Gadis itu berdiri sendirian di atas rooftop rumah sakit. Baju yang disediakan oleh rumah sakit untuk pasien terlihat kebesaran ketika digunakan oleh gadis itu. Hima menghirup udara malam yang dingin untuk menemani dirinya. Segala hatinya sudah hancur. Segala yang ia pertahankan selama ini hancur dalam sekejap. Dunia nya sendiri terasa asing. Bahkan, bagi nya udara seakan enggan menemaninya meski ia bersama udara setiap hari.
Hima merentangkan keduanya. Matanya sengaja dipejamkan untuk menikmati suasana yang sepi ini. Ia tidak takut dengan cerita seram tentang rumah sakit ini. Hima menganggap mereka tidak menganggu. Lagipula gadis itu hanya ingin menikmati kesendiriannya sekaligus menghilangkan rasa sedihnya.
Selama belasan tahun Hima hidup seakan sendirian. Setelah kehilangan Mama kandungnya, ia secara tidak langsung kehilangan Papa serta saudara kembarnya. Rasanya ia yang paling disalahkan karena kejadian itu. Padahal jika dipikirkan dengam logika, semua sudah menjadi takdir yang seharusnya terjadi.
Untuk menutup luka nya yang tidak bisa dihilangkan, Hima berubah menjadi gadis pendiam dan menjauhi dari sesuatu keramaian. Hima berubah menjadi sosok yang lebih memilih memendam segalanya. Hima yang dulu banyak bicara dan periang sudah mati. Baginya Hima yang dulu sudah mati belasan tahun yang lalu.
"Kamu nggak berniat untuk melompat ke bawah kan?"Suara asing itu kini menggema seakan mengetahui apa yang Hima lakukan sendirian disini.
Hima menoleh kebelakang. Matanya terlihat membengkak karena menangisi keadaan. Belum lagi pipinya yang basah karena air mata itu jatuh membasahi wajahnya. Gadis itu seakan kehilangan arah dan tujuan. Hidup gadis itu seakan sudah tidak berarti. Hima yang dulu menjadi kebanggan kini berubah menjadi sesuatu yang tak ternilai.
"Kamu kehilangan banyak darah tadi. Untung golongan darah kita sama, AB."Ungkap lelaki yang tidak Hima kenali sebelumnya.
Hima menghapus air matanya yang sesekali masih menetes enggan berhenti. Gadis itu tidak ingin kelihatan lemah di hadapan lelaki itu.
"Jangan melompat ke bawah dengan sengaja. Masih ada masa depan kamu yang menunggu kamu agar kembali. Jadi, seberat apapun masalah itu berhenti memikirkan bagaimana caranya agar menghilang,"Kata lelaki itu kembali yang membuat Hima menoleh kesal.
"Saya hanya ingin disini sendirian,"Kata Hima dengan dingin.
"Saya Adit. Seharusnya kamu mengucapkan terima kasih karena sudah saya selamatkan. Bukan tatapan dingin dan acuh seperti ini,"
Hima memandangi lelaki dihadapan nya itu dengan sekilas. Tata cara pakaian lelaki itu terlihat rapi ditambah gaya rambut yang menurut Hima membuat lelaki itu terlihat muda meski Hima yakin ia jauh berumur diatasnya.
"Kenapa ya kalo golongan darah AB itu selalu cuek."Ucap Adit dengan sengaja.
Hima berbalik arah seakan tidak nyaman dengan keadaan ini. Gadis itu tersenyum singkat kepada lelaki yang memergokinya sendirian itu. Hima melangkahkan kakinya menjauhi lelaki asing itu. Namun hatinya seakan mengenal lelaki ini. Entahlah Hima menjauhkan segala pikirannya yang aneh tentang lelaki ini.
"Saya berharap kita bertemu lagi. Dan disaat kita kembali dipertemukan, jangan pernah menangisi hal yang sebenarnya masih bisa kamu hadapi,"
"Saya tidak menangis."Ujar Hima dengan tegas.
"Saya tau kalau kamu baru saja menangis. Setiap orang berhak mengeluarkan apa yang ia rasakan. Itu tidak salah, tapi jika orang itu lebih kuat daripada apapun. Tidak seharusnya dia menangis,"
"Om Adit. Saya berterimakasih, tapi seharusnya hal itu tidak perlu dilakukan. Biar saja saya mati. Kehidupan saya sudah terasa asing,"
"Om?"Kata Adit dengan terkekeh pelan. "Saya baru berumur 27 tahun. Ya jika kamu mengharapkan kamu mati, saya sudah salah menyelamatkan orang."
KAMU SEDANG MEMBACA
HIMA [selesai]
Teen FictionDiam-diam Wildan menyukai Hima. Sayangnya gadis itu terlalu kaku untuk menerima perasaan konyol dari lelaki bernama wildan itu. Bagi Hima, semua yang diucapkan lelaki itu adalah omong kosong. Di masa depan nanti, Wildan tidak ingin kehilangan gadis...