Chapter 3 - Damn, Lily

296 29 6
                                    

"Please help me fix him."

Lily menatap kedua bola mata Pattie. Perempuan di depannya sudah putus asa. Lily dapat melihatnya jelas di sana. 

Lily mengambil napas panjang, diam beberapa detik, kemudian menghembuskannya kembali. "Why me, Pattie?"

"I know what happened two years ago," Mulai Pattie, sembari memberi tekanan pada tanganku yang ia genggam erat. "I know you went into depression because your relationship with your fiance didn't work out. But you managed to get through it all, Lily."

Napas Lily tercekat. Lily memang pernah berada di dalam situasi di mana ia ingin semuanya berhenti. Berhenti hidup. Berhenti merasa tersakiti. Segalanya. Sejak laki-laki itu meninggalkannya dua tahun lalu, she know for sure that something about her has broke

Her trust

Lily merasa depresi kala itu, ia bahkan meminta Ibunya untuk mengantarnya ke salah seorang Psikolog, yang sampai saat ini menjadi teman baik dengannya, bernama Alex. Alex memberikannya saran, support, dan segala alasan yang membuat Lily ingin tetap hidup. Lily used to have some suicidal thoughts. She was so hurt, broken, depressed, to the point she wanted to hurt herself.

In fact, she used to cut. 

Alex memberikannya beberapa obat penenang yang biasa Lily minum setiap hari, regularly

She needs help and she asked for it. 

Sementara Justin terlalu gengsi untuk meminta tolong pada siapapun. Ia berpikir bahwa ia dapat mengatasi semuanya sendiri, which is not, dan berakhir dengan sikap tidak peduli terhadap orang-orang di sekitarnya. And worse, he doesn't even care about himself anymore.

"You are such a strong, beautiful women and i want to ask you a favor to help Justin get through this." Pattie berucap lirih. "He doesn't want to go to any therapist and i don't know what to do anymore. So please, Lily.." 

Lily diam beberapa detik. Justin memang butuh bantuan, but he won't ask. This is a really big choice for her, if she said yes, she'll have to do everything in order to help him. 

Lily mendapatkan bantuan ketika ia membutuhkannya dan mungkin, saat ini adalah waktu yang tepat untuk Lily membantu orang lain. 

And that guy happened to be his friend from high school, the one and only Justin Bieber. 

Sebelum Lily berhasil membuat keputusan, seseorang menginterupsi pikirannya. "Mom?" Teriak orang yang berada di balik pintu rumahnya sambil memencet bel beberapa kali. Pattie menghapus sisa air mata yang menggenang di kelopak matanya, kemudian tersenyum ke arah Lily. 

"That's him." Ucap Pattie sambil mengajak Lily ke luar dan menyambut Justin. 

Lily dan Pattie berjalan ke arah pintu, Pattie membuka kenop dan memunculkan seorang laki-laki yang sedang membelakanginya. Lelaki itu memakai kaos putih dan celana pendek. Padahal cuaca di luar dingin, namun sepertinya ia tidak peduli. 

"Justin, what did you buy?" Tanya Pattie lembut. 

Dengan rambut dirty blonde yang berantakan, ia berbalik. Lily harus menahan napas karena ia dapat mencium asap rokok yang kuat begitu Justin membalikkan badannya. Kedua bola mata Justin agak memerah, wajahnya pucat. 

"I bought some doughnuts for you guys and coffee for myself," Jawab Justin sembari menjatuhkan pandangannya ke arah Lily, perempuan di samping Pattie yang sedang berdiri dengan kikuk. 

Justin menaikkan sebelah alisnya. "Who's this, Mom?" Tanyanya dengan nada yang tidak sopan. 

Pattie hendak menyela dan memarahi Justin atas nada bicaranya, namun aku memberinya kode bahwa semuanya baik-baik saja. Pattie mengurungkan niatnya. "She was your classmate on sophomore year, you remember?"

Justin memperhatikan wajah Lily dengan seksama. Muncul kerutan di antara kedua alisnya, menandakan bahwa ia sedang berpikir keras. 

"Who are you?" Gumam Justin pada dirinya sendiri. 

Lily menggigit bibir bagian bawahnya. Apakah ia berubah sedrastis itu hingga Justin tidak dapat mengenali dirinya?

"I don't fucking now her," Ucap Justin yang membuat Pattie harus menggelengkan kepalanya. 

"Language, Justin."

Justin tertawa sarkastik. "What, Mom? I'm fucking 22."

Oh, wow. 

Lily meringis tidak nyaman mendengar perkataan Justin kepada Ibunya. 

He has changed so much. 

Pattie tidak berkata apa-apa selain menghela napas panjang. "This is Lily Daguise, do you--"

"Fucking shit, Lily?" Justin memotong ucapan Pattie dengan ekspresi tidak percaya. Ia melakukan scanning pada tubuh Lily, dari kaki hingga kepala, kemudian menjilat bibir bagian bawahnya. "Damn, Lily. I couldn't even recognize you."

Ditatap seperti itu, Lily semakin tidak nyaman. Justin tidak sopan sekali. Mesum. "You used to be so--"

Lily memotong ucapan Justin cepat. "Fat? I know. You used to call me fatty." 

"I know, right?" Justin tertawa keras. "You used to be so fat and now you're fucking skinny. You have anorexia or something?" Tanya Justin menyeringai. 

"Justin, that's the kind of issue that you can't joke about." Jawab Lily sambil bergeleng, tidak percaya laki-laki di depannya ini berubah menjadi begitu tidak sopan dan kasar. 

He was so sweet and calm to that little girl in the coffee shop a while ago, though?

Justin tertawa lagi. "Still stiff, i see." Ucapnya sambil memberikan Pattie sekotak donat yang sejak tadi berada di tangannya. 

Pattie mengambilnya kemudian berbalik masuk ke arah ruang tamu. Lily could tell that she's disappointed.

Dengan cepat, Lily menyusul Pattie dan mengambil langkah besar-besar agar jalannya sejajar dengan Pattie. "I will try to help him, Pattie." Bisik Lily kepada Pattie. 

Pattie menoleh ke arah Lily. "Thank you so much," Lirihnya, seolah bersyukur bahwa Lily memutuskan untuk mencoba membantu Justin. 

Saat ini, Lily yang bertanya kepada dirinya sendiri. 

Is she capable to help him?

Is she sure?

She doesn't know. But it seems like a right thing to do. 

At this moment. 

***

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang