"Happy birthday, Rain."
Satu kecupan singkat mendarat di keningku pagi itu.
"Thanks for everything. And I love you."
Saat itu aku tersenyum, balas mengecup keningnya. "Thanks for everything too, Hon."
Dan aku tidak perlu menceritakan apa yang terjadi setelah itu. Aku miliknya dan dia milikku. Sampai aku tertidur—setelah lelah menangis—di ubin dingin apartemen kami satu minggu kemudian. Menerima kenyataan bahwa aku telah ditinggalkan. Satu minggu yang teramat berat begitu mengetahui bahwa bukan hanya dia yang pergi. Juga janin yang baru tumbuh dalam rahimku ikut serta meninggalkanku. Aku kehilangan suami serta calon anakku.
"I'm so sorry, Dee...kita harus pisah."
Bahkan setelah episode menangis di pelukan Hye Sun berakhir pagi tadi, masih sempat-sempatnya aku mengasihani diri sendiri.
Sepasang mata hitam menatapku hampa. Aku mengulurkan tangan, menyentuh permukaan kaca dengan telunjuk tangan. Aku sudah lupa kapan terakhir kali wajah itu tersenyum. Kapan terakhir kali mata itu berbinar-binar. Kapan terakhir kali bibir itu membisikkan 'aku cinta kamu' setiap pagi. Kapan terakhir kali jantung ini berdebar-debar hanya karena mendapati dirinya ketahuan menatapku diam-diam, dan ketika sadar dia akan berpaling karena salah tingkah. Yang kudapati sekarang hanyalah seberkas wajah pucat yang penuh guratan duka. Sepasang mata yang tak hentinya menurunkan hujan.
Sekali lagi, berani taruhan, aku ingin menampar wajah itu sekarang juga. Namun, jika kulakukan, aku tidak tahu apakah luka itu akan sembuh, atau justru mengorbankan tanganku dengan luka baru.
Tubuhku mulai menggigil. Aku meraih handuk dan melilitkannya di tubuh. Aku mendapati Hye Sun sedang duduk di sisi ranjang begitu aku keluar dari kamar mandi. Dia sedang berbicara dengan seseorang di telepon saat aku mendekat. Gadis itu tersentak mengetahui keberadaanku.
"Oh, kamu sudah selesai?"
Aku mengangguk. "Ada apa?" tanyaku, melihat dirinya tidak seceria biasanya.
"Perjalananku ke Jeju dibatalkan," jawabnya.
"Kenapa?"
"Ayahku mendadak ingin aku pulang ke Busan."
"Bukankah keluargamu tinggal di Seoul?"
"Mereka pindah ke Busan tiga bulan lalu."
Aku mengeluarkan beberapa potong pakaian dari koperku. Aku memilih satu kaus putih polos dan celana training merah, lalu mengenakannya. "Lalu, kapan kamu ke sana?"
"Hari ini."
Tanganku yang sedang bergerak mengeringkan rambut dengan handuk terhenti.
Hye Sun menatapku meminta maaf. "Aku tidak bisa menemanimu di sini selama satu minggu ke depan. Maafkan aku, Dee..."
Aku menggeleng dan menggenggam tangannya. "Aku akan baik-baik saja di sini. Asalkan kamu masih mau aku tinggal di sini."
Hye Sun tergelak lalu memelukku. "Tentu saja."
Beberapa jam kemudian aku dan Hye Sun menuju stasiun Daejeon. Aku bersikeras menemaninya. Hye Sun memilih menaiki KTX (Korean Train eXpress) menuju Busan daripada harus menaiki bus dengan menempuh perjalanan 4-5 jam. Sementara dengan kereta hanya sekitar 3 jam lebih sedikit. Hye Sun tidak ingin sampai di Busan saat larut. Sementara sekarang sudah pukul 19.00 waktu Seoul. Aku mengiringi keberangkatannya dengan pelukan dan berjanji akan membersihkan apartemennya setiap hari.
Kereta yang membawa Hye Sun akhirnya menghilang dari pandanganku. Aku beranjak keluar stasiun ketika tiba-tiba hujan turun. Hujan lagi? Yang benar saja!
Ini adalah hujan ketiga begitu aku tiba di Seoul. Malam tadi, pagi harinya, dan malam ini. Kupikir aku tidak akan menemukan hujan di Negara 4 musim ini. Perkiraanku ternyata meleset. Sepengetahuanku sejak aku dulu kuliah di sini, curah hujan di Korea terjadi sekitar akhir bulan Juni hingga awal bulan September. Dan sekarang sudah bulan Juli. Aku berharap hujan tidak selalu datang setiap hari. Aku tidak ingin menghabiskan seluruh waktu bebasku dengan mengurung diri di apartemen Hye Sun, sementara menyaksikan hujan dengan ingatanku mengalir tentang Jakarta, juga dirinya. Tujuanku ke sini bukan untuk bernostalgia. Melainkan berharap untuk lupa.
Aku tidak menghitung sudah berapa lama aku berdiri di depan stasiun ini. Aku lupa membawa payung. Cara satu-satunya agar aku tidak kehujanan, aku harus menunggu hingga hujan reda. Aku tidak ingin berbaur dengan hujan. Tidak akan.
"Oppa*!"
Seorang gadis berlari ke arahku sambil memegang payung di tangan kanannya. Dia melewatiku dan aku mengikutinya dengan pandangan. Gadis itu memeluk seorang pria tepat di belakangku, yang bisa kutebak adalah kakaknya. Pria itu cukup tinggi dengan setelan jas resmi hitam. Kulit wajahnya cukup pucat. Dia tersenyum sambil mengusap lembut belakang kepala si gadis. Gadis itu mengenakan sepatu boot hitam, jaket abu-abu panjang, dan syal merah hati melilit di lehernya. Rambutnya coklat madu senada dengan warna matanya. Sekilas aku melihat kemiripan di antara mereka. Pria itu juga memiliki warna mata yang sama. Tapi, mereka terlihat seperti sepasang kekasih. Ah, mungkin aku saja yang salah menebak.
"Aku juga bilang apa. Dia pasti tidak datang," kudengar gadis itu mengomel dalam bahasa Korea.
Pria yang diomelinya tersenyum, menggeleng, mengacak lembut rambut si gadis.
"Aku tidak memintamu datang, gadis nakal."
Gadis itu merengut sambil merapikan rambutnya. "Aku tidak akan datang jika tidak hujan. Ibu akan membunuhku kalau Oppa sampai sakit lagi."
Tebakan pertamaku tepat.
"Aku tidak akan sakit. Dan Ibu tidak akan membunuhmu. Dia kan, ibu kita."
Sebelum gadis itu ingin protes lagi, pria itu merampas payung dari tangan si gadis, lalu melingkarkan satu lengannya di bahu si gadis. "Berhenti mengomel dan jalan saja."
Meski cemberut, gadis itu menyamai langkah kakaknya. Ketika melewatiku lagi, gadis itu menoleh padaku dan aku tidak mengerti mengapa aku tersenyum padanya. Gadis itu membungkukkan badan setelah membalas senyumku. Aku balas membungkuk meski dia tidak melihat.
Aku kembali merutuki nasibku yang harus menghadapi hujan yang sepertinya tidak akan mereda hingga pagi.
Apa aku kembali ke dalam stasiun saja?
Baru saja aku ingin mengambil pilihan itu, seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh dan mendapati gadis yang tadi menatapku.
"Apakah Anda juga sedang menunggu seseorang?" tanyanya sopan.
Aku menggeleng. "Tidak."
"Saya melihat Anda tidak membawa payung," ujar gadis itu.
"Ya, saya lupa. Sayangnya..." akuku.
"Saya membawa mobil. Maksud saya, saya diantar dengan sopir memakai mobil karena saya belum diizinkan menyetir oleh ibuku."
Gadis ini lucu.
"Sepertinya hujannya akan lama," katanya lagi.
"Ya, sepertinya," kataku.
"Anda tinggal di mana?"
"Saya menginap di apartemen sahabatku di Gangnam."
Gadis itu tampak terkejut.
"Wah, daebak**!"
Responsnya membuatku tersenyum lagi.
"Apakah apartemen Anda dekat dengan SM Entertainment?"
Aku tahu pusat kantor industri hiburan KPop yang dinaungi beberapa Boy Band dan Girl Band terkenal di Korea ini. Dulu aku sering walking tour di hari-hari pertamaku di Seoul. Lokasinya berada Cheongdam-dong, cukup dekat dengan apartemen Hye Sun di Apgujeong-dong.
"Cukup dekat," ujarku.
Gadis itu seperti mengucapkan sesuatu yang sayangnya tidak bisa kudengar. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Seakan takjub.
"Kita searah!" serunya. "Ikutlah bersama kami. Kakakku pasti akan setuju."
Aku melirik sebuah mobil yang tak jauh terparkir di dekat kami. Pria yang tadi bersama gadis ini sedang menatap kami di balik kursi penumpang.
"Saya tidak ingin merepotkan," tolakku halus. Meskipun gadis ini sangat berbaik hati ingin membantu, akan sangat terasa canggung jika harus satu mobil dengan orang asing. "Saya naik taksi saja."
Gadis itu menggeleng. "Oh, ayolah, Unnie***! Ikutlah bersama kami."
"Tapi..."
"Ikutlah dengan kami. Dia tidak akan menyerah sampai Anda setuju."
Pria itu sudah berdiri di belakang si gadis. Tatapan matanya hangat. Tipe laki-laki yang murah hati. Wajahnya tidak seperti laki-laki Asia biasa yang sering kujumpai. Ada bintik-bintik hitam kecil di sekitar hidung dan pipinya. Tulang hidungnya tinggi. Tumbuh bulu-bulu halus di sekitar dagu hingga rahangnya. Usianya mungkin sekitar akhir 20-an tahun. Hujan yang jatuh menyentuh bagian depan rambutnya, turun ke dahi. Astaga, aku baru sadar dia tidak mengenakan payung. Dia hanya menutupi kepalanya dengan tangan, menyusul adiknya yang ternyata sudah memayungiku sejak tadi.
"Anda cuma punya dua pilihan. Ikut dengan kami dengan berjalan ke mobil bersama kami, atau saya akan menggendong Anda ke sana. Pilih salah satu!"
Hah?
———
to be continue...
—————————————————————
*Oppa : Panggilan adik perempuan untuk kakak laki-laki di Korea.
**Daebak : Ungkapan untuk menggambarkan sesuatu yang mengagumkan.
***Unnie : Panggilan adik perempuan untuk kakak perempuan di Korea.