Perjodohan, banyak insan di muka bumi ini yang bersatu karena perjodohan, banyak anak yang orangtuanya bersatu karena perjodohan, termasuk orangtua Maria. Walaupun terkesan kolot, tapi nyatanya di jaman sekarang praktik perjodohan masih banyak dilakukan, bahkan banyak jasa biro jodoh dan web yang menyediakan layanan perjodohan. Mungkin hal seperti ini menyenangkan bagi sebagian orang, tapi tidak dengan Maria.
Sayangnya hal berbau perjodohan tidak luput dari Maria. Orangtuanya menjodohkan dengan seorang pria yang tinggi, tampan, pintar, dan yang paling penting dia adalah penerus perusahaan properti ternama yakni Caulfield Group – tipe ideal para wanita.
Pria tersebut adalah Andrew, putra dari teman lama orangtua Maria. Maria sudah mengenalnya sejak berumur lima tahun. Sejak saat itu, Maria yang setahun lebih muda dari Andrew bersekolah di sekolah yang sama dengan Andrew sampai SMA. Setelah lulus SMA, Maria meneruskan pendidikannya di Amerika. Saat itu, Andrew juga sedang menempuh pendidikannya di Amerika, sehingga mereka cukup dekat. Andrew banyak membantu Maria selama di negeri Paman Sam itu. Orangtua Maria seperti "menitipkan" putrinya pada Andrew.
Dan kini, setelah lima tahun lulus dari perguruan tinggi, Maria bekerja di Caulfield Grup. Walaupun penerimaan Maria sarat dengan nepotisme, namun Maria tetap menjalaninya karena ibunya ingin Maria bekerja di sana. Maria tidak sampai hati untuk mengecewakan ibunya.
Terlihat jelas bagaimana Maria bisa berakhir dijodohkan dengan Andrew. Tidak mengherankan, orangtua mereka sudah kenal sejak lama dan keduanya sudah berteman sejak kecil. Namun itu kisah yang kebanyakan orang ketahui.
Perjodohan biasanya seperti tidak mementingkan perasaan keduanya. Terkadang ada yang pada akhirnya mencintai pasangannya, namun banyak juga yang tidak punya perasaan apapun. Tapi pernikahan tentu tidak melulu soal perasaan kan?
Dalam hal ini, tidak banyak yang tahu soal perasaan Maria dan Andrew.
***
Walaupun sudah malam dan besok harus ke kantor, Maria tidak dapat menahan perasaannya setelah mengetahui orangtuanya serius akan menjodohkannya dengan Andrew. Mereka bahkan telah menetapkan tanggal pertunangan mereka tanpa meminta persetujuan Maria.
Wacana perjodohan dengan Andrew bukanlah hal baru, Maria sudah menangkap sinyal tersebut sejak lama. Orangtua keduanya sepertinya berusaha menjodohkan mereka secara halus, namun tetap saja kelihatan banget bagi Maria. Sampai saat ini Maria belum sampai hati untuk menolak perjodohan ini ataupun mencueki Andrew karena masih sekedar wacana, tapi sepertinya ini semakin serius.
Maria duduk meringkuk di ranjang queen-sized-nya dengan earphone di kedua telinganya. Ia sedang menelepon Tiffanny, sahabat sejatinya sejak SMA. Maria menceritakan hal yang tidak begitu membuatnya terkejut tapi mengesalkan itu pada Tiff.
''Oh, come on, cewek 27 tahun belum punya pacar, wajar aja kalau ortu jodohin kamu kan?. Lagian, dengan perjodohan kamu bisa dapat jodoh yang lebih baik.'' Seru Tiff dari seberang sana.
Ahh, kenapa Tiff bicara seakan-akan dia tidak kenal Andrew Caulfield!, erang Maria dalam hatinya.
''Tiff, please. Kamu tahu siapa Andrew dan hubunganku dengannya, dengan keluarganya, dan dengan --''
''Calon adik iparmu?'' Potong Tiff cepat.
Maria tercengang mendengarnya. Speechless. Ia terdiam dan kemudian mendesah.
''Bukan maksudku aku masih menyimpan rasa pada Matthew ya, tapi hanya saja--''
Tiff memotong kalimat Maria lagi, ''Tidak ingin status mantan pacar jadi adik ipar?''
''TIFFANY!!'', teriak Maria emosi, ''jangan memotongku dan aku tidak pernah pacaran dengan Matthew -kau tahu itu-'', Maria membalasnya cepat.
Tiff juga dengan cepat membalas Maria, ''Yah, seandainya Matthew bukan pengecut.''
Hmm.. yah mungkin. Tapi sepertinya Matt juga tidak punya nyali ah, pikir Maria menerawang ke masa SMA-nya. Paling tidak dia seharusnya menyatakan perasaannya padaku.
''Intinya, suasana pasti jadi tidak enak. Seperti situasi terjepit. Aku tidak segitunya anti perjodohan, tapi please jangan dari keluarga Caulfield.'' Kata Maria dengan nada memelas.
Tiff diam sejenak setelah mendengar kata-kataku. ''Uhmm, kurasa kamu terlalu sensitif, Mar.'' Ucapnya agak serius.
Sensitif? Iyakah?, renung Maria dalam hati.
Tiff melanjutkan pekataannya, ''Kamu sudah tidak berhubungan dengan Matthew hampir 10 tahun. Kamu bilang kamu sendiri sudah tidak punya perasaan lagi padanya, dan ia pasti juga begitu. Kalau kau menikah dengan Andrew yang adalah kakaknya, kurasa itu bukan masalah. Ditambah keluarga kalian merestui hubungan ini. Dan Andrew adalah calon suami yang sangat berprospek, itu yang paling penting.''
Maria duduk terdiam di ranjang. Menurut Maria secara logika apa yang Tiff katakkan tidak salah sih, tapi...
Hah, kenapa aku penuh dengan 'tapi', cemooh Maria pada dirinya sendiri.
''Tapi aku tidak mencintai Andrew, dia hanya sekedar teman.'' Jawab Maria lemas.
''Maria sayang, pernikahan bukan soal cinta. Yang paling penting dalam bahterah rumah tangga adalah finansial. Tadinya aku juga berpikir kalau cinta dan kasih sayang yang terpenting, tapi setelah aku menikah, keuangan juga menjadi masalah.'' Tutur Tiffany persis seperti ibu-ibu.
Astaga..., desah Maria dalam benaknya.
''Memangnya kau melarat saat ini? Atau Chris dipecat dari pekerjaannya?'' tanya Maria.
Tiff memutar bola matanya lalu berkata, ''Tentu saja tidak! Tapi dia hanya seorang supervisor, menurutmu aku bisa hidup mewah?? Akan berbeda ceritanya apabila aku menikahi pria yang dijodohkan orangtuaku, sekarang dia menjadi GM di hotel tempatnya bekerja!!''
Terdengar sedikit nada penyesalan dalam suara Tiff.
''Jadi kau berniat meninggalkan Chris dan menikahi pria yang lebih tua 15 tahun darimu itu? Hahaha.'' Canda Maria datar.
''Tentu saja tidak! Kamu kira aku gila apa. Asalkan Chris tidak turun jabatannya aku lebih memilih Chris. Tapi aku serius Maria, untuk cewek high-maintanance seperti kita, kita perlu suami yang bisa mendukung kebutuhan kita.''
Maria memang dibesarkan dengan gaya hidup menengah keatas, tapi ia tidak hedon seperti Tiff.
''Apalagi yang kamu ragukan Maria? Andrew adalah sosok sempurna. Ia punya segalanya. Dan menurutku ia bahkan bersikap terlalu baik padamu.''
Maria mencoba membayangkan Andrew dan sikapnya. Yup, Andrew memang sosok sempurna. Tapi benarkah yang kucari adalah kesempurnaan? Masalahnya hatiku mengatakan tidak untuk perjodohan ini walaupun logika mengatakan iya.
***
Setelah berbicara dengan Tiff semalam, Maria merasa kepalanya semakin mumet dan pagi ini ia terbangun dengan badan yang tidak segar. Sambil merenggangkan tubuhnya, ia mengambil ponsel yang berada di meja rias.
Jam setengah delapan. Biasanya Maria bangun jam tujuh pagi, semalam lupa set alarm. Ia melihat ada notifikasi pesan dan kalender. Maria mengabaikan notifikasi kalender dan membuka pesan terlebih dahulu.