Unrequited Feelings 25

2.9K 72 8
                                    

Annetta terbaring di sebuah tempat yang kosong, hanya ada warna putih bersih di sekelilingnya.

Annetta bangkit, dilihatnya pakaiannya yang berwarna putih. Gaun panjang yang menjuntai menutupi kakinya yang tanpa alas. Annetta berjalan terus mengelilingi tempat itu, tanpa tahu ujungnya. Annetta mulai panik dan berlari kesana-kemari hingga ia berhenti dan menyerah.

Ia lelah. Lelah berjalan, lelah mencari, dan lelah menanti. Annetta terduduk melipat kakinya dan menyurukkan wajahnya di sela lipatan kakinya. Yang ia lakukan hanyalah berdoa, berharap keajaiban Tuhan itu ada. Ia ingin keluar dari tempat yang ia tidak tahu di mana. Ah ya, biar saja dia di sini, bukankah tidak ada satu pun orang yang menginginkannya di dunia ini?

"Annetta," panggil sebuah suara membuat Annetta mendongak perlahan.

"Annetta, kumohon!"

Annetta mulai bergerak, mengedarkan pandangan ke seluruh sisi.

Dari mana asal suara itu? Siapa yang memanggilnya dengan begitu lirihnya.

"Kumohon Annetta, sadarlah! Aku tahu semua sulit, aku tahu semua rasa sakitmu Annetta, aku tahu. Tetapi aku mohon, sadarlah!"

Annetta tahu, suara ini bukankah suara yang sama? Siapa dia, siapa laki-laki yang rela terluka untuknya?

"Kumohon!"

Air mata Annetta menetes dengan derasnya. Pilu sekali suaranya. Apa Annetta begitu berarti untuknya, sampai-sampai ia menangis dan memohon untuk Annetta?

"Aku tahu kau sudah lelah, tapi bertahanlah. Bukan untuk siapapun, jika bukan dirimu, tetapi bertahanlah untuk diriku. Untuk memberiku kesempatan membahagiakan dirimu, kumohon!"

Annetta menatapnya titik cahaya yang begitu memyilaukan mata. Perlahan Annetta mendekat seiring dengan suara yang terus memanggil namanya.

***

Terduduk di lapangan hijau yang amat luas begitu menyegarkan mata. Matahari sore yang begitu indah dengan angin sepoi yang membuat diri ingin terlelap. Bunga-bunga bermekaran seakan tiada hari esok untuk menampakkan keelokannya.

Seorang gadis kecil dengan seorang anak laki-laki berlari mengejar secara bergantian. Tawa lantang kedua bocah itu semakin membuat suasana menjadi cerah tanpa noda.

"Bahagia sekali dirimu?" Sebuah suara mengintrupsi. Kutolehkan wajahku padanya yang mengambil tempat duduk tepat di sebelahku.

"Tentu saja, sudah lama sekali rasanya tidak kembali ke kampung halaman nan indah ini."

Dia tersenyum padaku. Senyum yang tak dapat kuartikan dulu. Senyum yang tidak sempat kubalas.

"Apa yang membuatmu begitu bahagia sampai tiada henti tersenyum, kau lihat, matahari saja kalah bersinarnya dengan senyummu itu."

Laki-laki ini, betapa beruntungnya yang menjadi miliknya.

"Kenangan," kataku pelan. Kuhela napas, sedikit rasa sesak menyeruak, membuncah dalam jiwa.

Kupandang dia yang membuang pandang lurus ke depan. Wajahnya tidak berubah meski telah berlalu bertahun-tahun lamanya. Usia pun semakin bertambah. Namun, anehnya dia masih terlihat sama, seperti dulu.

Kamu akan menyukai ini

          

"Kuharap itu kenangan yang indah," ucapnya menoleh padaku. Senyum tulus terukir di bibirnya.

Aku mengangguk dan merapatkan tubuhku padanya. Menyandarkan kepalaku pada pundak kokohnya.

"Tentu saja, kamu bisa lihat sendiri sejak tadi aku tersenyum. Sudah pasti itu kenangan yang membuatku bahagia. Jika tidak, aku sudah pasti akan menangis–"

"Jangan!"

Ucapanku terhenti ketika ia berkata lantang. Aku tahu, tahu semua yang ia maksud. Dia begitu membenci hal-hal yang dapat membuatku terluka, karena perasaan kesal tidak pernah dapat melindungiku.

Aku semakin merapatkan tubuhku padanya, memeluknya erat.

Ratusan bahkan jutaan kata maaf dan terima kasih selalu kuucapkan dalam hati untuknya.

"Tidak akan, sampai nanti ketika kau meninggalkanku."

Aku bersyukur pada Tuhan yang Maha Esa, berkat-Nya, aku mendapat kesempatan merasakan kebahagiaan yang amat sangat seperti sekarang ini.

"Kamu akan pergi ke acara itu?"

Aku diam sejenak sebelum menjawab. Berfikir tentang apa yang akan aku hadapi nantinya. Bertemuan dengan orang-orang terdahulu yang memiliki peran penting dalam hidupku. Aku tidak siap! Ah bukan tidak siap, tapi belum siap. Aku harus meneguhkan hatiku agar tidak goyah dan terluka lagi.

"Ya, aku akan. Lagi pula acara itu dibuat untuk diriku."

"Kau yakin?"

"Tentu saja, tidak perlu khawatir."

***

"Selamat datang kembali Annetta," ucap seorang wanita cantik dengan seorang anak laki-laki digandengnya.

Aku mengangguk dan memeluknya. "Terima kasih, Dy."

"Kau sudah tidak apa-apa sekarang? Kecelakaanmu sepuluh tahun lalu begitu membuatku terkejut, aku bahkan tidak sempat melihatmu." Dyah menggenggam tanganku. Dyah berkata tulus tentang kekhawatirannya.

"Maafkan aku, aku pun tidak menyangkan mendapat musibah seperti itu. Namun sekarang sudah tidak apa-apa." Dyah mengangguk dan memelukku sekali lagi.

"Em Dy, apa pria tampan bersamamu itu anakmu?" tanyaku melepas pelukan Dyah. "Berapa usianya? 10?"

Dyah mengangguk. Aku berlutut menyamakan tinggiku dengannya. "Begitu mirip dengan Mas Revan," kataku menatap Dyah dan kembali pada duplikat Mas Revan. "Siapa namamu sayang?"

"Daniel, Tante," jawabnya begitu manis.  Aku mengusap puncak kepala Daniel dan membawanya kepelukanku.

"Papa!" teriaknya melepas pelukanku dan berlari kebelakangku. Pasti Revan.

Aku bangkit dan berbalik. Mas Revan sedang memeluk Daniel sayang.

Daniel adalah bukti kebahagiaan pernikahan Mas Revan dan Dyah, andai aku tidak melepas Mas Revan dulu, aku tidak yakin dia juga akan bahagia seperti sekarang.

"Annetta?"

Aku mengangguk. Kulirik Dyah yang tersenyum memberi persetujuan. Perlahan kakiku melanglah mendekati Mas Revan, ketika tepat berada di hadapannya aku berhenti. Air mata tidak dapat ditahan. Dengan lembut Mas Revan meraih diriku kepelukannya. Kutumpahkan kerinduan yang selama ini kutahan. Menangis dalam pelukannya begitu membuatku nyaman.

Kami masih saling menyayangi, hanya saja kodratnya sudah berbeda sekarang. Rasa sayang yang ada hanya antara adik dan kakak, tidak lebih.

***

"Selamat malam semua, terima kasih telah menyempatkan waktu untuk datang."

Aku berdiri di sampingnya, menatap semua tamu yang datang. Wajah-wajah yang kukenal lama serta wajah-wajah yang baru kulihat. Semua orang berkumpul di satu tempat. Acara ini bisa dikatakan diadakan untuk menyambut kembalinya diriku dan dia. Sudah lama sekali tentu saja, bahkan aku melupakan beberapa orang yang kukenal dulu.

"Aku dan Annetta berterima kasih atas doa kalian. Sekarang kami sudah kembali dan dengan izin Tuhan tidak akan meninggalkan kalian lagi," ucapnya. Sejak tadi yang ia katakan hanya terima kasih. "Annetta, ada yang ingin kau sampaikan?"

Aku tersenyum padanya dan mengangguk. Ia mengusap kepalaku dan mencium keningku. Suasana yang tadinya sunyi menjadi riuh karena kelakuannya.

"Em.. Aku hanya ingin berterima kasih. Aku senang bisa melihat kalian semua. Aku senang bisa berjumpa dengan kalian lagi. Aku senang bisa kembali mengenang."

***

The End

***

Maaf sudah menunggu terlalu lama. Maaf juga endingnya gak sesuai.

Untuk sementara waktu, aku akan membiarkan kalian memikirkannya sendiri. Karena aku juga gak tau bakalan kayak gimana. Yang pasti. Annetta sudah bahagia.

Bersama orang yang ia Cinta... Dan dua orang permata miliknya.

Baiklah. Dengan ini aku nyatakan jika Unrequited Feelings END.

Terima kasih untuk waktunya dan terima kasih sudah bersusah payah membaca.

Saya Laelaters penulis dengan banyak kekurangan, pamit undur diri. Terima kasih ❤❤

Unrequited FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang