Riyo memelukku, ah rasanya aku seperti mimpi. Tuhan, jika aku hanya mimpi aku ingin tetap tidur saja . .
Ku hirup wangi tubuhnya, yang membuat badanku rileks, aku membalas pelukannya sambil mengendus bau badannya lagi. Dan akhirnya aku menemukan tempat nyaman, aku bersembunyi di tengkuknya.
Kurasakan tubuhnya menegang seketika, kurasakan detak jantungnya yang tak beraturan menempel dadaku. Tiba² ia melepaskan pelukan, lalu menakup pipiku.
"Jangan goda aku sekarang, aku masih normal Jesi." ucapnya dengan nada . . ah, aku tak tau. Dan,
CUP
ia mencium keningku singkat, lalu meninggalkanku sedirian yang masih mematung. Terdengar suara pintu tertutup mengembalikanku ke dunia nyata . .
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, masih tak percaya dengan kejadian beberapa menit yang lalu. Kurasa pipiku sudah memerah, ah rasanya aku sangat malu . . .
Aku pergi ke kamarku sendiri, mencuci muka dan sikat gigi sebelum tidur...
*
*
*
*Di kamar Riyo
"Ah, kenapa aku gugup gini sih?" gumamku sendiri.
Tak hentinya aku mondar mandir tak jelas, mungkin jika barang² ku bisa melihat mereka akan pusing melihatku.
Aku lalu pergi ke kamar mandi, mencuci muka dan sikat gigi. Beranjak ke tempat tidur, ingin segera memejamkan mata. Namun . .
Tidak bisa pemirsah(!)
Aku gulang guling gelisah, aku masih tak percaya dengan perilaku ku tadi. Dan untung saja aku masih bisa mengontrol nafsu ku, kalo tidak . .
"Apa gue minta maaf ya?" kataku pada diriku sendiri.
"Tidak,
Tidak
Tidak
Dia istriku, jadi tak ada masalah jika aku menciumnya. Yang lebih pun tidak masalah juga" gumamku lagi.
Aku lalu menarik selimutku menutupi semua badan, ingin segera tidur. Masalah besok, itu nanti saja ya . . .
Kkkkrrrrriiiiinnnnngggg . . .
Seperti biasa, alaram Riyo berbunyi membangunkan sang pemiliknya.
Riyo lalu masuk ke dalam kamar mandi, melakukan kegiatan pagi harinya. Begitupun dengan Jesi, sudah menyiapkan sarapan pagi.. Membersihkan tempat tidur Riyo, lalu menyiapkan baju kerjanya.
Baru ia menunggu Riyo di meja makan..
Riyo mematung di ambang pintu kamarnya, Jesi menatap Riyo malu karena bayangan tadi malam berputar lagi di otaknya..
"Ekhmm . . kak, sarapan dulu." ucap Jesi memecahkan kecanggungan.
Tanpa ada jawaban, Riyo melangkah menuju meja makan. Lalu memakan sarapannya dengan diam, sesekali melirik wanita di depannya yang pipinya sekarang sudah memerah.
"Emm, Jesi." sapa Riyo canggung.
Jesi lalu menoleh pada Riyo,
"Iya kak?" tanyanya masih malu².
"Maafin kakak tadi malem ya." kata Riyo sambil menunjukkan muka memelasnya.
'Entahlah seperti apa, aku sendiri hanya kali ini mencobanya.. Karena aku tak mau di marahin oleh gadis di depanku yang akhir² ini membuatku nyaman'..
Jesi tertawa kecil, "aku ngerti kok kak." jawab Jesi sambil menyengir.
"Kakak berangkat ya." berdiri dari duduknya, berbalik menuju pintu keluar.
"Eh, tunggu kak." Jesi buru² mengambil alih tas kerja Riyo, lalu menggandeng keluar apart dan seperti biasanya.
"Hati² ya kak, ini tasnya. Selamat bekerja." mengulurkan tas Riyo, Riyo pun menerimanya dengan ekspresi yang entahlahh . .
"I-.. Iya, kamu juga." sambil tersenyum singkat.
Jesi mengambil tangan Riyo dan meciumnya, namun pagi ini mendapat respon dari Riyo. Ia kembali mencium pujuk kepala Jesi dan mengacak rambutnya kemudian berlalu berjalan menuju lift.
Jesi tersenyum geli, ia lalu masuk dan menyiapkan pergi ke sekolah. Senyum di bibirnya pun tak kunjung² hilang.
Sesampainya di sekolahpun ia masih setia menampakkan senyumanya, mungkin orang² di sekitarnya merasa heran atau merasa ia sudah gila.
Tak lain dengan Nina, ia berpapasan saat dirinya menuju kelas. "Eh, Nina." sapanya dengan cengiran.
"Elo kenapa Jes? Sehat kan?" tanya Nina sambil memegang dahi Jesi, memastikan suhu tubuhnya normal.
"Gue bahagiaaaaaaa pagi ini Nin," hingga tak sadar ucapannya sambil melompat² kegirangan. Lawan bicaranya pun hanya benggong tak mengerti, kemudian Jesi menyeret Nina masuk ke dalam kelas keburu Bu Pita datang.
Setelah bel istirahat berbunyi, Nina yang masih binggung dengan sikap sahabat barunya itu tak kunjung berhenti memperhatikan gerak gerik Jesi.
Jesi menoleh merasa ada yang memperhatikannya, "kenapa Nin?" tanyanya dengan alis mengkerut.
"Ah, enggak . . cum-.. Cuma pagi ini lo keliatan aneh aja." jujurnya sambil menggaruk pucuk hidung.
"Hehe . . gue gak papa kok, ke kantin yuk laper nih." ajaknya sambil mengusap² perut.
Nina pun akhirnya menyetujui pergi ke kantin hari ini, entah mengapa perutnya juga merasakan lapar..
Mereka mencari bangku yang kosong, hanya ada dua kursi yang tersisa itupun harus ikut gabung sama seorang lelaki.
"Kayaknya gak ada tempat deh, balik aja yuk." rengek Nina yang menyadari kantin sangat penuh, Jesi menoleh.
"Duh, gue laper Nin. Gak kasian sama gue apa? Tuh ada 2 kursi kosong kok, ayok." setelah menunjuk lalu menarik tangan Nina.
"Hekhem, hay boleh gabung gak?" laki-laki itu merasa ada yang bicara padanya lalu menoleh, mengangguk singkat mengiyakan.
Lalu Jesi berbisik pada Nina, "lo tunggu disini jagain tempat kita, gue pesen makan dulu ya."
"Biar gue aja deh, lo yang jagain ya. Oke . ." jawabnya sambil berlalu, Jesi hanya mengangkat kedua tangannya tak tau.
Merasa canggung, jadi Jesi memberanikan diri berkenalan pada cowok di depannya.
"Nama kamu siapa?" laki-laki tadi menoleh setelah makananya habis, dan meneguk es teh hinga tetes terakir.
"Bisakan kalo ada orang makan itu diam?"