Cita-Cita

260 3 0
                                    

Bermula dari hati seorang gadis yang selalu memendam perasaannya sendiri, namun seringkali terjebak oleh hatinya sendiri.
Seorang gadis yang sibuk merangkai semua kejadian baik ataupun buruk dalam hidupnya menjadi sebuah keindahan dalam kebahagiaan.
Sibuk pula mengikat satu demi satu ucapan kasar yang dilontarkan untuknya menjadi sebuah ketenangan dalam jiwanya.
Sibuk menghubungkan hal satu dengan yang lain agar hidupnya berwarna karena menimbun mimpi.
Sehingga, pada suatu ketika gadis tersebut menjadi buta karena tak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta.

******

Gadis yang berasal dari pinggiran hiruk pikuk kota pahlawan dengan hiasan hijab dikepalanya ini memiliki raut wajah yang bahagia dengan hati yang hampir tak bermakna. Berasal dari keluarga yang mampu karena sang Ayah memiliki pekerjaan yang bagus dan sang Ibu memiliki bisnis yang cukup maju. Tak sebanding dengan materi yang ia miliki dari kedua orang tuanya, Ayunda tak memiliki cukup kasih sayang yang memadai untuk mengisi hati dan hidupnya agar menjadi berwarna. Tak ingin membuat Ayah dan Ibunya gunda meskipun Ayah dan Ibunya sering membuatnya lebih gunda karena terlalu sering mengabaikannya, Ayunda selalu belajar dengan rajin dan mencoba hal-hal baru yang positif untuk dirinya. Mencari tahu bakat yang ia miliki, lalu menjadikannya sebuah hobi dan mewujudkannya sebagai cita-cita di masa depan kelak. Itulah yang selalu menjadi isi dalam pikiran Ayunda ketika ia melihat jerih payah Ayah dan Ibunya bekerja meskipun karena itu ia sedikit terlupakan. Ayunda sadar, Ayahnya melakukan semua itu dengan keras bukan hanya untuknya melainkan untuk keluarga. Sedangkan Ibunya, ia melakukan segalanya agar tak dapat terkalahkan juga karena ingin membantu sang Ayah dan membahagiakan anak-anaknya pula. Mungkin, tanpa mereka sadari terselip lah setetes dua tetes kesalahan dalam hidup yang berisi niat baik tersebut.

Pada suatu senja di musim hujan, Ayunda yang masih duduk dibangku Sekolah Dasar mengikuti lomba membaca puisi yang diadakan oleh sekolahnya. Tak hanya puisi, ia juga mengikuti lomba lainnya seperti melukis, musik bahkan maraton dengan maksud untuk mencari tahu bakat terpendamnya. Sampai saat itu, Ayunda masih belum bisa menjawab jika ada yang bertanya mengenai hobi apalagi cita-cita. Ayunda sungguh ingin mencari tahu apa bakat yang ia miliki, karena tak sabar segera melatih bakatnya mulai dini dengan cara yang telah ia siapkan nantinya. Tak disangka oleh dirinya sendiri, ia dapat menyelesaikan perlombaan yang ia ikuti dengan baik yaitu memenangkan lomba melukis, puisi dan musik dengan peringkat yang sama yaitu Juara 2. Bukan bahagia yang dirasa, justru bimbang yang tak berupa karena semakin tak tahu ia tentang bakat apa yang menonjol dalam dirinya. Ayunda memutuskan untuk memilih salah satu jenis perlombaan yang telah ia menangkan yaitu melukis. Berawal dari berlatih menggambar, mewarnai hingga melukis swcara abstrak dan mengikuti lomba untuk kedua kalinya, dan tak disangka lagi akhirnya ia mengharumkan namanya dengan peringkat yang lebih tinggi yaitu Juara 1 dengan usia termuda kala itu karena lawan-lawannya saat melukis berusia diatas 17 tahun. Semenjak hari itu, Ayunda melatih dirinya dengan menuangkan segala sesuatu yang ia rasakan dan pikirkan kedalam sebuah goresan pena dengan cipratan keindahan yang tulus dan hakiki. Dari goresan pena hingga sentuhan kuas yang diselimuti cat indah. Sedikit demi sedikit Ayunda menggali dan menggali bakatnya, menjadikannya sebagai hobi dan akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang pelukis.

******

Pencarian bakat yang dilakukannya sendiri ternyata belum usai. Memang sudah terbukti, namun bukti tersebut tak mendapat restu. Ya, sang Ibu tak memberikan izinnya kepada Ayunda jika Ayunda menjadi seorang pelukis. Argumen yang dimiliki sang Ibu pun tak membuat Ayunda berpikir bahwa pendapat Ibunya harus ia terima, karena bagi Ibunya seorang pelukis adalah pribadi yang jorok dan terlalu apa adanya. Bukan hanya tersinggung, tetapi juga sakit hati, meskipun Ayunda belum menjadi seorang pelukis. Tak mau risau karena pendapat Ibunya, Ayunda memutuskan untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa apa yang dikatakan sang Ibu itu salah besar.
Hingga akhrinya ketika Ayunda sudah menyelesaikan pendidikannya ditingkat terakhir yaitu Sekolah Menengah Atas, ia berniat melanjutkan ke Institut Teknologi Sepuluh Nopember dengan mengambil Jurusan Desain Komunikasi Visual. Sebenarnya Ayunda sangat paham dan mengerti bahwa keputusannya tersebut tak akan didukung oleh Ibunya, namun Ayunda berkeyakinan penuh untuk tetap membuktikannya. Ternyata sang Ibu menyiapkan formulir daftar masuk di sebuah akademik yang harus diikuti Ayunda dan secara tak sengaja bersamaan dengan jadwal tes yang akan ia lakukan di kampus impiannya itu. Sungguh pilihan yang benar-benar tak bisa dipilih, sangat tak mungkin jika ia harus mengabaikan formulir yang Ibunya berikan, namun juga tak mungkin baginya jila harus mengabaikan tes di kampus impiannya. Detik demi detik, hari demi hari, Ayunda telah memantapkan untuk mengikhlaskan kampus impiannya tersebut dengan memilih mengikuti tes di sebuah akademi impian sang Ibu. Bukan untuk mewujudkan impiannya, namun mewujudkan impian sang Ibu. Ini lah realita dari kehidupan seorang anak yang memiliki Ibu terlalu berambisi pada keinginannya sendiri tanpa memikirkan perasaan sang anak. Seorang Ibu yang ingin dihargai namun tak menghargai yang sudah menghargainya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jadilah yang pertama memberikan komentar 💬

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang