Tanggung Jawab seorang lelaki

4.9K 551 19
                                    

Di suatu siang di hari minggu, dimana orang lain akan bersantai bersama keluarga mereka. Berbeda dengan gue yang saat ini sedang berkacak pinggang, dengan emosi di atas kepala.

Suami mana yang tak marah jika istri yang sekarang ini membawa anak dalam rahimnya bertingkah konyol seperti Tania.
Tania, yang sudah gue sahkan menjadi istri gue itu sekarang dengan seenak jidatnya lagi bergelantungan di atas pohon mangga dengan daster yang menampakkan pahanya.

"Tania turun!!". Perintah gue dengan nada dingin yang menusuk gendang telinga. Tania hanya nyengir melihat gue yang sudah menatap tajam padanya. Apalagi perut yang akan berusia tujuh bulan itu terlihat lebih besar dari tubuhnya.

"Ih Abang jangan melotot kayag gitu, Tania kan takut lihatnya". Katanya sambil turun dari kursi yang ia gunakan tempat untuk meraih buah mangga pada pohon belakang rumah. Wajahnya memberengut, dengan mata yang sudah memerah ingin banjir. Duh gini amat ya jadi suami, batin gue.

"Gak usah nangis! Sana masuk rumah cuci kaki, cuci tangan". Titah gue lagi yang dengan baiknya diturti oleh si Tania. Gue menghela nafas lelah, pinginnya libur kerja bisa manja-manjaan sama Tania. Eh yang ada si Bumil satu ini membuat sifat pemarah gue muncul karena melihat tingkahnya.

"Sabar, sabar. Orang istrinya cantik". Hibur gue sambil mengelus dada. Oh Ya Allah kenapa perempuan begitu amat sih ya.

Gue masuk ke dalam rumah dan tidak mendapati istri gue itu dimana. Hingga langkah kaki gue yang akan mengarah ke ruang kerja mendengar suara cekikikan dari si empunya suara.

"Iya Nin, gue sebel banget sama suami, eh astagfirullah gak boleh ngomong jelek pas hamil ya. Ya Allah maafkan Tania, nak maafin Mami ya. Papi baik kog". Kata Tania bermolog sendiri sambil mengelus perut buncitnya. Dan tangan yang satunya ia gunakan untuk memegang ponsel di telingannya.

Gue bersandar di depan pintu sambil mendengarkan si Tania yang gue yakini sedang mengobrol ria dengan sahabatnya, Nina. Gadis cantik tapi memberi pengaruh buruk pada Tania. Tapi sayang jika harus memilih, Tania lebih rela nangis kejer semalaman karena berantem sama Nina, dari pada nangis gara-gara gue cuekin.

"Iya, ya udah deh gue laper entar ya kita lanjut lagi sambil shoping-shoping baju anak gue. Bey bey ".

Tania menutup panggilan dengan senyum cantik yang bertengger pada wajahnya. "Udah jelek-jelekin suaminya?". Tanya gue mengaggetkan Tania, hingga ponselnya jatuh ke lantai.

"Abang!!". Seru Tania heboh, matanya melotot dengan tangan yang mengelus tempat jantungnya berdetak.

"Eh gak boleh teriak-teriak sama suami. Dosa loh".

Tania melotot mendengarnya dan gue kembali berkata "gak boleh melotot, manyun bibirnya itu dilepit, yang pasti harus nurut kata suami!!".

"Ih Abang!!".

"Tu kan udah dibilangin gak boleh teriak-teriak. Kalau didengar anak kita gimana, bisa-bisa dia lahir jadi suka teriak-teriak". Tapi yang ada si Tania malah mengeluarkan air mata. Yah, air mata sialan!!! Kenapa wanita diciptakan untuk menangis sih. Gue kembali mengehal nafas berat, menghadapi wanita beserta hormon sialannya membuat pria kayah gue cepet mati muda. Astagfirullah

"Hiks, kan Tania tadi refleks Abang". Jelasnya sambil sesenggukan, padahal ia menangis belum ada satu menit tapi seperti nangis satu jam hingga tidak dapat berbicara jelas.

Gue menghela nafas panjang mencoba kembali bersabar diri. ketika Alif menghadapi istrinya yang tidak mau mendekat padanya. Berbeda dengan Tania yang labiln dan manjanya sudah di atas rata-rata.

"Sini, udahan nangisnya. Tuhkan gak bisa nafas". Tania mendekat sambil memelukku, Membenamkan wajahnya pada dadaku.

"Hiks Abang jahat". Lirihnya

Fatur dan TaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang