Chapter 19

1.8K 106 2
                                    

Tuan Kim terus mengatukkan jemarinya diatas meja jatinya, ia terlihat tak begitu berniat untuk kembali menyentuh berkas-berkas nya setelah mantan sahabatnya –Park Chanwoo- meninggalkan ruang kerjanya. Ia terus melakukan itu, menimbulkan bunyi pelan yang mengisi keheningan diruangan mewah itu. Lelaki paruh baya itu kembali memikirkan percakapannya barusan dengan sang mantan sahabat.
.
.
" Apa?"

" Aku tidak pernah menyentuh istrimu."

" Haha, berhentilah berbicara hal konyol Chanwoo-ssi. Aku tidak menyangka kau mau bertindak sejauh ini demi mengejar relasi denganku"

" Aku datang kesini memang untuk itu. Tapi percayalah aku  berbicara yang sesungguhnya. Walaupun kami tidur bersama, tapi aku tak pernah menyentuh isterimu. Percayalah."

" Tidak mungkin. Kau kira aku percaya?"

" Aku mendengar anak itu sudah meninggal, anak yang kau kira anak haram. Sayang sekali, bukankah jika dia masih hidup kita bisa membuktikan segalanya? Aku pasti bisa membersihkan namaku." 

" Sekali lagi ku katakan ia bukan anakku. Percayalah aku tak pernah menyentuh isterimu. Anak itu pasti anak kandungmu, aku yakin. Terserah kau mau mengelak seperti apa. Sepertinya percuma aku mengatakan semua ini,  karena sepertinya kau tak akan pernah bisa percaya. "
.
.
Tuan Kim akhirnya mengambil keputusan, ia menekan tombol telepon yang otomatis terhubung dengan sekretarisnya diluar ruangan.

"Sekertaris Shin." Panggil Tuan Kim begitu telepon itu terhubung.

"Ya presider, ada apa?" jawab sekertaris Shin.

"Pesan tiket ke Seoul untuk penerbangan hari ini sekarang juga."Perintah Tuan Kim.
.
.
.
Donghae begitu kacau, 3 hari mencari sang adik tanpa membuahkan hasil membuat ia berada di titik terbawah dalam hidupnya. Mabuk-mabukan, bolos kuliah, pulang tengah malam dan berbagai hal buruk lainnya yang belum pernah ia lakukan karena statusnya sebagai anak
konglomerat.

Pukul 7 pagi, ia kembali terbangun akibat ketukan pintu yang mengganggu tidurnya. Tak perlu berfikir dan bertanya, itu sudah pasti Jungsoo hyungnya, satu-satunya orang yang berusaha tegar dan ikut membantunya mencari sang adik, demi apapun Donghae bersyukur Jungsoo selalu berada disisinya.

"Donghae, turunlah sarapan." Jungsoo berteriak dibalik pintu itu.

Donghae menggeliat pelan, meregangkan beberapa bagian tubuhnya. Hal yang pertama dilakukannya setelah sadar adalah memijat pelipisnya, efek berbotol-botol alkohol yang diteguknya tiap malam membuat kepalanya terasa pusing setiap bangun tidur.

Cih, masih dengan posisi berbaring Donghae mengumpat didalam hati. Tak taukah Jungsoo bahwa dia benar-benar susah bahkan hanya untuk mengunyah sepotong roti disaat otaknya dipenuhi dengan fikiran 'apakah Kyuhyun punya tempat yang dituju?' 'apakah anak itu bisa makan?' 'dimana dia sekarang?'

Donghae bangun saat merasa Jungsoo telah beranjak dari depan kamarnya. Ia melakukannya lagi, termenung diatas kasur empuknya dengan pandangan kosong, tak lama setelahnya air matanya kembali menetes. Ia mengusap kasar air matanya. Tidak, ia tidak bisa terus seperti ini, ia harus lebih giat mencari sang adik dan berhenti menghabiskan waktu ditempat tak berguna seperti club, membuang-buang uang seperti orang bodoh hanya untuk berbotol-botol minuman alkohol yang pada akhirnya tak bisa membantu apapun sedangkan ia tak tau apakah
Kyuhyun punya uang atau tidak untuk makan sekarang. Donghae dengan cepat menuju kamar mandi, ia tak bisa terus menerus bolos kuliah, setelahnya ia akan kembali berkeliling Seoul mencari sang adik.

***

"Donghae, duduklah sarapan." Suara Jungsoo yang sedang makan menghentikan langkahnya saat ia baru akan menuju pintu utama. Donghae melirik sekilas, dilihatnya Jungsoo, Yesung beserta Kibum tangah sarapan di meja makan mewah mereka, ia tak mendapati eommanya, kemana sang ibu? Entahlah Donghae enggan memikirkan wanita kejam yang mau tak mau menjadi ibunya itu.

METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang