Malam telah menjelang namun Agra belum bisa tidur. Dia memutuskan untuk keluar kamar sekadar mengambil segelas air putih. Keadaan rumah sungguh sunyi, letak kamar Agra bersebelahan dengan Arga. Sementara di seberang mereka yang terpisahkan beberapa meter itu adalah kamar punya Gara dan Raga. Vanilla ada di lantai bawah dekat taman belakang bersama Mama dan Papa di kamar utama. Dia menghela napas jengah, membosankan.
"'Cause i don't deserve you and you don't deserve this
Who's gonna dry my tears when i'm crying?
Who's gonna hold my hand when i'm dying?
Who's gonna set me right when everything is wrong?
Who's gonna love me when you're gone?
Never happy 'til the darkness comes and rains down on me."
Samar-samar Agra menangkap petikan gitar mengalun indah menyentuh telinganya. Salah satu musik yang sering dia dengar dulu ketika Raga masih hidup. Dia mengikuti arah suara tersebut yang mengantarkannya pada balkon lantai dua, dari ujung lorong dia menemukan punggung yang biasanya berdiri tegak kini melorot. Meski tidak melihatnya secara langsung Agra tahu Gara merindukan sosok Raga yang selalu memeriahkan suasana keluarga. Tiba-tiba kekosongan di sebelah Gara berubah, ada bayangan yang menyerupai Raga dan ingatan saat kakaknya itu masih hidup pun muncul layaknya film di mata Agra.
"Raga! Gara! Gila ya lo? Gue lagi belajar, besok ada ulangan kimia!" sentak Agra kesal melempar kedua kakaknya itu pakai bantal.
Raga tergelak, memeletkan lidahnya meledek Agra. "Ya udah biar belajar lo santai dikit gue nyanyiin, jangan serius-serius amat gue denger ada yang mati gara-gara belajar mulu!" tandas Raga senang menjahili Agra.
"Yang ada lo yang bakalan mati karena keseringan berantem!" balas Agra jutek.
Raga meletakkan kedua telapak tangannya di depan dada, berekspresi sedih yang dibuat-buat. "Wah, lo benar-benar sarkas yang menyakitkan."
Agra memutar bola matanya keki. "Gar, gue tau lo orang yang baik jadi kecilin suara gitarnya," pinta Agra setengah mengancam. "Atau besok senarnya gue gunting semua."
Lalu semuanya melenyap.
Agra kembali pada dunianya, dia menghirup napas sedalam-dalamnya. Sosok yang dia lihat di sisi Gara, yang tadi menertawakannya telah menghilang terbawa angin malam. Hanya Gara yang dia lihat duduk sendirian di sana.
Tanpa Raga.
Dan, seterusnya akan seperti itu.
Ada sedikit rasa penyesalan pada diri Agra karena dulu mengatakan hal yang ternyata menjadi kenyataan. Sedikit pun Agra tidak merasa senang setelah kepergian Raga. Dia memang jengkel akan kelakuan Raga yang sering mengganggunya tapi bukan berarti dia menginginkan Raga untuk tiada.
Dia merindukan Raga.
Sangat merindukannya.
•••••
Rachel mengendap-endap menerobos tembok belakang sekolah yang tidak terlalu tinggi. Dia melirik ke sekitarnya mencari keamaan sebelum memanjat. Gara-gara semalam dia menonton film hingga larut Rachel jadi bangun kesiangan.
Selesai mengontrol sekelilingnya, Rachel menumpukan kedua tangannya ke atas dinding pembatas dia melemparkan tasnya terlebih dahulu sebelum mengangkat tubuh kecilnya agar meloncati tembok. Tak disangka, tas biru Rachel mengenai Agra yang kebetulan sedang lewat sana. Dia terkejut ketika tas Rachel mendarat mulus di kepalanya. Lelaki itu mengerutkan keningnya bingung lantas mengambil tas tersebut sambil memerhatikan Rachel yang kesusahan turun karena roknya tersangkut.
"Ah, kenapa susah banget sih." gumam Rachel kesal, dalam satu tarikan dia berhasil melepaskan kaitan roknya dan meluncur bebas ke bawah.
Area tembok belakang merupakan daerah rawan cabut massal atau tempat masuknya anak-anak yang terlambat. Jarang ada guru yang lewat kecuali guru olahraganya yang terkenal super galak itu, dia biasa mengontrol ke penjuru sekolah terutama tempat keramat ini.
Rachel menepuk-tepuk tangannya yang terdapat noda tanah, dia melirik seorang lelaki yang mengenakan seragam putih-abu di hadapannya dengan tatapan menilai. Tidak ada badge yang terpasang di lengan, baunya pun seperti seragam baru dan Rachel belum pernah melihat lelaki itu sebelumnya. Rachel menyimpulkan bahwa dia adalah adik kelasnya.
"Lemparin dong tas gue." perintah Rachel menengadahkan tangannya tidak sopan.
Agra diam, dia tidak menuruti perkataan Rachel membuat perempuan itu mengerutkan keningnya bingung tidak sabaran. Rachel hendak membentak Agra menyuruhnya segera memberikan tas tetapi tiba-tiba Rachel mendengar suara guru olahraganya mendekat.
"Iya, Pak. Besok saya datang, sekarang saya nggak bisa karena mengajar."
Buru-buru Rachel menarik pergelangan tangan Agra lalu bersembunyi dibalik dinding gudang yang menjadi penghalang keduanya agar tidak ketahuan guru. Sekitar lima menit Rachel menguping pembicaraan guru olahraganya perihal rencana besok tentang pertemuan keluarga, perempuan itu mulai jengah.
"Sumpah ya gue udah di nyamukin di sini," keluh Rachel menggosok tangannya, dia menatap Agra dengan pandangan nelangsa. "Lo nggak gatel apa?"
Agra menggeleng. "Gue udah mandi."
Kontan Rachel mendelik. "Secara nggak langsung lo mau nyindir kalo gue nggak mandi?" ketus Rachel merebut tasnya yang masih dipegang Agra. "Lo masih junior di sini, sama-sama telat nggak usah banyak tingkah. Masih untung lo gue tolong!"
Agra mengembukan napas. Mimpi apa semalam dia sampai hari pertamanya di sekolah mendapatkan kesialan seperti ini? Dia menarik diri dari cengkraman Rachel, membenarkan tas ransel hitamnya kemudian melangkah keluar. Rachel tersedak oleh ludahnya sendiri, dia menahan tangan Agra supaya lelaki itu tidak bergerak.
"Mau ngapain lo?"
Tetapi Agra tidak akan membiarkan Rachel semena-mena lagi terhadapanya. Dia menepis tangan Rachel, tanpa menghiraukan perempuan itu lagi Agra menghampiri guru pria berusia limapuluh tahun tersebut. Dia menyapanya dengan sangat ramah yang langsung dibalas senyuman oleh sang guru. Agra mengenalkan diri sebagai siswa pindahan dan dia tidak tahu di mana ruang kepala sekolah, guru itu mematikan sambungan teleponnya lantas mengantarkan Agra ke tempat yang dia maksud.
Di belakangnya, Rachel tergugu. Jadi yang tadi itu bukan junior melainkan murid pindahan yang akhir-akhir ini sering diperbincangkan karena berasal dari Australia. Rachel kira lelaki itu berwajah bule rupawan ternyata tidak sama sekali.
Sementara itu, sekilas Agra menoleh. Dia melihat Rachel sudah bisa keluar dari persembunyiannya berniat berlari menuju kelasnya berada. Ketika perempuan itu bergerak Agra menelengkan kepalanya, dia menilik ujung rok sebelah kanan Rachel yang sobek lumayan panjang. Namun karena tidak kenal Agra pun mengedikkan bahunya cuek dan Rachel bergegas sebelum guru lainnya berdatangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Girl's Effect
Teen Fiction❝I'm just a good girl with bad habits.❞ Dunia Rachel terjebak pada tiga bersaudara; Raga, Gara dan Agra. Semenjak kematian Raga, hidup Rachel kini jungkir balik tidak lagi semenarik dulu. Pesta, merokok, mencuri hingga memberontak hanyalah peralihan...