Gumpalan Awan Hitam Menyelimuti Bumi
Bendera kuning yang terpasang di depan gang jalan menuju rumah. Membuat aku merasa khawatir, tetap mencoba menenangkan diri. Pelatih dan beberapa kawanku menemani pulang kerumah. Depan rumah terpasang tenda, banyak orang, nuansa hitam menyelimuti hari ini. Tangis terurai di berbagai pelupuk mata.
Tubuhku seakan mati rasa, saat aku mengucapkan salam didepan pintu, terlihat sekujur tubuh terbaring tertutupi kain. Lantunan kalam ilahi terdengar, tetesan air mata membasahi pipi. Mencoba menampikan fakta yang ada. Berharap itu bukan apa yang ada dipikranku, perlahan aku mencoba membuka kain yang menutupi wajahnya.
Tubuh Aliani tak berdaya saat melihat sosok wanita yang dicintainya telah terbujur kaku. Tangis, bagaikan badai sore itu. Seperti awan mendung yang menutupi cahaya mentari sore menandakan kesedihan yang dirasakan Aliani dan keluarganya. Kedatangan kakaknya yang baru saja menyelesaikan sekolah menengah atas, menyeruakan kesedihan kehilangan. Sesuatu yang sangat tidak diinginkan. Namun Takdir tuhan tak pernah terelakan.
Seribu penyesalan menyelimuti hati dan pikiranku. Rasa bersalah yang menyelimuti diri. Ayah yang menampakan kekecewaan. Memukul keras batin ku. Menyayat - nyayat hatiku. Kesedihan pun menemani hari - hariku.
Marah, sedih. Ingin aku lontarkan. Mengapa semua ini terjadi. Perasaan kecewa berkecamuk dalam hati. Sepi, sunyi tanpa dirimu temani lagi.
" ibu,,, aku bawakan piala ini untukmu. Mengapa engkau pergi tinggalkan aku. Ibu, aku tak bisa melihat ayah seperti itu, sungguh ibu. Ini semua salahku" tertunduk merenung dalam hampanya ruangan.
*-*
Setelah kepergian Ibu, Aliani jarang bertengkar dengan adiknya. Keluarganya begitu sangat hampa. Ayah yang terlihat sangat marah, namun dia sadar bahwa itu adalah takdir tuhan. Ayah hanya saja menyesali dirinya sendiri. Karena ayah tidak bisa membawa ibu berobat kerumah sakit. Ayah masih mendiamkan Aliani. Kesedihan kak Asti juga begitu terasa, saat moment dimana kebersamaan akan tercipta dirumah, ibu pergi meninnggalkan kami. Idris yang baru berusia 11 tahun harus kehilangan kasih sayang seorang ibu. Selera makan yang menurun, mengakibatkan berat badan diantara kami pun menghilang drastis.
Ayah memutuskan untuk menjauhkan anak - anaknya dari rumah. Bukan karena benci. Ayah hanya ingin anak - anaknya tidak berlarut dengan kesedihan. Ayah meminta ka Asti melanjutkan sekolahnya di Universitas yang ada di Jakarta. Ka Asti tinggal di asrama disana. Idris juga melanjutkan sekolah ke Jawa, selain sekolah dalam mencari ilmu pengetahuan umum Idris juga belajar ilmu agama yang lebih disana.
*_*
Tahun ini adalah kelulusanku, satu tahun setelah Ibu meninggalkan kami. Tepat tujuh belas tahun usiaku. Dimana semua siswa mempersiapkan rencana setelah kelulusan. Memilih kampus yang mereka suka. Atau universitas yang orang tua mereka tawarkan.
Aku sudah tidak mengikuti latihan beladiri lagi. Aku hanya menyelsaikan beberapa tanggung jawabku di OSIS sebagai bendahara dan juga PRAMUKA yang dalam waktu dekat ada kegiatan, aku tidak bisa melepaskannya begitu saja. Itu berarti aku bukan orang yang bertanggung jawab, aku tidak mau seperti itu.
Setelah kemenangan dalam pertandingan tahun lalu, namaku menjadi salah satu rekomendasi sekolah untuk megikuti tes beasiswa ke luar negeri. Pelatih dan guru di sekolah telah mempersiapkan berkas - berkasnya.
Beberapa bulan sebelum masuk universitas, aku harus pergi kerumah nenek. Atas permintaan ayahku, aku pun berangkat ke kampung dimana nenekku tinggal, tanah kelahiran ibuku tercinta. Aku takan menolaknya.
Meski merasa asing, aku harus bertahantinggal disini, rumah nenek. Aku tidak memiliki teman seorang pun. Sewaktu kecil aku punya teman, tapi beberapa dari mereka pindah ikut dengan orang tuanya. Ada yang ke Surabaya, ada juga yang ke Jogja. Beberapa dari mereka juga masih tinggal disini, tapi mereka sudah kerja di kota. Temanku hanya paman, bibi dan ketiga keponakanku yang sangat dekat dengan nenek.
Salah satu faktornya adalah beberapa tahun belakangan aku tidak pernah ikut mudik kesini. Karena kendaraan dirumah tidak memungkinkan. Jika menggunakan kendaraan umum, saat lebaran pasti ongkosnya sangat mahal.
Semenjak ibu dan ayah menikah. Ibu ikut ayah tinggal di Tangerang. Hanya dalam satu tahun sekali kami berkunjung ke rumah nenek. Tentu saja edisi lebaran.
Suasana di rumah nenek pun tidak terlalu besar. Sederhana. Berdekatan dengan tetangga, sebagaimana kehidupan warga di perkampungan. Masih banyak pepohonan. Ada sawah - sawah dan gunung yang menjulang tinggi menggapai awan. Sejuk sekali.
" ibu, ampuni aku. Aku sekarang disini. Dimana tempatmu dilahirkan. Aku harapakan semua cinta dapat aku genggam. Memeluk erat dirimu, dan takan pernah aku lepaskan" sejenak Aliani memejamkan mata, menghirup udara di sekelilingnya.
" Aliani..." panggilannya memecahkan lamunanku.
" iya bi" jawabku perlahan membuka kelopak mata.
" simpan dulu barang - barangmu di kamar. Kalau mau mandi, tahukan jalannya?" gurau bibiku, adiknya ibu.
" sip..." jempolku pun berdiri meresponnya.
" bibi tinggal ke warung yah... istirahatlah dahulu" ujarnya meninggalkanku sendirian.
Aku pun menaruh tas dan duduk di kasur yang tidak terlalu besar. Bertemankan lemari satu pintu di sebelah kanan tempat tidur. Dihiasi beberapa binkai photo di dinding. Salah satunya adalah gambarku bersama ayah dan ibu ketika pelantikan paskibra kecamatan. Ada juga photo ibu sewaktu kecil yang sangat mirip dengan kakakku, Asti.
Rasanya hampa. Berada disini, menjadikannya sebagai tempat pelarian. Sudut - sudut ruang pun seakan menatap. Menanyakan banyak hal. Yang tak pernah bisa aku menjawabnya
KAMU SEDANG MEMBACA
The Martial Art of love
Romance"Terkadang mimpi pun menjadi luka, mematahkan cinta.. Menghentikan asa yang membara.... Hingga kisahlah yang menbawa kembali bersama, tanpa cerita..."