[15] Am I Wrong

118 6 2
                                    

Diandra menuruni anak tangga sekolahan dengan pom-pom yang dipegang di kedua tangannya. Dengan sedikit rasa bahagia. Saat ia menari-narikan pom-pom itu dengan tangannya, tak sengaja ia justru menjatuhkan salah satu pom-pom yang ada di tangan sebelah kanan. Diandra membulatkan matanya saat melihat pom-pom miliknya jatuh tegeletak tepat di depan seseorang yang baru saja menghentikan langkah kakinya.

Ia terburu-buru lari mendekati orang tersebut. Diandra menggigit bibir bawahnya. "um ... Sorry, gue gak sengaja," ucapnya lalu membungkuk berniat mengambil pom-pom itu. Namun seorang wanita yang berada di hadapannya justru lebih dulu mengambilnya, ia kira wanita ini akan menjahilinya dengan cara membuang pom-pom nya ke tong sampah yang ada di sebelah kiri wanita tersebut.

Mengingat kejadian beberapa bulan lalu saat Diandra memacari gebetan sahabatnya sendiri. Dan wanita itu adalah ... Virna.

"Nih," tutur Virna sambil menyodorkan pom-pom itu pada Diandra. Diandra hanya mengernyitkan dahinya, ia tak menyangka Virna berubah di pandangannya.

Lalu Sagita menyelinapkan tubuhnya dari belakang menjadi ke depan. Ia mengambil pom-pom itu dari tangan Virna dan memberikan pom-pom itu pada pemiliknya yaitu Diandra.
Diandra hanya terkejut dan tubuhnya membeku, sementara air di matanya seakan mencair. Ia menyeka air mata yang ingin keluar sesegera mungkin.

"Apa gunanya sahabat, kalo kita gak saling bantu satu sama lain? Lo pikir lo cuma satu-satunya makhluk kesepian di dunia ini kan, Dra? Then, setelah lo berpikir begitu, lo salah besar." tutur Sagita. "Bahkan lo gak tau, gue mikirin lo. Gue mikirin sahabat gue sendiri, dan gue ngaku gue salah. So ... gue minta maaf."

"Ng ... Ngga. Kalian gak salah kok, gue aja yang-"

Omongan Diandra terputus oleh Virna yang menyerobot kata-katanya duluan.

"Dra, plis stop bersikap dan nunjukin ke semua orang di muka bumi ini kalo lo itu baik-baik aja. Gue tau lo gak baik-baik aja, Dra, lo ditinggalin Ethan saat lo mulai belajar menghargai dia. Dan lo ditinggal sama kita-kita yang justru gak tau cara menghargai seseorang. Dan mulai sekarang, gue mohon kalo ada apa-apa ceritain ke kita," ucap Virna panjang lebar matanya berbinar dan hatinya bergetar saat mengucapkan kalimat-kalimat itu. Diandra tersenyum mengangguk seolah ia paham.

"Thank God, gue gak pernah ngerasa sebahagia ini walaupun sama nyokap. Gue gak pernah sebebas ini walaupun sama Grayson. Tapi sama kalian gue ngerasain semua hal yang gak pernah gue rasain sebelummya. Makasih banget ya, gue sayang kalian,"

****

Suasana kantin saat ini sepi karena sebenarnya sekarang sudah waktunya para siswa pulang ke rumah dan kembali lagi ke sekolah esok hari. Di meja makan berwarna hijau tua ini hanya ada Diandra yang sedang membenarkan seragam cheers yang sedang ia kenakan, dan pakaian itu super duper ketat dan seksi. Lalu, ada Grayson yang sedang memakan es buah kesukaannya. Ya, kedua makhluk yang sangat berbeda genre satu sama lain ini benar-benar berada dalam kesibukkannya masing-masing. 

Sambil memegangi jaket kulitnya dengan tangan sebelah kiri, Grayson tetap fokus menghabiskan es buah miliknya. Ia tak menaruh matanya pada Diandra sama sekali, ia benar-benar memiliki perasaan 'bodo amat mau lu jungkir balik gue kagak peduli, yang penting es teler tetep mantep' di dalam dirinya. 

Padahal saat ini Diandra menggunakan pakaian yang tak lain dari biasanya, ia menggunakan baju dress super ketat dan menampakkan postur tubuhnya dengan beberapa detail yang jelas. Tapi tetap saja Grayson bukan lelaki yang tidak bisa mengarahkan nafsu beratnya.

"Pake nih jaket gue, baju lo kurang bahan banget. Kasian, gue gak bisa liatnya," sembur Grayson lalu memberikan Diandra jaket kulit miliknya, ia benar-benar memperhatikan gerak tubuh Diandra sampai dia benar-benar memakai jaket tersebut. Diandra lalu terkekeh saat memakai jaket tersebut.

          

"Shit. Besok-besok gue bawa jubah deh, biar bisa nutupin badan lo sampe ke kaki. Oh gue tau! Mukena aja kali ya, Dra," gumam Grayson sambil memasang wajah sok sok berpikir, lalu ia dan Diandra tertawa di tempo waktu yang sama.

Sebentar lagi Diandra akan memulai latihannya, tapi ia masih menemani Grayson yang menunggunya di kantin. Mereka benar-benar larut dalam pembicaraan yang bermacam-macam, sampai terkadang Diandra mengeluarkan teka-teki yang habis dia baca di buku lelucon tapi sayangnya respon Grayson tidak semenarik yang ia harapkan.

Selera humor Grayson benar-benar tinggi, bahkan ia bisa terlihat seperti orang gila.  Dia bisa terus memasang wajah seriusnya sampai orang-orang mengira bahwa itu seperti ada makhluk lain yang masuk ke dalam tubuh Grayson.

Dari kejauhan terlihat seseorang dengan seragam yang sama seperti Diandra berlari menghampirinya. Itu adalah, Arnel, flyer terbaik pertama di angkatan Diandra.

"Kenapa, Nel?"

"Dra, lo dipanggil Kak Marco, katanya temuin dia sekarang," tutur Arnel sambil duduk di kursi yang berhadapan dengan Diandra, dan sembari mengatur napasnya karena habis berlari.

Grayson melirik ke arah Diandra dengan tatapan tajam, ia mengerutkan keningnya, "Oh, oke, gue ke sana sekarang," kata Diandra sambil berdiri, tetapi Grayson dengan sedikit kasar menarik tangan Diandra dengan otomatis ia pun jatuh terduduk.

Tak mau ikut campur saat setelah ia melihat wajah Grayson yang berubah, Arnel pun pamit pada Diandra untuk pergi ke aula.

"Sakit, Gray!" ucap Diandra sambil meringis kesakitan lalu ia mengusap-usap bokongnya.

"Siapa Marco?"

"Pelatih cheers aku."

"Cewe apa cowo?"

"Cowo."

"Kalo gitu, sekarang ganti baju aja. Gak usah latihan."

Diandra mendongakkan wajahnya dan membulatkan mata serta mulutnya saat ia mendengar ucapan Grayson barusan. Mungkin cemburu, tetapi kenapa dia tiba-tiba menjadi berlebihan seperti ini.

Menyebalkan rasanya jika seseorang yang statusnya tidak lebih dari orang tua, justru mengatur apa yang akan kita lakukan dengan seenak mulutnya berbicara. Hal itu sama seperti yang Diandra rasakan, ia bukanlah gadis yang sesungguhnya penurut. Bahkan dia adalah pembangkang, jika memang hal yang dia rasakan tidak membuatnya nyaman berada di sana.

"Kok kamu jadi kayak gini sih, Gray? Dia cuma pelatih aku, hei, jangan berlebihan dong," tutur Diandra sembari menggenggam jemari Grayson, membujuknya supaya tidak berlaku kejam seperti tadi.

Grayson terdiam. "Gimana nanti kalo aku naik ojek, supirnya cowok, kamu mau nyuruh aku turun di tengah jalan?" timpal Diandra lagi, kali ini nadanya mulai terdengar nyolot dan memanas.

"Ya ... Ngga gitu jugalah. Tapikan kenapa harus kamu yang nemuin Marco, kenapa gak Arnel aja? Atau temen kamu yang lainnya kan ada."

Diandra menghembuskan nafasnya ke udara, mencoba sabar menghadapi pacarnya yang belakangan ini selalu sensitif.

"Impian aku ada di sini, Gray, kalo seandainya hal itu penting. Yang tadinya aku dikasih peluang Kak Marco, terus aku nolak dan malah dikasih ke orang lain, apa itu gampang menurut kamu? Cheers itu hidup aku, dan kamu juga pasti punya tujuan hidup kan? Dan bullshit rasanya kalo aku denger kamu bilang, tujuan hidup kamu itu aku," ujar Diandra sambil memainkan rambut dan wajah Grayson.

****

"Miss, ini nih si Alfi rese. Udah gak mau bayar uang kas, numpahin es cendol di meja saya lagi," gerutu Gebi sembari melotot dan menatap Alfi ganas. Gadis yang terlihat gendut dan menyeramkan ini memang tidak main-main, ia sangat benci pada lelaki di kelasnya terutama Alfi—cowok yang suka bikin gara-gara.

#1: RetrouvaillesWhere stories live. Discover now