Bab Dua

649 43 4
                                    

KEDUANYA masih mengatur napas yang putus-putus, meski mengerahkan banyak tenaga tapi semuanya terasa indah. Persatuan mereka memang tak dilakukan di awal namun bukan berarti mengurangi afeksi di dalamnya.

Syamsul mengarahkan tubuh lemas Raisya agar berbaring di lengannya yang kokoh. Satu kecupan ia layangkan di kepala berkeringat itu, ah tidak, seluruh badan dilapisi cairan hasil uap tubuh, sama seperti dirinya.

Mereka lengket, dalam arti kiasan dan harfiah.

"Makasih, Rai." Ia mengucapkan itu sungguh-sungguh, terpuaskan atas servis malam ini. Syamsul bersumpah ketika bergelut dengan kerjaannya ia beberapa kali mengeluh lelah, tapi sekarang waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari, ia belum juga terlelap, baru menyelesaikan olahraga ranjang mereka untuk pertama kalinya.

Raisya mendongak, membalasnya dengan senyum lebar, bersama mata menyayu sebab kantuk terasa. Jarinya menari di dada bidang suaminya dengan jantung yang ia sadari eksis karena merasa senang sebab bisa sedekat ini dengan yang dicinta.

"Rai, aku harap pernikahan kita ini nggak bermakna buruk untuk terjadi, bagaimanapun aku menikahi kamu, alasanku cuma satu, kita."

Raisya berdeham dengan anggukan pelannya. Ia diam-diam menyentuh perut, mengharapkan sesuatu yang sejak lama diidamkan. Sudah sampai sini harapannya terealisasi, tinggal beberapa babak lagi, maka dijamin ia akan sangat bahagia.

"Rai," panggil suaminya pelan, berdeham sekali seperti melenyapkan kegugupan, tetiba suaranya serak. "Aku mau lagi."

Mendadak mata Raisya melotot, matanya bergantian terarah antara wajah suaminya dan jam yang tergantung di dinding. "Besok kamu kerja, Mas."

"Urusan belakangan." Tubuh Syamsul sudah bangkit, dirinya menempatkan posisi pas agar bisa kembali menyelami kehangatan tubuh istrinya yang memabukkan.

Raisya diam saja saat kedua kakinya dilebarkan dan sesuatu memasuki intinya yang masih basah sisa kenikmatan beberapa menit sebelumnya. Wanita itu mengernyit, ada yang mendiami bagian bawah perutnya, rahim sudah tidak perawan itu menelan batangan keras yang kini berirama keluar-masuk, memanjat kembali titik klimaks, permulaan sebuah kehidupan.

Mereka sama-sama tak tentu. Si suami maju dan mundur, desahannya lebih tertahan dibanding sang istri yang tak mampu mengontrol sepertinya, kedua tangan putih itu meremas seprai hingga kusut, pandangannya mengabur tak jelas disertai bibir terbuka teraliri air liur.

Syamsul tidak menyia-nyiakan, ia dekatkan wajah dan kembali mencium bibir menggoda di depannya, masih senantiasa tak diam, kedua tangannya menahan posisi kaki istrinya agar tetap terbuka dan bersedia menyambutnya.
Mereka menghabiskan waktu hingga sekiranya fajar hendak menyapa, di detik energi Raisya terkuras habis dan wanita itu jatuh tertidur, suaminya masih setia berperan seolah punya nafsu tak terkalahkan.

***

"Rai, bangun!" Usapan pelan-pelan dirasanya di pipi.

Terusik lelapnya, Raisya menerjap-nerjapkan pandangan, memfokuskan netra. Suaminya sudah siap dengan pakaian kerja. Astaga, selama apa ia dihantui bunga tidur sampai tak sadar kalau Syamsul sudah mempersiapkan kepergiannya secara mandiri.

"Mas, jam berapa ini?" Meski kelopak masih lengket, tidak menyurutkan dirinya menatap sang suami.

Pria dewasa itu terlihat tampan, kemeja merah marunnya melekat bersama dasi berwarna hitam dan celana bahan senada. Nampak kentara di kulitnya yang putih, sebab gen turunan Negeri Ginseng sangat kental mengalir di nadinya. Kendati garis pandangan Syamsul tidak seperti orang Korea kebanyakan yang sipit, ia punya mata elang yang tegas dan tajam, dinaungi bulu mata lebat serta alis hitam menukiknya, menambah kesan maskulin yang kuat.

"Setengah sepuluh." Syamsul menjauh, ia benarkan letak jam tangannya, menatapi istrinya yang kalah karena digagahi semalaman. Tampilan wanita itu berantakan sekali, rambutnya kusut, banyak bekas gigitan terhias di kulit putih mulus tersebut, paling kentara di area leher dan dada, sisa percintaan mereka.

"Mas kenapa nggak bangunin aku dari pagi?"

"Ini juga pagi." Kekehannya terdengar ringan, ia usap kepala istrinya, merasa iba. "Maaf, aku kelepasan."

Antara masih dikuasai kantuk dan tidak tahu hendak menjawab apa, senyumannya tampil sebagai respon. Ia putuskan bangkit, tapi seketika tertahan begitu rasa nyeri berdenyut terasa di hampir seluruh bagian badannya.

"Aw!" Ringisnya pilu.

"Kenapa, Rai?" Syamsul perhatian, ia menyentuh bahu istrinya, membungkukkan tubuh hingga parfumnya menggelitik indera penciuman sang wanita. "Sakit banget, ya?"

"Ng--Nggak begitu, Mas, aku cuma kaget." Ia terkekeh, menenangkan.

"Serius?" Alis Syamsul naik. "Kalau nggak kita bisa ke rumah sakit."

"Iya, Mas, aku baik-baik aja." Raisya putuskan kembali rebahan, ia tarik selimut sampai ke hidung, menutupi sebagian wajahnya yang memerah. Tahu-tahu bayangan percintaan mereka terputar di pikiran, membuatnya malu sendiri. "Mas sudah sarapan?"

Melihat kondisi istrinya jauh dari kata baik, Syamsul tidak tega mengatakan fakta. "Aku sarapan di jalan aja, Rai. Sudah, kamu istirahat."

"Aku masak sarapan dulu buat kamu kalau gitu, Mas."

"Jangan maksain, Rai, udah kamu harus nurut!" Syamsul memaksa agar kembali badannya rebahan. "Kamu mau mandi?"

"Nggak, Mas, nanti aja."

"Ya sudah, aku berangkat, ya."

Ia mengangguk, kemudian memejamkan mata kala ciuman suaminya diterima kening.

"Jangan lupa makan." Nasihat mereka berbarengan.

Sepeninggal Syamsul, Raisya termenung menatapi atap kamar, memikirkan banyak hal. Mulai dari keinginan terakhirnya yang sempat hadir di sela-sela kebersamaan mereka hingga momen-momen indah tentang pembahasaan cinta mereka melalui gerak tubuh semalam.

Mengingat itu, Raisya tiba-tiba berteriak tertahan sambil menutup kelopak erat-erat, mengenyahkan bayangan nista beberapa jam lalu. Bagaimana memabukkan sentuhan suaminya, desahan tak terbendung darinya, sampai rasa aneh yang tercipta ketika sesuatu mengaliri peranakannya saat mereka mencapai puncak bersama.

Bahaya, otaknya sudah diracuni!

Tapi lagi-lagi Raisya mengelus perut, ia tak bisa menahan senyum, mengingat peluang wanita itu diberikan amanah untuk mengandung akan tiba sebentar lagi.

"Kalau kamu ada nantinya, Mama harap kamu tumbuh dengan sehat, ya, Sayang." Ia bermonolog seolah memang sudah ada janin di perutnya.

Nanti.

Ya, suatu saat nanti.

*****
• bertalian •

DaimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang