VIOLONCELLO

63 8 10
                                    

Musim semi hampir tiba, kebanyakan orang menyambutnya dengan berjalan-jalan mengelilingi taman bersama orang terkasih. Namun, tidak bagi gadis yang menyandang nama Alice yang hanya terdiam di dalam kamar miliknya. Duduk manis menatap kosong keluar jendela. Dia tidak bisa keluar dari sana bahkan dia dilarang untuk menikmati hawa musim semi yang menggoda diluar sana.

Gaun merah yang membungkus tubuh mungilnya mulai agak mengusam. Rambut hitam miliknya dibiarkan terurai begitu saja. Kedua manik gelap itu mengarah ke sebuah gaun putih yang melekat di dinding tak jauh dari tempat duduknya.

Alice mulai berdiri dan melangkah mendekati gaun kesayangannya sampai salah satu kakinya tersendat, melarang dirinya untuk melangkah mendekati gaunnya.

Tangannya terulur mencoba menggapai gaun yang telah menunggu di depannya. Tinggal beberapa langkah lagi maka ia akan mendapatkannya. Tapi, sekuat apapun usahanya, kaki kanannya menolak keinginannya.

Pergelangan kaki kanan yang terantai kuat itu perlahan mulai membiru. Menciptakan rasa perih disana, sekaligus meruntuhkan rasa inginnya untuk memeluk gaun putih kesayangannya. Setitik air mata jatuh menuruni pipi mulusnya.

"Siapapun .. tolong aku."

***

Bunga sakura yang mulai mekar itu menimbulkan aroma yang menenangkan bagi siapapun yang menghirupnya. Dan sekali lagi, Alice hanya bisa memandangnya dari balik jendela. Manik hitamnya mulai meredup akan sarat kepedihan yang ia alami selama 10 tahun ini.

Tinggal di sebuah ruangan yang dibuat khusus untuk dirinya tanpa sebuah pintu yang mengizinkannya keluar, walau itu hanya sekedar menghirup udara segar. Hanya ada sebuah jendela kecil yang memanjakan matanya dan kursi kayu yang biasa ia gunakan untuk menghilangkan rasa penat yang menderanya.

"Bagaimana rasanya diasingkan, Alice?" Suara yang tertangkap indra pendengaran Alice itu mengalun lembut di telinganya. Manik gelapnya menatap pantulan bayangan yang tercipta di kaca jendela. Bayangan hitam yang mulai berubah menyerupai manusia itu berdiri tak jauh di belakang Alice.

"Kenapa kau menatapku seperti itu, Alice?" Tampak senyum miring menghiasi bibir lelaki yang berdiri dibelakangnya. Alice terus menatapnya dari pantulan jendela, membiarkan tangan lelaki itu memoles pipi putihnya dari belakang.

Langit yang biru mulai gelap, matahari juga perlahan mulai kembali ketempat asalnya. Kedua manik gelap Alice mulai memerah sewarna dengan darah.

"Shiruetto, sudah waktunya .." Seakan mengerti apa yang dimaksud oleh Alice, sang bayangan hitam-Shiruetto-mengembangkan senyum.

"As your wish, My Lady."
Shiruetto melangkah pergi menembus dinding di belakangnya, sedangkan Alice mengambil sebuah alat musik tepat disamping tempat duduknya. Alice mulai memainkannya, menggesekkan penggeseknya dalam posisi horizontal melintang di dawai.

Violoncello, alat musik paling dipuja dikalangan bangsawan di Jepang. Alunan melodi yang diciptakan oleh Alice terdengar merdu baginya tapi, tidak bagi orang lain. Pasalnya, alunan melodi yang dibuat oleh Alice merupakan melodi kematian yang akan mencabut nyawa seseorang yang mendengarnya.

Dan dengan adanya bantuan Shiruetto, maka Alice akan lebih mudah menjalankan tugasnya.

Permainan violoncello milik Alice terhenti bersamaan dengan datangnya Shiruetto yang membawa seorang gadis SMA dengan mata yang tertutup kain dan kedua tangan serta kaki yang terikat oleh rantai.

"Hiks .. dimana aku ini? Hiks .. tolong! Tolong aku!" Sang gadis terus berteriak meminta pertolongan. Alice meletakkan Violoncello miliknya ke tempat semula dan berbalik menatap gadis yang tengah berontak, cemas akan keselamatannya.

VIOLONCELLOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang