1

120 11 7
                                    

Gadis itu tengah berlari di lorong. Tidak jelas apa yang mengejarnya. Tampaknya, sesuatu yang sangat penting tengah menunggunya.

Mati gue. Rutuknya dalam hati.

Gadis itu terus mengumpat dan menyalahkan dirinya sendiri.

Tidak salah--gadis itu terlambat 30 menit, iya! 30 menit ke gladi bersih pensi sekolahnya.

Pasalnya, gadis itu kunci utama jalannya pensi itu.

"Heh lo! Thirty minute girl! What kind of person are you?" Sahut sebuah suara ketika kedatangannya yang dimaksud diam diam--terbongkar dengan sangat cepat.

"Gue ada urusan tadi di rumah. Jadi, gue ga sempet ngehubungi lo!"

Laki laki di hadapannya menghembus nafas kasar. Tampak kantong mata kehitaman di situ.

Pasti dia lembur kemaren. Sahut gadis itu dalam hati.

"Yaudah. Lo ke belakang stage aja. Partisipan udah pada nunggu lo." Ucap laki laki itu lagi. Gadis itu terlihat sangat kacau--percayalah--laki laki itu nampak lebih kacau daripada dia.

Rambut tidak disisir,
Kantong mata kehitaman,
Baju yang sama dan terlihat kucel,
Warna kulitnya yang pucat,

"Ren, lo butuh istirahat. Lo pulang, mandi, trus tidur. Nanti sore, lo balik ke sini ya! Ini gue yang urus smua ini." Ucap gadis itu. Dia benar benar prihatin dengan laki laki bernama lengkap Gallas Xaverius B.

"Ga mungkin lo bisa handle semua ini. Denger gue Giv, gue akan tidur kurang lebih 1 jam an di ruang osis. Lo handle satu jam aja." Ucap laki laki itu tidak mau kalah. Padahal, kepalanya pening.

Salahkan egonya yang tidak mau mengalah. Ya pastinya lah, toh dia yang menjabat sebagai ketua osis di sini, mana mungkin dia akan memberikan pekerjaannya pada orang lain. Pasalnya, laki laki ini berprinsip "antisosial". Jujur saja, memberikan kepercayaan pada orang lain tidak memberikan resiko kecil tapi sangat besar.

"Re, lo isti--"

"Lo, ke backstage sekarang atau gak usah bantu gue sampe habis pensi ini" ancam Gibre. Ada rasa kecewa di mata Givannya yang jelas tercetak, tapi mata Gibran lebih memilih untuk tak acuh.

Givannya atau yang kerap disapa Gigi berlari ke backstage dan langsung dengan sigap berhasil membuat 1 barisan panjang berisi partisipan.

"Hai kalian semua--" sapa Gigi lewat pengeras suara yang disaut hai oleh para partisipan.

"Oke, kita langsung gladi bersih aja ya, tolong yang menggunakan mic di atas 5 buah lapor ke Igo di sebelah kiri lapangan ya." Lalu seorang anak laki laki yang diketahui Gigi sebagai adek kelasnya di kelas 10 mengangkat tangan "kak, kelompok kita butuh tempat yang sedikit lebih luas untuk tari apinya."

Gigi sontak bingung, tari api? Apakah memang ada di dalam jadwal? Apakah anak anak ini ikut audisi?

"Emm, kalian bisa menemui Alena di dekat ruang sound ya... tunggu saya di sana." Anak laki laki itu mengangguk semangat.

"Gi, lo udah nyiapin mic berapa? Bukannya kata lo, lo mau bawa 5 mic?" Gigi menoleh menuju sumber suara dan yang terlihat adalah manusia super dibencinya yang tengah botak setelah dicukur sebagai kekalahan main kartunya.

"Loh?! Gue bawa berapa emangnya?" Sahut Gigi panik. Tadi pagi memang dia belum sempat mengeceknya, ya karena bangun kesiangan itu.

"Lo bawa enam kok" jawaban itu mendapat balasan jitakan di kepala yang cukup keras. "Kalo lo ke sini hanya berniat menganggu hidup gue, lo main dulu sama yang lain oke? Main dulu sama Stefanya misalnya?" Dengus Gigi kasar.

Wajah usil dari wajah Erik memang tidak akan pernah luntur meski dipoles bedak setebal apapun.

"Oke gue pergi dulu ya, lo hati hati ya"

Gila emang ini manusia satu. Celetuk Gigi dalam hati.

"Gi, lo liat ga kemana hp gue? Waduh gila ilang nih. Mana penting lagi. Bisa bisa gue dilabrak emak di sekolah nih kalo gue ga angkat telfonnya" sahut Vanya dari arah blakang Gigi. Tawa Gigi yang semula ditahan akhirnya pecah.

"Bisa ga sih jangan ganggu gue dulu, pekerjaan gue masi banyak di sinim lo minta aja si Flad nyariin hp lo." Sahut Gigi terkikik disambut oleh kikikan para partisipan.

"Oke, semua udah siap, tolong masuk satu per satu ya.. semangat kalian semua" Kata Gigi menyemangati para partisipan.

Sesaat setelah para partisipan mulai terlihat melakukan aksinya, Gigi memutar arahnya menuju ruang Alena menemui para penari 'api'.

"So guys, are you sure you will bring the fire dance up to stage? Are you guys really pass the audition?" sahut Alena menyakinkan. Alena adalah anak dari pasangan berdarah campuran Amerika Indonesia tepatnya Jawa, jadi Alena fasih berbahasa Inggris-Amerika, untung saja sekolahnya berstandar internasional sehingga muridnya diharuskan bisa berbahasa inggris dengan fasih sehingga memudahkan siswa WNA untuk berkomunikasi.

"Iya kak, kita lewat jalur audisi kok. Tapi kita tarinya tari 'api' kok" sahut salah satu dari mereka sambil memakai tanda kutip di kepala. Alena diam--atau mungkin dia tidak paham maksutnya.

"Maksutnya mereka Le, apinya ga sungguhan. Yaudah kalian ke belakang panggung lagi ya. Maaf atas misscomunicationnya."

Sesegera mungkin mereka berlari ke belakang panggung,menyusul waktu yang terbuang sia sia karena adanya kesalahpahaman.

"You're not going back to the backstage? Where's Gibre? I didn't see that boy." Sahut Alena sambil memutar tubuhnya mencari Gibre.

"He take some time to rest his head off. I think he need more than 1 hour to sleep." tawa renyah keluar dari mulut mungil Gigi mengingat ketuanya yang mengatakan bahwa hanya akan tidur 1 jam tapi kelihatannya dia lebih memilih melanjutkan mimpinya.

-------------------------------------------

Kira kira gladi bersih berjalan 6 jam dan batang hidung Gibre belum terlihat di manapun.

Katanya cuma butuh 1 jam. Geram Gigi dalam hati. Untung saja, Gigi cukup cekatan mengatur gladi bersih. Yang tentunya dibantu oleh beberapa orang lainnya.

"Go, tadi mic ada yang rusak? Soundnya gimana? Terus cukup ga luas panggung buat partisipan manapun? Terus kabel gi--"

"Lo kalo ngomong selow aja. Gausa kaya kereta api. Semuanya baik baik aja, partisipan juga gaada yang ngeluh. Buat mic yang lebih dari 8 orang ada 2 kelompok doang. Itupun mereka pas 8 jadi mic sekolah aja yang dipake." Sahut Igo panjang lebar.

"Gi? Loh partisipan mana semua?" Suara serak seperti habis bangun itu membuyarkan lamunan Gigi.

"So you only need 1 hour to sleep sir? I think you should go home and you refuse it." Nada kesal Gigi tercetak dengan sangat jelas, tapi seperti biasanya Gibre memilih tak acuh.

"Jadi, mana partisipannya Givannya Galatia?" Pertanyaan itu justru membuat Gigi semakin jengkel dengan laki laki di depannya.

"Udah pulang, for your information, you are sleeping for six hours and the participant is done doing their performance."

Gibre hanya melirik lewat ekor matanya ke arah Gigi. Melihat bahwa perempuan itu benar benar marah. Pasalnya, dia sangat lelah dan perempuan itu mengaku mampu menghandle acara ini. Tapi, harusnya dia bangun--sesuai dengan janjinya yang hanya tidur 1 jam.

"Gue minta maaf. Makasih lo udah nge handle. Now, go back home. Tomorrow will be a great day." Sahut Gibre sambil merangkul bahu kecil Gigi, yang tidak mendapatkan penolakan dari Gigi.

Ya sama sama. Sahut Gigi dalam hati tapi dikalahkan oleh ego.

-----------

Hai readers..
Author mau terima kasi buat para readers yaa😘😘
Yang udah baca cerita ini
Saran cerita silahkan di komen🎉🎉

P.s : author masi amatir✌

OVER THE PAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang