta jawaban. Tapi Ve hanya tersenyum, senyuman formalitas.
"Jawab dong Ve. Jujur aja!" di sebelah Ve, Eros mengguncangkan bahunya dengan gemas, mirip membangunkan orang pingsan "Bilang aja, 'kamu terlalu ganteng buat jadi cowok aku'"
Remi yang sudah bersiap marah jadi bingung, kok? Sebelum dia sempat nanya, Eros sudah mengeluarkan smartphone nya dan menunjukkan sebuah foto. "Mantan pacar Ve" begitu yakin, Remi sontak berteriak, BANGSAT.
Itu respon normal bagi setiap orang yang mengetahui seperti apa wajah mantan pacar terakhir Ve. Makanya Ve senyum aja meski Remi terus memaki dalam ketidakpercayaan. Dulu dia sering heran, kenapa semua orang langsung melotot atau malah memandangnya dengan iba setiap melihatnya berdua dengan sang mantan. Jawabannya adalah,
"Jelek banget!" Remi menyimpulkan dengan satu tarikan nafas. Lalu diikuti dengan dengusan ketidakpercayaan "Pasti bohong kan?"
"Benar kok" sanggah Ve "Itu mantan pacar aku. Orangnya pinter loh" cara mendeskripsikannya terdengar malas, soalnya Ve lelah. Kenapa banyak orang memuja kesempurnaan fisik? Kenapa sedikit orang mau bersusah payah mengenal kepribadian orang lain?
Ve sudah lelah mempertanyakannya.
"Gila, jelek banget nih orang. Kamu kok mau sih sama dia? Duitnya banyak ya? Atau... Pasti duitnya banyak deh"
Itu juga yang dikatakan orang-orang, batin Ve. Kamu cantik, kenapa berhubungan dengan lelaki buruk rupa seperti dia? Apa dia sangat kaya? Pasti karena hal itu, nggak mungkin ada alasan lain.
Bisa saja karena dia mandiri. Atau penyayang. Atau bertanggungjawab.
Kenapa alasan seperti itu nggak mereka ucapkan? Alasan-alasan yang lebih manusiawi. Alasan-alasan yang lebih berharga dibandingkan jumlah nol dalam bank account."Aku mau pulang" ucap Ve. Kakinya yang panjang sudah berdiri tegak, bersiap melangkah pergi. Segera. Secepat mungkin.
"Maaf Kak. Aku nggak bermaksud..."
"Nggak kok" setengah berbalik, Ve memaksakan sebuah senyuman pada Remi. "Aku kurang enak badan aja..." lanjutnya, diikuti dengan anggukan pelan lalu dengan cepat dia berjalan pergi. Eros bergegas mengikuti tapi dia sempat berbalik dan berkata pada Remi dengan ketus, "Lo adalah alasan kenapa Tuhan ngasih jari tengah ke manusia"
Begitulah. Dinner yang diharapkan Remi akan membantunya mendapatkan hati wanita pujaannya selesai begitu saja.
***
"Kenapa kita kesini?"
Ve bingung. Eros nggak pulangin dia ke rumah kosnya dan malah membawanya pulang ke rumah Eros. Padahal sudah larut malam.
"Karena rumah aku lagi sepi. Ini kesempatan buat aku..." penjelasannya sedikit tertahan saat dia sadar Ve terlihat ketakutan "Buat aku tanya satu hal sama kamu".
"Kalau cuma satu kenapa nggak langsung tanya sekarang?"
Tanpa menghiraukan sanggahan Ve, Eros mendorongnya memasuki rumah "Nggak! Kita butuh semalaman buat satu pertanyaan ini".
Setelah beberapa saat, Eros dan Ve duduk berhadapan dengan nyaman di ruang tengah. Keduanya sudah berganti dengan t-shirt dan short pants. Menggenggam secangkir cokelat panas yang baru saja dibuat oleh Eros. Saling menatap satu sama lain di dalam ruang yang hanya diterangi sebuah lampu temaram di sudut ruangan.
"Kenapa kamu nunggu pukul dua pagi buat tanya sama aku?"
"Karena saat pukul dua pagi, manusia cenderung sulit berbohong"
Mata Ve yang bulat membelalak. Sejenak, dia merasakan sesuatu yang dingin turun menjalari punggungnya. Jantungnya berdegup kencang. Tubuhnya mulai merasa kepanasan. Kulitnya yang putih bersih perlahan memerah.
Dia tahu bahwa dia ketahuan.
Sikap aneh Eros akhir-akhir ini kepadanya. Tatapan menyelidik yang diberikan oleh Eros setiap mata mereka beradu. Peristiwa dimana Dion mengajak Eros berbincang berdua saja. Dan terutama, semakin tidak pedulinya Iris kepadanya.
Ve tahu bahwa Eros tahu.
"Aku nggak perlu ucapin pertanyaan aku kan? Kamu boleh jawab kalau udah siap..."
Semua fakta sudah terpampang jelas di hadapan keduanya. Eros yang terlihat sangat mengerti apa yang dia bicarakan dan Ve yang terlihat tertangkap basah melakukan suatu kejahatan. Mungkin memang dari awal semuanya sudah jelas, bukan hanya berupa tanda-tanda semu. Tapi otak mereka sama-sama menolak realita dan memilih memendam semuanya hingga menjadikannya seolah nggak pernah terjadi.
"Iya" akhirnya Ve berkata juga, diam membuatnya tercekik oleh rahasianya sendiri "Iya, aku suka sama dia. Aku jatuh cinta sama dia".
Singkat. Meski begitu masih banyak kerahasiaan di dalam setiap kata yang dia ucapkan. Sejujurnya Ve nggak ingin merahasiakan semuanya dari Eros. Eros tahu semua hal tentangnya, semua, terkecuali satu hal saja. Yaitu pada siapa hati Ve jatuh. Ve takut karena Ve kenal siapa Eros.
Setelah yang ditunggu-tunggu nggak segera mengatakan semuanya, Eros jadi gemes "Kamu suka sama siapa? Kita udah tahu lagi bahas siapa jadi langsung saja sebut nama dia" yang ditanya masih berkedip-kedip nggak berani "Kamu bohong selama bertahun-tahun kayak gini udah bikin aku marah. Semakin kamu nggak mau cerita, aku bakal semakin marah. Aku sahabat kamu sayang. Kita bahkan udah bersahabat jauh sebelum kamu kenal sama Iris dan Minerva. Aku kecewa karena kamu merahasiakan hal sebesar ini sama aku..."
"Oke" merasa bersalah, Ve memandang mata Eros yang kecil dengan berkaca-kaca "Aku suka sama Iris kita. Aku tahu nggak seharusnya aku suka sama sahabat aku kayak gini. Aku... aku sering berharap ini cuma kekeliruan atau apa tapi nyatanya seiring berjalannya waktu, aku malah semakin jatuh cinta sama dia" melihat perubahan dalam ekspresi wajah Eros, Ve mengakhiri pernyataannya "Aku tahu ini salah. Aku perempuan dan dia juga. Jadi biarkan aku mencintai dia dengan diam-diam. Aku nggak mau orang lain terluka karena perasaan egois aku ini...".
"Sejak kapan?"
"Aku nggak tahu"
"Kenapa kamu merasakan hal itu sama dia?"
"Alasannya sama dengan kenapa kamu mencintai Minerva"
"Kenapa kamu masih mencintai dia kalau kamu tahu bahwa kalian nggak mungkin bersama nantinya?"
"Alasannya sama dengan kenapa kamu masih mencintai Minerva meski kamu tahu bahwa kalian nggak mungkin bersama... nantinya"
Eros merasa ditampar. Dibangunkan oleh kenyataan bahwa sebenarnya mereka sama saja. Bahkan dia merasa malu, karena seenggaknya Ve nggak melarikan diri dengan bergonta-ganti pasangan kesana-sini. Karena Ve dengan hati yang tulus dan sabar, mencintai dalam diam meski sama-sama menahan sakit.
"Kamu tahu? Iris nggak mencintai kamu. Aku tanya sama dia kapan hari"
"Aku tahu. Aku sadar diri. Aku udah bilang kan? Biarkan aku mencintai dia secara diam-diam..."
"Bahkan pejuang yang gigih kayak aku aja menyerah, padahal aku tahu bahwa Minerva juga cinta sama aku. Apa yang membuat kamu nggak bisa moving on? Udah puluhan kali aku comblangin kamu, semua kamu tolak. Apa alasannya?"
"Karena..." Ve terdengar berhati-hati melanjutkan ucapannya "Karena terkadang aku yakin bahwa dia juga mencintaiku dan aku cukup bodoh karena meyakini hal itu"
Sebuah senyuman sinis muncul di wajah tampan Eros, dia paham apa yang dirasakan oleh Ve. Kenapa kita sama-sama bodoh kayak gini? Batinnya memandang Ve yang termenung dengan polosnya.
"Sayang..."
"Hmmm..."
"Seorang pemuda tionghoa yang beribadah ke gereja mencintai seorang gadis arab-jawa puteri seorang kyai, kebanyakan masyarakat menganggap hal ini sebagai hal tabu, bahkan mengecam luarbiasa. Lalu bagaimana dengan seorang gadis jawa yang beribadah ke masjid, anak dari politisi yang dihormati banyak orang? Bagaimana bisa dia hidup bahagia dengan orang lain yang berkelamin sama? Bahkan meski dia terlahir laki-laki pun, nggak ada masa depan buat kalian. Hidup kamu terlalu sempurna buat hidup dia yang berantakan. Kalian berbeda ras, agama, dan budaya. Ada terlalu banyak kemustahilan di antara kalian. Kalian nggak mungkin. Kamu sadar kan?"
Bahkan meski Eros nggak menjelaskan semua itu, Ve sudah paham. Sejak awal dia sudah tahu bahwa apa yang dia rasakan dan harapkan hanyalah mimpi belaka.
"Di antara kalian berdua, kamu lebih dewasa. Aku mengharapkan tindakan yang bertanggungjawab dari kamu. Jangan gegabah"
"Aku paham..."
"Dan jangan sedih sendirian. Kamu nggak pernah menyukai perempuan lain selama ini. Ini artinya rasa suka kamu sama Iris memang tulus dan besar banget. Aku tahu kok. Kamu mencintai dia terlepas dari apa jenis kelaminnya. Jadi pasti berat banget apa yang kamu rasain selama ini. Aku pengen kamu tahu, aku selalu ada buat kamu. Kalau ada apa-apa jangan dipendam sendirian. Okay?"
"Oke..."
"Satu hal lagi, kamu harus jujur sama Iris. Aku nggak mau melihat persahabatan kita terus berjalan kayak gini. Iris terus menghindari kamu pasti karena dia tahu perasaan kamu sama dia. Dan karena dia nggak cinta sama kamu, akhirnya dia merasa bersalah. Aku yakin dia banyak menahan diri. Meski nggak bisa bersama dia, aku pengen lihat kamu menjalani kebersamaan yang bahagia sama dia"
"Aku mendoakan hal yang sama buat kamu..."
Keduanya tersenyum. Meski malam sudah menjelang pagi, kedua mata mereka tak merasakan lelah. Yang kedua mata mereka rasakan adalah kesusahpayahan untuk menahan tangis. Memang benar, sejak dulu perkara soal cinta adalah perkara paling rumit dan busuk.
Busuk sekali.