Chapter 6

10.8K 352 4
                                    

FAITH

Pikiranku masih kacau karenanya. Aku butuh ruangan untuk bernafas. Tenggorokanku tercekat, ludahku tak dapat kutelan, dan kepalaku mulai pening. Teh yang ia buat untukku telah habis beberapa menit yang lalu, aku masih berada di bawah tatapannya yang misterius. Ia tersenyum, meski aku selalu ragu akan senyuman yang ia berikan padaku. Senyuman itu terasa sangat janggal dan aku tidak pernah melihat senyuman tidak tulus itu namun berarti. Beberapa lembar kertas masih berada dalam genggamanku, tetapi aku tidak sanggup untuk membacanya lebih lanjut lagi. Perjanjian macam apa ini? Yeah, macam permainan Christian Grey. Mengapa aku bisa hampir sama memiliki takdir seperti Anastasia Steele? Kugelengkan kepalaku, tidak, itu hanyalah sekedar novel yang kubaca untuk menghiburku. Ini tidak mungkin nyata. Tapi tetap saja hubungan BDSM memang nyata dan ada di dunia ini, cukup banyak lelaki minat dengan hubungan seperti ini.

Mungkin semacam psikopat. Atau wanita yang memiliki penyakit masokis. Tn. Justin jelas tahu aku tidak mengikuti aliran ini. Aku tidak sama dengannya. Bukan apa-apa, tapi aku sepertinya tidak dapat menjalani ini semua. Tapi mengapa ia memilihku sebagai submisifnya? Mungkin di bagian awal aku bercanda dengannya. Saat aku memang tidak mengerti apa maksud dominan di sini dan aku mengatakan padanya: "Apa? Maksudmu semacam Dominic? Subway?" . Baru membaca perjanjian ini saja kepalaku sudah pening dan membutuhkan ruang untuk bernafas. Sekarang aku tahu mengapa Ana Steele membutuhkan waktu untuk berpikir tentang ini. Mataku terjatuh padanya lalu kugelengkan kepalaku.

"Apa aku boleh pulang?" Tanyaku berbisik. Kedua alisnya terangkat, wajahnya terlihat kecewa. Aku tidak begitu peduli apa ia akan kecewa atau tidak dengan jawabanku, yang terpenting sekarang aku butuh istirahat. Dan ini tidak masuk akal, beberapa jam yang lalu Ibuku baru saja dimakamkan dan sekarang aku telah diperhadapkan oleh perjanjian ini. Justin terdiam sejenak, matanya melihat pada kertas yang masih kupegang lalu ia menatap padaku kembali dengan tatapan tajam. Hatiku mendesah ketika ia menjatuhkan pandangan itu. Ia memang sangat hebat dalam keahliannya. Kutelan ludah sebisaku. Ia menggelengkan kepalanya.

"Kau tidur di kamarmu. Aku telah menyiapkannya untukmu," ucapnya, santai. Aku memiliki kamar sendiri di rumahnya? Mengapa ia harus repot-repot menyiapkan kamar untukku? Ia bangkit dari kursinya, tanpa mengatakan apa pun padaku. Tidak ada "Ayo" atau "Biar kutunjukkan" atau sejenisnya. Tapi hanya berdiri dari kursinya dan berjalan keluar dari dapur, tentu, aku ikut berdiri dan berjalan di belakangnya. Ia memiliki bahu yang lebar, rambutnya tampak mengilap dari belakang, rasanya aku ingin mencium aroma rambutnya. Bukan apa-apa, shampoo apa yang ia pakai? Siapa tahu aku bisa memakainya juga. Ia membawaku melewati lorong lalu belok ke sebelah kanan setelah kami mencapai ujung lorong, masih ada lorong lain yang bisa membawa kita ke ...oh, tunggu dulu, aku mendapati beberapa anak tangga yang membawa kami ke sebuah ruangan yang luas. Sebuah televisi besar yang menempel di tembok, tiga sofa panjang yang tertata berhadapan, karpet yang luas ..meja belajar, apa ini ruang keluarga? Tapi ia hanya tinggal bersama dengan kakeknya. Kulihat ada dua pintu di ruangan luas ini, satu pintu menuju balkon dan satunya lagi ...aku tidak tahu. Tn. Justin ternyata telah berada di pintu yang aku tidak tahu menuju kemana itu, ia menunggu dan menatapiku tanpa ekspresi. Langsung saja aku menuruni anak tangga dan berjalan menuju pintu itu.

"Ini kamarmu," ucapnya membuka pintu itu setelah aku mencapainya. "Kau akan tidur di sini jika aku membutuhkanmu. Untuk itulah aku bertanya jadwal kerjamu agar aku bisa mengatur waktu bersama,"

"Aku belum mengatakan apa pun tentang perjanjian itu. Dan untuk informasi saja, aku masih belum percaya dengan yang namanya berhubungan seks dengan kata aman. Untuk apa kata aman jika kau hanya berhubungan seks?" Tanyaku sambil masuk ke dalam kamarku. Oh, kamar ini bahkan lebih besar dibandingkan apartemen yang kusewa. Pantas saja ia sangat sombong, ini pantas untuk ia sombongkan, tapi kadang itu bisa membuatnya kehilangan teman-temannya. Satu tempat tidur ukuran besar dengan sprei putih monoton, lemari yang memiliki 6 pintu dengan kaca di tiap pintunya. Sebuah meja dan kursi, entah untuk apa. Sebuah kursi santai –yang mungkin untuk bersantai sambil membaca sebuah buku. Apalagi? Aku seperti tuan putri, dan aku tidak ingin diperlakukan seperti tuan putri. Ini sangat berlebihan. Aku tentu bukan berada dalam sebuah dongeng yang dimana aku berperan sebagai putri yang dipungut dari jalanan dan mendapatkan fasilitas berlebihan seperti ini. Aku masih menunggu jawaban Justin, ia masih berada di mulut pintu sedangkan aku mencoba-coba duduk di atas tempat tidur yang sangat empuk ini. Aku memukul-mukulnya dengan gemas.

Right Mistakes by Herren JerkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang