Cita-Cita

10 0 0
                                    

Jika berbicara tentang cita-cita, aku sama sekali tidak tertarik untuk itu.

Dari awal, obrolan tentang apa yang kita inginkan kelak hanyalah wacana. Memangnya siapa yang bisa meramalkan masa depan?

Saat itu, mereka mengatakan berbagai profesi mulia sebagai tujuan akhir hidup mereka.

Dokter, karena mampu menyembuhkan orang sakit.

Pilot, agar mereka bisa mengantarkan ia yang ingin bertemu dengan orang-orang yang dikasihi.

Astronot, supaya mampu membuka ilmu pengetahuan baru terhadap angkasa.

Dan lain-lain.

Aku masih ingat apa cita-citaku yang tidak kalah mulia ketika itu. Yaitu menjadi peneliti sehingga bisa meramu berbagai obat dan menghilangkan seluruh penyakit dari muka bumi.

Guru pun bertepuk tangan dan mengelu-elukan kami, bagaimana kepedulian terhadap umat manusia di usia belia patut untuk dibanggakan.

Sudah, hanya sampai di situ saja. Kenyataannya, semua berjalan tidak sesuai rencana. Aku seharusnya tahu kalau cita-cita itu bukanlah suatu bentuk rencana. Namun, hanyalah sebuah angan semu.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah orang-orang yang kemudian tumbuh besar seiring waktu berjalan, menemui fakta bahwa dunia itu tidak seindah yang dibayangkan dan beradaptasi dengannya. Sebagian dari mereka masih optimis dan terus berusaha. Sebagiannya lagi muak dengan semua ini dan mencari kesenangan di atas penderitaan orang lain, dan sebagian sisanya tidak peduli.

Aku berada di golongan ketiga. Apatis dengan segalanya dan mengalihkan pandangan jika diperlukan. Menurutku, sikap yang seperti itu sangat memudahkan seseorang untuk menjalani hidup. Ignorance is a bliss, after all.

Lalu, waktu berjalan cepat tanpa disadari. Tahu-tahu, aku sudah berada di masa untuk sepenuhnya bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Sebagian dari teman-temanku telah menikah dan menjalani babak baru di kehidupannya. Sisanya masih menikmati masa lajang termasuk diriku.

Sepertinya begitu. kehidupan manusia hanya berjalan normal dan membosankan. Aku tidak berharap lebih untuk masa depanku ini, jujur saja.

Dari awal, kehidupan manusia itu sendiri sangatlah membosankan.

Bermain, belajar, dan kemudian bekerja sampai mati.

Sejurjurnya, aku enggan untuk menjalani kehidupan yang seperti itu. Namun, sebagai orang yang selalu bersikap apatis dengan segala sesuatu, aku merasa bahwa aku tidak punya hak untuk berpendapat demikian.

Adakah sesuatu yang layak untuk diekspetasikan?

Ada satu titik perubahan di hari-hariku yang berputar tanpa henti, ialah saat undangan reuni datang di telepon genggam.

Sebagai manusia yang jenuh dengan rutinitas, aku menghadiri acara itu tanpa berpikir lebih panjang. Reuni diadakan di suatu tempat makan dengan sedikit suasana pesta. Dalam waktu singkat, aku bertemu dengan beberapa mantan teman sekelas dan terlibat percakapan dengannya.

Semuanya berubah begitu cepat. Misalnya, orang yang dulu sering menindas murid lain sekarang menjadi sosok bapak yang penyayang. Ada juga yang pendiam dan berubah menjadi sosok yang menyenangkan dalam obrolan. Sungguh ajaib.

"Eh, kamu denger kabar si dia?"

"Ooh, yang dulu sempet bikin heboh itu?"

"Maksudmu, yang cita-citanya, apa namanya... menguasai dunia? Hahaha!"

Obrolan seru pada saat ini adalah tentang seorang gadis yang memiliki cita-cita untuk menguasai dunia. Saat itu, sang guru cukup kerepotan dengan kehebohan anak itu yang terus menerus mengumumkan keinginannya. Otomatis, gadis itu juga menarik perhatianku.

DrabbleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang