Dua Belas

503 28 5
                                    

Hari ini hari sabtu. Dan nanti malam Elika sudah janjian dengan teman-temannya untuk mengadakan pajamas party. Alan pun ikut serta sebagai pesuruh para gadis-gadis itu. Sejak sore, Elika sudah memberikan list belanja pada Alan yang isinya lumayan panjang.

"Heh, nyet! Lo mau pajamas party apa nikahan, sih? Banyak banget ini perlengkapan."

Elika memutar bola matanya malas dan berjalan ke arah dapur. Ia mengambil air dan meminumnya.

"Dosa ya lo kacangin Kakak lo sendiri."

"Ya ampun, Al! Lo lihat sendiri tadi gue lagi minum, mana bisa ngomong. Lo mau gue keselek air?"

"Ya kan lo bisa jawab sebelum lo minum. Nggak usah banyak alasan."

"Apa sih gitu doang jadi panjang?"

"Salah lo siapa suruh ngacangin gue. Dikacangin itu nggak enak tau."

"Al, kayaknya mata dan otak lo kalau dijual mahal deh."

"Hah? Emang iya?"

"Iya. Soalnya jarang digunakan."

"Ya ampun, Nyet. Gue nggak nyangka lo bisa setega itu ngatain gue. Udah mau gue dateng ya bantuin lo. Tapi lo nggak menghargai kehadiran gue di sini."

"Sumpah ya Al lo itu ribet banget. Berisik! Cabut aja deh sana. Gue bisa minta Dimas buat beliin itu semua."

Elika berjalan ke ruang tengah dan mengambil ponselnya yang terletak di meja. Gadis itu sudah siap menelepon Dimas ketika Alan dengan kasar merampas ponsel gadis itu.

"Alan! Balikin ponsel gue."

"Nggak mau. Ka, lo jangan egois bisa nggak? Lo pikir kerjaan Dimas itu cuma ngurusin lo aja? Dia itu punya tanggung jawab lain."

Elika menatap tak suka pada Alan dan memilih duduk di sofa. Gadis itu mulai menekan remote tv dan mencari siaran yang bagus untuk mengalihkan perhatiannya dari Alan.

"Ka, lo dengerin gue nggak sih?"

"Gue nggak ngerti lo ngomong apa."

Alan ikut duduk di samping Elika dan kembali merampas remote tv yang ada di tangan gadis itu. "Ka, lo itu murid akselerasi. Kepintaran lo jauh di atas anak-anak seusia lo. Hal kecil kayak gini nggak mungkin lo nggak ngerti. Ka, Dimas itu bukan suami lo. Bukan kewajiban dia untuk memenuhi semua kebutuhan dan ngurusin hidup lo. Lo tau itu."

Elika diam. Napas gadis itu tak beraturan. Ia merasa sangat emosi tapi hanya ditahannya. Ia sangat marah mendengar perkataan Alan yang tak bisa dipungkiri kalau itu semua benar.

"Dimas udah ngasih lo hati, bukan berarti lo bisa minta jantung. Nih ya mari kita berpikir realistis. Semua yang ada di dunia ini hanya titipan. Yang datang bisa pergi. Yang selalu ada bisa menghilang. Dan lo tau kan hukumnya pertemuan itu pasti ada perpisahan. Nggak ada jaminan kalau Dimas bisa terus-menerus ada di hidup lo. Dan-"

"Gue lagi nggak mau bahas masalah ini. Sebentar lagi temen-temen gue datang dan gue harus siap-siap."

Elika pergi begitu saja meninggalkan Alan yang menghela napas panjang. Elika itu benar-benar keras kepala. Ia sangat sulit mendengarkan ucapan orang lain kecuali ucapan Dimas. Alan tidak tahu, apa yang sudah Dimas lakukan sampai gadis itu sangat menurut dengan Dimas bahkan selalu bergantung dengan lelaki itu. Alan hanya takut, kalau nantinya Dimas tiba-tiba menghilang, Elika akan susah sendirian karena tak ada lagi Dimas sebagai penopangnya.

Saat Alan sedang memikirkan Elika, tiba-tiba bel apartemen Elika berbunyi. Dengan malas, lelaki itu melangkahkan kakinya ke pintu dan saat pintu terbuka, muncullah 3 perempuan yang selalu membuat Alan greget karena berisiknya.

Dika [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang