Serial SHALIH SQUAD Jr. – 20. Shalat di Masjid
Penulis : Uniessy
Dipublikasikan : 2017, 1 Februari
-::-
"Ayah, kenapa sih kita harus shalat di masjid? Kenapa ngga shalat di rumah aja bareng Ibu sama Maira?" tanya Uwais yang ketika itu berusia delapan tahun, selagi berjalan bersama ayahnya menuju masjid yang tak jauh dari rumah mereka. Kakinya dihentak-hentak sepanjang jalan, sedangkan tangan kanannya menggaruk leher. Rasa kantuk menerjang hebat.
Saad menunduk, tersenyum mendengar pertanyaan bernada komplain yang dilontarkan putranya.
"Ya kenapa ngga?"
"Ayah..."
Uwais merajuk lagi. Sebab respons ayahnya tidak menyelesaikan masalah.
Saad melihat ke sekeliling. Hari masih gelap, dan azan Subuh belum terdengar. Hanya sayup-sayup orang mengaji terdengar di pengeras suara masjid. Di bawah penerangan lampu jalan, di depan pagar rumah tetangga mereka yang masih tertutup rapat, Saad berjongkok, agar tingginya sejajar dengan putra pertamanya itu.
"Inget, ngga... ayah pernah bilang ke Uwais, bahwa kalau kita shalat ke masjid, satu langkah kaki menghapus dosa, dan langkah lainnya meninggikan derajat. Masa kamu ngga mau ambil kesempatan itu?" tanya Saad dengan raut tenang, sebab Uwais tampaknya masih bersikukuh bahwa semestinya mereka shalat Subuh di rumah saja, bersama ibu dan adik perempuannya yang berusia enam tahun.
Namun wajah Uwais masih memberengut. Matanya tertuju ke kaki-kaki mereka.
"Dari Buraidah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda; Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan di dalam kegelapan menuju masjid-masjid, bahwa ia akan mendapatkan cahaya sempurna pada hari kiamat," tutur Saad lebih lanjut. "Hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Tirmidzi. Hari kiamat nanti suasananya membingungkan, dan dengan cahaya itu kita ngga bakalan tersesat. Masa kamu ngga mau ambil kesempatan itu?" ulang Saad.
Memerhatikan wajah putranya, Saad ingin sekali melontarkan pertanyaan; 'Coba tanya Umar, dia jamaah Subuh di masjid ngga?' Kalau saja dia tidak ingat bahwa itu bisa mengecilkan hati pemuda di hadapannya ini.
Nyaris tidak ada orang yang suka dibandingkan, bukan?
"Tapi Uwais ngantuk, Ayah..." jelas Uwais lagi. Agaknya dia tetap meminta dispensasi agar kali ini diloloskan dari kewajiban ke masjid.
Menghela napas demi menyabarkan diri, Saad lalu meraih kedua tangan putranya.
"Dulu nih ya, Uwais seneng banget kalau Ayah ajak ke masjid. Ibu bilang, kamu tuh pasti nangis kalau Ayah tinggal shalat Subuh. Kadang Ayah sempatin pulang ke rumah sebelum Isya, biar kamu bisa ikut jamaah juga. Kamu masih tiga atau empat tahun waktu itu," kata Saad. Kepalanya terdongak, senyumnya terulas. "Sekarang, usia Uwais udah delapan tahun, harusnya lebih semangat kalua ikut Ayah shalat di masjid. Iya ngga?"
"Tapi kan di rumah juga bisa, Ayah..." Uwais masih berargumen.
"Uwais mau ke Mekkah ngga?"
"Mau," sahut Uwais dengan anggukan mantap.
"Ayah lagi nabung biar kita diundang Allah ke rumahNya bareng-bareng. Ayah, Ibu, Uwais, sama adek-adek," kata Saad lagi. "Sekarang, kita datangi dulu rumah Allah yang dekat-dekat. Masa yang jauh disambangin, yang dekat ditinggal tidur?"
Ada tawa kecil terselip di berengut wajah Uwais. Bulan lalu dia senang sekali melihat Khalid pergi ke Mekkah bersama papa dan mamanya beserta Khansa dan Khairul. Ayah Uwais bilang, bahwa mereka sekeluarga juga akan ke Mekkah. Nanti, kalau segala sesuatunya siap.
Kalau Allah mengizinkan, begitu kata Ayah.
Suara mengaji yang sejak tadi terdengar, mulai berhenti. Tergantikan dengan kumandang azan yang merdu. Membangunkan jiwa-jiwa yang jauh dari kemunafikan, untuk memulai hari.
"Udah ngga ngantuk?" tanya Saad pada Uwais.
"Ngga," kata Uwais mantap. Binar di matanya yang sejak tadi redup, kini mulai menyala. "Tapi bener ya, Ayah, kita ke Mekkah? Sama Ibu? Sama Maira?"
"Khayran insyaaAllah," kata Saad dengan sunggingan senyum senang. Di kepalanya terlintas kisaran biaya untuk mereka pergi berempat yang sedikit lagi bisa terkumpul.
"Nanti aku ngga jajan deh," kata Uwais lagi.
"Uangnya ditabung?" tanya Saad. Tangannya menggenggam tangan Uwais, dan langkah kaki mereka bergerak lagi. Menuju masjid yang sudah terlihat.
"Ngga. Disedekahin dong, Ayah. Biar Allah makin baik hati mau undang kita ke rumahNya di Mekkah..."
Lompatan kaki Uwais menyatakan bahwa dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya. Bahwa suatu hari, dia akan bisa ke Mekkah juga beserta ayah dan ibunya, dan juga Maira. Untuk saat ini, dia akan menyemangati diri mampir ke rumah Allah yang dekat, agar diizinkan untuk sampai ke rumah Allah yang jauh.
Belajar dari sang ayah, Uwais kecil sudah tahu, bagaimana cara merayu Allah yang Maha Baik.
[][][]
Semangat ya, Uwais :) Ammah nyemangatin diri sendiri jugak ;)
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] [ SHALIH SQUAD Jr ] Our Lives
SpiritualSeason One Apa aja sih yang terjadi di masa-masa SMP dan SMU yang menyenangkan?