Sepanjang perjalanan. Tak ada satupun yang bicara. Terlebih Graciella sekarang dibonceng oleh orang yang tadinya sangat tidak ia sukai. Gavin masih mending mau mengantarkannya pulang. Sampai pada akhirnya Gavin yang membuka pembicaraan.
"Yang tadi itu siapa?" tanya Gavin.
"Kembaran gue." Graciella menjawab dengan enteng.
Gavin gak percaya. "Kok gak sama?"
"Ya karena kembarnya gak identik. Sama kaya lo banyak orang gak percaya kalo gue itu kembar sama Gwen. Soalnya jauh beda banget mukanya. Jelas cantikan gue kan?"
"Enggak juga."
Graciella gondok sendiri. Akhirnya ia diam saja tak ingin banyak bicara jika bukan Gavin yang memulai. "Lo yakin lo cantik?" tanya Gavin kemudian.
Graciella mengangguk yakin. "Iya lah. Gue cantik kan?"tanya Graciella sambil tersenyum yakin.
"Lo bangga?"
Graciella mengerutkan keningnya heran. "Lo kenapa sih? Lo naksir sama gue?"
"Nggak usah pamer dan ngerasa kalo lo cantik. Kecantikan itu cuma sesaat. Dan bakal menghilang seiring dengan bertambahnya usia," jelas Gavin membuat Graciella jadi sebal. Tapi memang perkataan Gavin itu ada benernya juga.
'Iya juga sih. Tapi gue juga gak bakal kaya gini kalo bukan karena Gwen.'
Dan tak lama Gavin sampai depan komplek rumah Graciella. Gavin menghentikan motornya. Memberi instruksi supaya Graciella segera turun dari motornya.
"Kok berhenti sih?"
"Ya lo turun. Udah nyampe."
"Udah nyampe mata lo rabun. Ini masih depan komplek, rumah gue tuh masuk lagi ke dalem," bantah Graciella dengan tangan yang menunjukkan arah rumahnya.
Gavin terlebih dahulu turun dari motornya. Setelah itu ia menarik Graciella agar segera turun dari motornya. "Apa sih gue gak mau turun!"
"Lo tuh gak tau diri banget sih. Udah untung gue nganterin lo sampe sini," balas Gavin. "Lo turun gak? Turun!"
"Lo yakin nurunin gue disini? Terus gue jalan gitu ke rumah? Entar betis gue segede talas bogor gimana urusannya?" Graciella masih berupaya mengubah keputusan Gavin. Tapi Gavin tetap bersih keras menyuruh Graciella untuk turun.
"Turun!"Graciella melirik Gavin dengan sinis. Setelah itu, ia dengan hati yang kesal turun dari motor ninja hitam milik Gavin. Gavin naik kembali ke motornya, kemudian menyalakan motornya kembali. Baru saja Graciella ingin mengucapkan terimakasih padanya, Gavin malah lebih dulu melajukan motornya dengan cepat.
"Maka--" Graciella menghembuskan nafasnya sabar. "Sih."
"Ck, cowok gila!"
***
Setelah mengantarkan Graciella pulang. Gavin gak kemana-mana lagi, melainkan ia juga pulang ke rumahnya. Padahal jam masih menunjukkan pukul 15.30.
Begitu sampai di rumah, pandangannya teralihkan ketika melihat ada mobil warna putih. Jika dibilang itu milik Mamahnya rasanya bukan. Baru minggu kemarin Mamahnya mengganti mobil. Ia merasa mengenali plat nomor itu. "Jangan bilang kalo itu elo!"
Dengan cepat ia melepas helmnya, menaruhnya diatas motor dan segera masuk. Di ruang depan, ia hanya melihat Anna, Mamahnya. Sedang berkemas akan pergi lagi ke kantor. Pekerjaannya sangat banyak sehingga sulit sekali untuk melihatnya bisa ada dirumah. Begitu juga dengan Papahnya yang sekarang sedang mengurus pekerjaan di luar negeri.
Gavin bersyukur karena tidak ada orang itu di rumahnya. Ia menghempaskan tubuhnya di atas sofa miliknya dan melepas jaketnya. Cuaca hari ini begitu panas, rasanya gerah sekali. Gavin membuka beberapa kancing bajunya sehingga memperlihat kaos putih yang ia kenakan.
Anna menghampirinya sambil sibuk membereskan isi tasnya. "Kamu udah pulang? Gimana sekolahnya?"
"Biasa aja," ucap Gavin dengan santai.
Mamahnya mengangguk. Gavin melihat raut wajah Anna yang seperti sedang menyembunyikan sesuatu. "Kenapa Mah?" tanya Gavin.
Anna menghembuskan nafasnya pelan. "Di belakang ada Kaylene. Dia nungguin kamu dari tadi. Mending kamu samperin dulu gih! Kasihan," jelas Mamahnya yang membuat Gavin mengacak-ngacak rambutnya kesal.
Gavin sedikit menenggakan cara duduknya. "Gavin males Mah,"
"Vin," Anna merajuk.
Dengan terpaksa Gavin pun mengikuti perintah Mamahnya. Mamahnya berujar yang membuat Gavin membalikkan tubuhnya. "Mama mau pergi lagi, paling pulangnya malem. Kamu baik-baik ya." Gavin mengangguk pelan.
'Kamu sebenarnya kenapa Vin?' gumam Anna dalam hati sebelum pergi.
Gavin berjalan menuju taman rumahnya. Di sana sudah ada Kaylene yang sedang berdiri sambil memperhatikan air mancur buatan di rumah Gavin. Gavin menghentikan langkahnya, ia mengurungkan niatnya untuk bertemu Kaylene. Tapi di sisi lain ia juga merasa kasihan jika membiarkan Kaylene begitu saja.
Akhirnya dengan banyak pertimbangan, Gavin pun berjalan lebih dekat menghampiri Kaylene. "Ngapain lo di sini?"
Suara Gavin berhasil membuat Kaylene berbalik. Tanpa menjawab pertanyaan Gavin, Kaylene langsung berlari dan memeluknya.
"Lepasin Gue!" Gavin mendorong tubuh Kaylene tapi Kaylene semakin mengeratkan pelukannya.
"Enggak Vin! Gue gak bakal lepasin lo lagi!" tolak Kaylene.
Gavin memejamkan matanya berusaha menahan emosinya. Dengan sesabar mungkin ia berusaha menghadapi Kaylene dengan tenang. "Kalo lo mau bilang lo nyesel, sekarang udah bukan waktunya lagi Kay."
"Gue sayang sama lo Vin. Please jangan ngehindarin gue. Jangan tinggalin gue!"
Gavin melepaskan pelukan Kaylene dengan pelan. "Gue gak pernah ninggalin lo Kay. Tapi lo yang ninggalin gue. Setelah gue tau semua kebenarannya, apa lo pikir lo bakal ngelakuin itu kalau lo sayang sama gue?"
Kaylene diam. Ia tak punya jawaban yang bagus untuk menjawab pertanyaan Gavin. Saat itu niatnya memang untuk memanfaatkan keberadaan Gavin saja. Gavin itu cuman jadi badut buat Kaylene. Tapi ia juga tidak tahu jika seiring berjalannya waktu perasaannya untuk Gavin bisa berubah.
"Nyatanya, emang lo tuh gak pernah sayang sama gue. Lo cuman manfaatin gue, supaya nyokap gue mau nerima lo jadi model di perusahaannya. Dan setelah semuanya itu lo dapetin, lo acuhin gue dan lo jadian sama cowok yang bener-bener lo sayang. Bukan gue!" Gavin tersenyum.
"Gue tau gue salah. Gue gak seharusnya ngekhianatin lo. Tapi tolong maafin gue, dan kita balik lagi kaya dulu Vin." Kaylene memohon sambil meraih tangan Gavin. Pipinya sudah dipenuhi oleh air mata yang terus menetes.
Gavin tertawa kecil. "Gue mungkin bisa maafin lo. Tapi buat semuanya kembali lagi kaya dulu? Itu gak akan mungkin Kay. Mungkin ini cara yang baik, supaya kita sama-sama bisa belajar dari kesalahan. Terutama gue, yang harus belajar gimana caranya naruh kepercayaan sama orang yang tepat. Sekarang lo itu mantan gue, tempat lo di masa lalu, bukan masa depan."
Gavin melepaskan tangan Kaylene dengan kasar. Ia kemudian pergi meninggalkannya sendirian disana. Tak peduli jika Kaylene akan terus mematung seperti itu. Yang jelas ia sudah tidak ingin berurusan dengan Kaylene.