Sajak Terakhir Ini Mencari Kau

53 1 0
                                    

Pangkal Februari dan sisik
awan yang tak bosan
berwarna-warni. Sajak ini sebagai
terakhir, menjadi puisi
tempat kau menyaringkan kesunyian
atau perasaan-perasaan yang akrab
saat kau merasuki hujan yang
tak kau sukai dengan
alasan demam atau sesuatu
yang kau takuti.

Matamu pernah bercerita
panjang lebar padaku. Aku
perlahan menyukai kesendirian
kotamu terlalu ramai
untuk dinyaringkan sajak-sajakku
yang lebih ramai dari
klakson kemacetan atau
sirine polisi dan ambulan

Menulis sajak ini. Aku tengah
berjalan di jembatan
gantung, sambil membayangkannya
menjadi puisi di bungkus nasi
yang akan kau beli
esok hari

**
Masa kecilku. Kuhabiskan
bermain tanah, membangun kota
dan rumai bambu di
gigir pantai. Saat sendirian
kubayangkan lagi hal itu
dan kuberikan padamu.

Aku melihat senyummu
berkali-kali, kaupeluk aku
dalam ingatanku. Aku
bahagia
menulis sajak ini. Belum selesai
baru kusadari di sampingku
Ibuku mengamati yang
wajahnya selalu lebih bijak
dari hujan di bulan ini.
Dia bertanya, “Seindah jatuh cinta?“
Aku diam dan kusembunyikan kertasku
dia pun pergi. Dan kulempar
airmata ke jendela tiga kali
sampai bersih.

Kulanjutkan sajak ini. Kau ketenangan
hujan maret dan kecerahan april.
Setelah tadi--
kutulis sajak ini, sembunyi di
dalam cermin lemari. Sebab
kutahu. Ibu akan ke sini
merapikan isi lemari, pakaian
dan berdandan rapi. Lalu
kukatakan cantik sebelum
dia pergi. Dengan begitu
telah kujawab tanyanya
dengan puisi. Tapi ini
rahasiaku. Tiap hari
dalam sajak ini

**
Menulis sajak ini. Aku masih
berjalan di jembatan gantung
sambil memutardengar
nasehat-nasehat Ibuku yang
sering kurekam saat dengannya
Salah satunya seperti ini,
“Tuhan tidak benci pendosa
Tuhan hanya tidak suka
orang-orang putus asa.“

Kuputar berkali-kali
dan aku mulai berlari
di jembatan ini atau
sajak ini.

Perihal cita-cita dan kepuasan
aku menyukai cara rayap
menjelaskan. Lepas-terbang
dari gumuk-gumuk ke awan.

(aku masih menulis sajak ini
sebagai puisi, yang harus
kau baca berkali-kali)

Pangkal Februari dan sisik
awan warna-warni, tempat
musim membohongi ratusan puisi.
Hujan bukan musim sepi
kemarau masih di jedanya
mengisi-isi. Masih.

Dan masih …
tidak dengan sajak ini!
Tiba-tiba sebelum bait ini kau
meyakinkan diri, bahwa
puisi adalah pertemuan pertama
dan perpisahan yang
dirasakan sekali. Lalu
dinikmati berkali-kali.
Dalam ingatan atau
kenangan.
Aku amini.

Sajak ini telah selesai.
Kuharap kau membacanya
sebagai puisi. Jika tidak,
akan kuhapus ingatanmu
tentangku sampai
kata pertama. Dan katakan
sajak ini puisi! Setelah aku
pergi.

Tenanglah!
Aku hanya tidur
dan menikmati nafas terakhir
bait ini.

Bangkalan, 02 Februari 2016

MataresnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang