5. The Luckiest Day, I've Ever Have [END]

1.2K 106 9
                                    

All horoscope statements here are fake. Those are officially written by me ^^

Warning! For the impolite word (bad mouth)! Jangan tersinggung ya kalau biasnya^^v

.

.

.

.

From "Friday - Sunday (The End)"

.

.

.

.

.

Friday

Ia berhentikan motornya pada saat itu. Jam ia biarkan berlalu untuk beberapa menit demi menyaksikan tempat sang pemilik yang ia ingin ditegurnya sejak kemarin. Berada di atas motornya dalam diam. Di balik helm itu ia hanya bisa memandang lurus pada sebuah rumah minimalis yang ia kenal. Tangannya membulat mencengkeram stang. Memori tak enak itu hinggap lagi di otaknya.

Seungcheol bernafas tidak selega biasanya. Jauh di lubuk hatinya, ia merasa dilema. Rasanya ia ingin menabrakkan diri saja, dan biarkan berita kematiannya terdengar sampai ke sekolah nantinya. Mungkin itu bisa membuat Jeonghan bahagia jika orang yang 'hampir' menodainya menghilang.

Cklek

Jantung Seungcheol serasa akan melompat. Ia terkejut mendengar suara kenop pintu terdengar samar di telinganya walau kedua telinga terhalang bantalan helm yang cukup tebal. Ia tidak berani menoleh ke sumber suara. Ia belum siap bertemu pandang pada pemuda cantik yang pernah ia kecewakan kemarin.

"Hey, kau siapa?"

Suara berwibawa yang tak mungkin laki-laki cantik itu miliki. Kecuali memang Jeonghan terisak semalaman dan merenggut pita suaranya.

Seungcheol tidak berani berhadapan dengan siapapun itu. Entah pelayan rumah, atau mungkin, ayah? Mana mungkin dengan penampilan seragam semrawutan, wajah berandalan dengan bekas luka sana-sini, membalas tatapan seorang ayah yang dipanuti Jeonghan. Bisa dicoret dari daftar menantu *eh*.

Mau tak mau Seungcheol melajukan motornya tanpa ingin tahu seperti apa wajah pria paruh baya yang mengawasinya dari dalam pagar rumahnya. Biarlah, biar saja dikira sebagai orang mencurigakan, perampok, penculik, atau titisan pembunuh bayaran. Kalau itu bisa membuat jantung Seungcheol tidak stop atau sweatdrop karena takut dituduh lagi jadi *hampir* pemerkosa puteranya.

"Tadi itu siapa? Kurir ya?" Pria dengan suara khas itu menggaruk kepalanya terheran. "Ah.. tidak mungkin. Kurir kok bisa punya motor sport begitu."

Pria yang cukup tampan. Wajahnya memang dewasa dan ada sedikit kumis menghiasi bagian terawan. Tubuhnya tegap dan tinggi. Dengan pakaian kemeja rapih, dan celana Jeans cokelat yang dikenakannya, menambah kesan fashion pria metrosex beristri. Beliau tidak terlihat seperti pria berumur hampir kepala empat. Mungkin seleranya demikian jadi menurun kepada sang Putera.

"Ada apa, Ayah?" Pemuda cantik yang sejak dari tadi jadi korban pencarian oleh orang yang kabur barusan, baru saja keluar dari rumahnya. Ia sama sekali tidak memakai seragam seperti yang Seungcheol kenakan. Kaus sleeveless yang longgar, dipadukan dengan cardigan panjang , dan celana jeans abu-abu yang pas, membuatnya terlihat seperti model fashion remaja dadakan.

"Kupikir Ayah melihat seseorang menunggu di depan rumah kita. Tapi dia pergi begitu saja."

Jeonghan tidak terlalu peduli. Karena tidak sekali-dua kali ada orang asing mencoba mematai rumah ini. Entah untuk mencuri-curi kesempatan mendekati Jeonghan, menggodainya. Atau ibu-ibu yang sekedar ingin memperkenalkan puteri (atau putera?) nya, berharap Jeonghan menjadi menantu mereka.

          

Jeonghan selalu menjadi primadona dimana pun ia berpijak.

"Jeonghan, kau yakin ingin ikut Ayah? Tidak merasa rugi dengan sekolahmu?"

Wajah Jeonghan lagi-lagi terlihat tidak bersemangat. Ini bukan kali pertama sang Ayah mendapati putera semata wayangnya tengah sangsi sejak kemarin. Sang Ayah sudah sangat mengkhawatirkan pias getir yang tergambar di wajah cantik tersebut.

Entah apa yang sejak kemarin dipikirkannya. Pulang dengan keadaan yang cukup meresahkan, lalu pergi tidur tanpa mengatakan sebabnya pada sang Ayah yang selalu menjadi teman curhatnya. Namun apapun itu, biarkan keputusan pada hari ini bisa membuat Jeonghan lebih baik.

Dirangkulnya sang Putera. Mengelus rambut keemasan menurun dari sang Ibu itu dengan lembutnya. Kasih sayang ayah ke anak tidak dapat dipungkiri, terlalu indah.

"Oke, tidak apa-apa. Nee, Kajja. Kita pergi."

Koper-koper dibawa keluar rumah. Hendak dibawa pergi jauh. Ke perjalanan yang cukup panjang.

.

.

.

.

.

.

.

Dua pemuda terduduk sambil melamunkan sesuatu. Tidak. Lebih tepatnya terfokus pada sesuatu hingga segala hal tampaknya tidak menarik untuk mereka.

Vernon dan Wonwoo, sepasang mata mereka membidik segala keterdiaman Seungcheol dengan sangat detailnya. Hingga pergerakan kecil yang dikerjakan pemuda beralis tebal itu begitu berarti untuk mereka. Takut-takut jika tidak bergerak sama sekali, jangan-jangan dikutuk jadi batu.

Seungcheol memang sedang melamun. Atau memikirkan sesuatu, atau melamun, atau apalah. Matanya kalau tidak menatap ke langit luar, pepohonan di kejauhan, atau menutup sebentar untuk memanjakan rasa kantuk. Bahkan ditegur oleh kedua sahabatnya, tidak membuatnya perhatian sama sekali.

Vernon dan Wonwoo jadi khawatir. Mungkin efek minum-minuman kemarin, membuat Seungcheol kehilangan ingatan hingga tidak tahu harus melakukan apa.

"Seharian ini, kenapa Seungcheol jadi pendiam sekali? Bahkan rasanya aku menegurnya dari tadi, cuman dianggap dengungan lalat saja." keluhan Vernon membuat Wonwoo terkikik miris. Sebenarnya, ia juga merasakan apa yang sobatnya itu rasakan.

Sekalipun laki-laki itu suka menganggap keduanya 'idiot' 'tidak tahu diuntung' 'tidak berguna' 'tidak nyambung' 'menyebalkan' dan segala bentuk umpatan dan kalimat merendahkan sudah terlempar ke arah mereka, Seungcheol selalu peduli untuk merespon segala tindakan mereka. (walaupun ujung-ujungnya umpatan lagi yang diterima keduanya).

Tapi pada hari ini, Seungcheol memberikan pengecualian. Laki-laki itu seakan tidak ingin bergerak dari tempatnya, dan terpaku pada satu hal. Bukan seperti Seungcheol yang banyak tingkah, membuat pelanggaran dari pagi hingga pulang sekolah. Memamerkan statusnya sebagai monster sekolah yang ditakuti.

Ia kini terlihat seperti anak ayam menunggu induknya.

"Apa ini ada kaitannya dengan Jeonghan , ya?" Wonwoo mencoba memprediksi. Namun Vernon menggeleng, menyangkal ucapan Wonwoo barusan.

"Sepertinya tidak mungkin." Vernon merendahkan suara. Mendekat satu sama lain, untuk mendengar bisikan yang tercipta. "Mereka bukan sepasang kekasih sungguhan, kan? Apa yang harus menjadi masalah di antara keduanya?"

Wonwoo mengangguk. Dia mulai sepaham dengan Vernon. Mungkin apa yang dikatakan Vernon benar. Pengakuan Seungcheol kemarin telah membuktikan semuanya. Tidak ada cinta di antara keduanya. Keduanya hanya sedang berada dalam taruhan semata, dan kebencian itu 'pasti' masih tercipta.

Bagus sekaliiiiiiiii. Seneng banget bacanya, it was a very good read. Rapi dan nggemesin. Jadi penasaran afterlife mereka gimana huhu. Makasih author-nim, ga banyak ff bagus gini dan sayangnya aku lihat vote dan commentnya sedikit :( Semoga berjamuran deh yg kek gini❤ kutunggu karyamu yang lain❤❤❤

5y ago

Hey, ini kenapa kek yg w alamin di rp sama seungcheol woe? :")

6y ago

ANGEL & THE BEAST ; JC [√]Where stories live. Discover now