"Cikaa, lo beneran gapapa?"
"Iya, Syaa, gapapa. Gue mah setrongg." Jawabku sambil mengepalkan tangan dan mengangkatnya lemas. Sejak Vindy 'memergoki' aku dengan Tama di depan toilet waktu itu, ia benar-benar marah. Dibelakang Tama, ia bahkan sampai membentakku.
"Lo tauu gue suka sama dia, kok lo nyamber aja sih, lo sahabat gue kan, Cik"
"Bukannya lo sendiri yang bilang, kita bisa berjuang bareng, salah gue dimana?"
"Salah lo? Lo bilang lo sayang sama gue, ga bisa ya lo lepas aja Tama buat gue. Gue juga kayanya lebih pantes buat dia."
Kuingat lagi percakapanku dan Vindy tepat setelah ia melihatku bersama Tama. Tentu saja bukan di depan Tama.
"Sahabat, Vin, ingett kita itu sahabat. Bukan kaya gini setauku cara kerja seorang sahabat. Tunggu Vin, gue bakalan bikin lo inget sama hubungan kita, Vin." Kataku yang kutujukan diri sendiri. Ini waktunya pulang, tapi aku seperti tidak ada tenaga untuk berdiri sekalipun.
•°•°
Keesokannya,
Klinggg
"DEWAA?!!" Aku berusaha untuk tidak berteriak, karena takut papa mendengar.
Dewa: Cik, jangan lupa tugas matematika ntar dikumpulin, waktu itu kelompok kita selesai pertama, jangan sampe lo ngancurin reputasi kelompok kita
"Duhh pedesnyaa, santai ngapa, pagi-pagi ngomel" Gumamku.
Aku: iyaa iyaaaa, sudah siap mister bos, ada yang bisa saya bantu lagi kah?
Bahasaku menjadi 'sok' formal karena kesal dengan bahasanya yang seolah menjadi atasan paling tegas yang pernah lahir.
Dewa: ada, ntar aja gue kasih tau
Kalimat itu membuat keningku berkerut. Tapi aku memutuskan untuk tidak bertanya, karena aku harus berangkat sekolah.
•°•°
"Mana hasilnya, gue mau cocokin lagi sama jawaban guru les gue nih" Dewa membuka tangannya di depanku, kalau saja aku masih mengantuk saat itu, mungkin yang kuberi bukannya kertas folio hasil kerjaan kami, tapi tanganku.
"Oh yaa, ini mister, silahkan" Aku memberikan kertas itu sambil menundukkan kepala seolah sedang memberi hormat pada atasan.
"Oh iya, lo ada apa sama Vindy?" Tanyanya. Aku terkejut karena berarti dia perhatian, tapi entahlah padaku atau Vindy. Tapi orang yang tidak dekat dengan aku dan Vindy sekalipun pasti tahu bahwa ada sesuatu yang terjadi antara aku dan Vindy.
"Itu, haha susah njelasinnya. Kenapa?"
"Em gapapa, yaudah thanks ya" Dia berlalu meninggalkanku, tapi mataku seperti tidak mau lepas dari punggungnya yang kian menjauh dan hilang entah kemana.
"Cik, dicariin Tama didepan" Ujar salah satu teman kelasku.
"Oh, oke makasih" Aku langsung keluar mencari sosok yang dimaksud.
"Cikk!"
"Haii" Aku melambaikan tangan pada pria yang duduk di sebuah bangku yang ada di depan kelasku.
"Kenapa ni, pagi-pagi tumben nyariin" Aku tak mau berbasa-basi, entah kenapa aku takut Vindy datang dan membentakku lagi.
"Itu, Cik, Vindy kemaren chat gue"
"yaa, laluu permasalahannyaa?"
"Dia bilang dia suka sama gue, Cik."
Oh tidak, nafasku tidak teratur. Kupikir dia berjuang agar Tama menjadi suka dengannya, tetapi kenapa dia yang menyatakan duluan.
"Dia nembak lo?" Tanyaku ragu-ragu.
"Enggak, dia cuma nyatain perasaan dan bilang supaya gue bisa sedikit jaga perasaannya."
"Jaga perasaan? Gimana maksudnya?"
"Ya, dia bilang supaya gue jangan deket-deket sama lo lagi. Cik, kalian berdua itu sahabat, dari masuk SMA, gue juga kenal dia, dia juga temen gue, dan lo tahu? Dewa sekarang suka sama dia. Dewa kemaren cerita ke gue, dia sebenernya pengen minta bantuan lo karna lo sahabatnya, tapi karna kalian lagi musuhan, dia minta tolong ke gue. Kan gue bingung jadinya, Cik. Gue pengen bantuin Dewa, tapi kalo gue deketin Dewa sama Vindy, ntar malah Vindy ngiranya gue ga bisa jaga perasaannya."
"Jadi, Dewa beneran suka sama dia?" Suaraku sedikit bergetar karena, ya, kau tahu.
"Iya."
Kepalaku menjadi ikut pusing dengan cerita dari Tama. Bagaimana ini? Mungkin kalau Dewa bisa berhasil mendapatkan Vindy, otomatis Tama bisa saja tetap untukku. Tapi, saat ini, Tama lah yang disukai Vindy. Muncul niatan dalam diriku untuk mendekatkan Dewa dengan Vindy, mungkin dengan begitu juga aku bisa sepenuhnya melupakan Dewa. Tapi aku juga masih tidak tahu bagaimana caranya.
"Cik! Cikaa!"
"Hah, eh apaa?"
"Udah ngelamunnya? Tapi by the way, muka lo lucu kalo lagi ngelamun." Tama memberikan senyum indahnya -lagi- untukku, yang semakin membuatku ingin mendapatkannya. Aku harus mencari cara membantu Dewa.
"Hih paan sih" Aku tersadar dari lamunanku dan mendapati bel berbunyi. Aku tiba-tiba teringat saat aku membolos bersama Vindy, betapa seru dan mendebarkan saat-saat itu. Aku suka saat bersama Vindy tentu saja, aku juga tentu tak ingin menyakiti hatinya. Tapi, kenapa aku merasa dia menyakitiku?
•°•°
KAMU SEDANG MEMBACA
I CAN'T STOP
Teen Fictionpenyesalan yang berlarut larut hanya akan menyakiti perasaan, namun, apa yang terjadi jika penyesalan itu menghantui tanpa henti? Cika, siswi kutu buku yang moody, mengenal cinta pada kali pertama di SMA. What happen with her first love? happy readi...