CHAPTER TWO

316 26 0
                                    

Keira lelah, rapat baru saja selesai. Setelah kelas terakhir tadi dia memang bergegas untuk pergi ke redaksi. Majalah kampus atau yang lebih dikenal dengan Verona sekarang ini sedang naik daun. Ada banyak mahasiswa baru yang masuk kesana. Keira kadang kelimpungan dan kesal melihat ruang redaksi yang seperti kapal pecah.

Ruang redaksi tidak cukup besar untuk menampung kru redaksi yang cukup banyak. Keira memang tidak segitu perfeksionis soal kerapihan dan kebersihan. Tetapi kadang matanya lelah melihat segalanya berantakan disini. Sementara pimpinan redaksi kebanyakan hanya diam dan membiarkan semua begitu saja. Sering kali dia hanya bisa memaklumi kelakuan pimrednya itu. Bang tommy, mahasiswa tingkat akhir yang belum mau mengakhiri masa kuliahnya. Dialah pimred yang kadang suka seenaknya tetapi sangat jenius dengan semua ide kreatif yang kadang gila bagi Keira.

"Belum mau pulang Kei?"tanya bang Tomi.

"Menurut lo bang? Gue mau sih cepat-cepat pulang. Tapi lihat, ruangan berantakan begini."

"Santai aja Kei. Gue nanti panggil pak Rano buat beresin kok. Kan udah ada uang kebersihan juga."

"Pakai pak Rano sih boleh aja. Tapi beberapa dokumen tanpa abang sadari mungkin berserekan begitu saja. Pak Rano mana tahu itu dokumen penting atau nggak. Bagi dia semua yang berserekan dibawah itu cuma sampah yang harus dibuang. Lagian kasihan pak Rano yang disuruh kerja. Ini waktunya beliau buat istirahat."

"Berisiklah kau. Sana pulang udah makin malam ini. Lihat sudah mau jam tujuh."

"Aku sudah biasa pulang jam sembilan malam. Cuma demi majalah kampus ini."

"Oh, terima kasih atas kesetiaannya. Sekarang, gue anter lu pulang."

"Nggak mau. Gue bisa nyetir sendiri."

"Fine. Oh Kei. Jangan lupa deadline naskah-naskah selanjutnya buat rapat minggu depan."

Keira malas untuk buru-buru pulang kerumah. Paling papanya masih praktek dirumah sakit. Mama mungkin sudah pulang tapi langsung sibuk dengan laptopnya. Adhan juga ada bimbingan belajar diluar. Bi Kokom paling sedang sibuk dengan tumpukan pakaian yang harus disetrika. Tak ada teman bicara dirumah. Akhirnya Keira memilih untuk istirahat sejenak di gazebo depan gedung kuliah. Dia memutar playlist dari smartphonenya dan memasang earphone. Menikmati lagu cukup membuatnya tak menyadari bahwa ada yang sedang menghampirinya.

"Asik betul. Makan bareng yuk. Atau mau ngopi-ngopi cantik? Aku yang traktir."sapanya. Keira tersenyum melihat sosok yang berdiri dihadapannya.

***

Arlan membawa Keira ke warung makan sederhana didepan kampus. Mereka berjalan kaki bersama melewati jembatan penyebrangan. Semilir angin menerpa rambut Keira. Keira menikmati waktu sederhananya. Ia memang suka menikmati rona lampu kendaraan yang lalu lalang dibawah jembatan di malam hari. Rasanya seperti melihat jalanan berbintang. Meski Jakarta amat padat, tapi inilah salah satu keindahan ibu kota. Kurang dari lima menit mereka sampai di warung itu.

"Mau makan apa?"tanyanya.

"Aku belum lapar. Kakak saja yang makan."jawabku.

"Jangan banyak gaya deh. Gak lagi dietkan? Mana mungkin jam segini belum lapar. Kita kan tadi makan siang bareng. Aku aja udah laper masa kamu nggak?"ujarnya.

"Apaan sih?! Aku mana pernah diet. Memang belum lapar kok."

"Mau minum apa? Aku yang traktir kok."ujarnya sekali lagi.

"Sop buah."

"Itu aja? Yakin nggak makan? Oke, kalau gitu sop buah ukuran jumbo biar kamu kembung sekalian."

"Ya ampun tega amat. Emangnya aku gentong air apa? Ukuran medium aja. Tadi itu aku udah makan konsumsi dari rapat Verona."ujar Keira bohong. Mana ada rapat di Verona hari ini.

"Oh, pantas. Ya udah aku pesenin dulu. Tunggu disini jangan kabur."

Keira menggeleng. Mana mungkin ia kabur. Sementara ia sendiri menikmati suasana ini. Walau kadang kebersamaan seperti ini membuat perasaan Keira terasa sesak. Bagaimana tidak, Keira memang sudah sedekat ini dengan Arlan. Tetapi memang mereka tak menjalani komitmen apapun. Dalam pikiran Keira hanya berusaha mengelak keinginannya untuk bisa terus bersama Arlan. Dia tahu benar Arlan mungkin hanya menganggapnya seperti adik sendiri. Saat Arlan memberinya perhatian kecil seperti sekarang, Keira selalu berusaha mengingatkan dirinya sendiri, bahwa ia hanya adik bagi Arlan. Arlan memang baik kepada semua orang.

"Kamu mikirin apa?"tanyanya.

"Jangan kepo!"jawab Keira kaget.

"Oke, aku nggak akan banyak nanya lagi. Aku sih berharap kamu lagi mikirin aku aja."ujarnya.

"Tidak bisa begitu. Aku punya banyak hal yang selalu ada dipikiranku."

"Kamu itu nggak peka ya.. Aku lagi ngegombalin kamu tahu."keluhnya.

"Wah, maaf. Aku nggak tahu. Makanya jangan mencoba menggombal denganku. Nggak mempan."balasku.

"Biar begitu setidaknya biar sedikit kamu tetap memikirkanku."ujarnya pelan.

"Permisi pesanannya kak."ujar pramusaji datang membawa makanan kami.

Arlan kembali diam dan fokus dengan makanannya. Keira bukannya tidak sadar dengan gombalannya. Hanya saja Keira ingin menganggapnya hanya sekadar gurauan. Keira tak mau menganggapnya serius. Karena yang ada dipikirannya sekarang Arlan itu baik kesemua orang, ke semua wanita. Jika menganggap Keira menganggap itu serius, ia takut hanya ia yang terluka nantinya.

***

CLOSERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang