I hate you. But don't leave me.
Author View
“Rachel. Itukah namamu?” Rachel tersentak saat mendengar seseorang memanggil namanya ketika dia tengah mengambil satu gelas jus apel. Lantas gadis itu menoleh ke asal suara, ketika dia baru meneguk jus yang diambilnya tadi, hampir saja Rachel menyemburkannya keluar. Asalkan jika dia benar-benar melakukan itu, dia tidak tahu apa yang akan terjadi pada nasibnya jika semburan jusnya mengenai wajah gadis di depannya, Waliyha. Adik Zayn itu yang tadi memanggil namanya. Rachel menaruh kembali gelasnya kemudian kembali pada Waliyha. Dia menelah ludahnya yang terasa kering saat melihat tatapan elang gadis itu, masih sama seperti hari kemarin.
“Iya.”
Waliyha menatap semakin tajam seakan mencoba untuk menembus kedua bola mata Rachel, “Aku ingin bicara.”
Rachel menaikan kedua alisnya, “Eh?”
“Tapi sudahlah, kalau kau memang tidak mau mendengarnya, aku juga tidak peduli.”
Kali ini Rachel berpikir, mengapa ada gadis sesinis Waliyha? Dia cantik, wajahnya bagaikan versi perempuannya seorang Zayn. Entahlah, apa mungkin Waliyha memiliki sifat yang seperti itu. Rachel tidak bisa menyimpulkan, tapi dia rasa Kath yang umurnya sepantaran dengannya sama sekali tidak pernah bersikap sedingin itu. Dia melebihi tumpukan es di kutub dengan mata sepanas lahar. Hanya saja Rachel sudah bisa menyimpulkan kalau gadis ini tidak suka saat dia mendekati kakaknya, Zayn. Tidak ada alasan tertentu karena dia memang tidak pernah mengatakan alasannya. Oh—bicara padanya saja sepertinya enggan.
“Sejujurnya aku tidak mau berbicara denganmu, tapi ada beberapa yang ingin kutanyakan.” Waliyha melipat kedua tangannya di depan dada. Rachel mengernyit dalam, memikirkan akan hal apa yang ingin gadis itu tanyakan padanya. Apapun itu, dia rasa pasti akan berkaitan dengan Zayn.
“Pertanyaan pertama. Siapa kau dan dari mana kau berasal?” tanyanya cepat.
“Aku Rachel Brown, aku tinggal beberapa kilo meter dari pusat kota Los Angeles, di sebuah komplek kecil.”
Waliyha tampak mengulum bibir, “Pertanyaan kedua. Kau pasti tahu kalau keluarga kami memiliki sebuah perusahaan yang bercabang, terlebih saat ini Zayn menempatkan diri sebagai CEO perusahaan sementara ayah kami mengurusi hal lain. Bagaimana bisa kau bertemu dengan Zayn?”
“Kau telah memberitahuku sesuatu yang tidak kuketahui. Aku sama sekali tidak tahu keluarga kalian memiliki sebuah perusahaan dan Zayn berkedudukan sebagai atasan. Pertemuan kami, sangatlah sederhana. Dia datang ke tempat kedai aku bekerja dan memesan capuccino dan dia menyuruhku untuk duduk bersamanya setelah aku membawakan cemilan yang salah.”
“Pertanyaan ketiga. Mengapa kalian bisa sedekat ini?” baikalah. Sekarang Rachel merasa seperti tengah diinterogasi.
“Aku tidak tahu. Semua terjadi begitu saja.”
“Apa kau mencintai Zayn?”
Pertanyaannya yang satu itu membuat Rachel tak bisa menjawab secepat pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan sebelumnya. Apakah dia mencintai Zayn? Ya. Itulah jawabannya. Tapi bodoh namanya jika dia menjawab secepat itu, meski dia ingin. Rachel mengulum bibirnya, memutar otak memikirkan apa yang harus dia jawab. Sejujurnya dia sudah lelah membohongi diri sendiri, hidup dengan dua sisi yang berbeda. Tapi jika saja Waliyha tahu apa alasan mengapa dia tidak bisa mengungkapkan itu, sayangnya gadis itu tidak tahu.
“Apa kau menyayanginya? Jika perusahaan yang ada di tangannya mengalami kemunduran, apa kau masih akan tetap ada di sampingnya? Apa kau memandang Zayn bukan seperti mereka? Pria muda tampan yang bergelimang harta. Apa seperti itu?” Waliyha sepertinya berniat membunuh Rachel. Yang benar saja! Tak ada satupun pertanyaan yang bisa dijawab olehnya. Semuanya butuh pemikiran lama, namun yang dia dapatkan hanyalah jalan buntu.