Relya melihat langit, tak berniat untuk menengadahkan kepalanya, takut air hujan tertelan oleh dirinya.
Hp-nya mati, dan juga Ia lupa tak membawa powerbank.
Ia kembali menengok ke kiri dan ke kanan, mencari kendaraan umum, khususnya taxi.
Namun sampai berapa-kalipun Ia mencari Ia tak akan menemukan apa-apa, di sana hanya ada jalan kosong dan juga genangan air.
Relya tiba-tiba tersadar, apakah tempat ini rawan banjir? Oh tidak! Mana mungkin genangan air akan sampai ke halte ini. Ya ini sebuah halte, namun sudah mati, tidak beroperasi.
Ia duduk, mencoba menunggu hujan berhenti, kalaupun tak berhenti nanti Ia akan berlari mencari tempat yang lebih aman.
Relya menganggukan kepala, seolah sedang mendengarkan lagu di telinganya.
Relya mulai berandai-andai, kalo Rian akan tiba-tiba datang dengan payung, lalu mengantarnya pulang dengan mobil. Relya bukan perempuan yang berharap Rian datang lalu mengantarnya pulang dengan berpayungkan jaket. Demi heihei si ayam di film Moana, Ia tak akan mau.
Bugh
Relya sedikit terkaget, tak menyadari bahwa ada seorang pria berpakaian hitam kini tengah duduk bersamanya.
Relya kembali berfikiran negatif, apakah ini sejenis begal atau perampok yang akhir-akhir ini sempat nge-trend? Relya bergidik ngeri sambil sedikit menjauh.
Lelaki itu menatapnya tajam, lalu tersenyum sinis, seolah mendapat mangsa yang enak untuk santapan makan malam.
Ia berniat mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya, Relya bersiaga siap berteriak ataupun berlari.
"Daripada sendirian di tengah hujan deras, meratapi nasib yang tak jelas, pacarpun tak ada membalas, lebih baik mbak ngeredit motor ke Saya, lagi ada promo loh mbak, gratis helm, jaket, dan juga jas hujan"
Tiba-tiba suara krik-krik jangkrik terdengar. Relya mengerjap-ngerjapkan mata dengan manja, layaknya orang yang tak pernah diberi obat cacing.
Ia memberikan Relya selembaran berwarna putih.
Relya menatapnya bingung, mana ada sales segarang ini? Pasti semua orang akan langsung membeli tanpa harus berfikir.
"Hehe, biar saya fikir-fikir dulu pak", jawab Relya ramah, lebih menuju rasa takut.
"Lah ngapain difikirin mbak? Lebih gampang ngejalanin motor daripada ngejalanin hubungan gak jelas. Pembayaran bulanannya juga gak usah ada acara anniversary lebay, cukup transfer udah jadi. Gimana? Mbak tertarik?"
Relya mengetuk-ngetuk dahinya, mencoba mencairkan otaknya.
"Saya pikir-pikir dulu deh pak, Saya masih kuliah soalnya", Relya beralasan.
Bapak Sales semangat, lalu segera mengeluarkan handphonenya, berniat menyimpan nomor Relya.
"Tunggu pak, boleh saya pinjem handphonenya?"
"Buat apa?", Bapak Sales balik curiga kepada Relya, takut dirinya yang akan dirampok. Bukankah peran mereka terbalik?
"Saya mau telephone Mama Saya, buat minta jemput, sama nanti Bapak bisa promosiin ke Mama saya"
Bapak Sales sempat berfikir, lalu memberikannya.
Relya mengetik nomor Mamanya lalu mengatakan bahwa dirinya butuh jemputan.
Relya mengembalikan kembali handphone Bapak Sales itu, lalu berniat mengeluarkan uang untuk pengganti pulsa.
"Eh, gak papa mbak, kalo mbak mau beli motor itu udah cukup", larangnya.
Relya menghentikan kegiatannya, mengikuti perintah Bapak Sales. Ia takut bahwa Bapak Sales itu tiba-tiba berubah menjadi rubah ekor 9.
"Bapak dari kapan jadi Sales?", tanya Relya sopan.
"Udah seminggu cuman masih belum dapet pembeli", ucapnya sedih.
Relya tersenyum miris, mengerti masalah dari Bapak Sales. Baru pertama kali Ia melihat ada sales bertampang bodyguard artis. Pasti sulit untuk mendapatkan pembeli.
Tiba-tiba ketika si Bapa asik dengan buku catatannya dan juga Relya asik memperhatikan Bapak Sales, a da seseorang berpakaian jas hujan Batman datang, ikut berteduh.
Relya tak bisa melihat wajahnya, namun Ia yakin bahwa dia adalah seorang perempuan karena Ia memakai high heels pink, sedikit norak.
Relya kembali melihat ke kiri dan ke kanan, mencoba mendeteksi kedatangan jemputannya, namun masih tak ada.
"Pak, boleh minjem lagi handphonenya?", Relya kembali meminta tolong, kali ini Ia akan menghubungi Rian.
"Maaf mbak, pulsanya abis", jawabnya.
Relya berfikir, lalu mencoba meminta tolong kepada Mbak di sebelahnya.
"Maaf mbak, boleh minta tolong?", tanya Relya sopan.
Si mbak masih tak merespon. Relya kembali memperhatikan Mbak di sebelahnya. Dan ya pantas saja Ia tak mendengar, earphones menyumpal telinganya.
Akhirnya Relya menepuk bahunya pelan, namun belum juga Ia ucapkan kata tolongnya, Ia beringsut menjauh.
Demi tukang batagor kampus kesukaan Ninsa, demi squishy anak-anaknya Adeline, demi Samsak tinju pacarnya Dindra, dan demi Kulkas penuh susu coklat minuman Malika! Dia Banci.
"Kenapa mbak?", tanyanya lemah gemulai. Bibir merah, mata hitam, pipi merah, rambut pirang. Ugh! Sangat khas.
Relya menggeleng, mencoba mengurungkan niatnya. Setidaknya Ia lebih senang dengan Bapak Sales daripada Mbak Batman."Iih, rambutnya lucu deh!", ucapnya mendekat ke arah Relya.
Relya menjauh takut, lalu tiba-tiba tak sengaja menggenggam erat tangan Bapak Sales.
Jangan berikan soundtrack berawal dari tatap, ini bukan saatnya.
Sepertinya Bapak Sales mengerti, lalu berganti posisi melindungi calon pembelinya.
"Diem banci!", ucap Bapak Sales membentak.
Relya merasa bersyukur, karena Banci itu pergi.
Relya mengerjap-ngerjapkan matanya lalu bergumam "Bener-bener Batman with pink shoes".
●●●
Xoxo, gue suka aja gitu nulis part ini. Gak kebayang kalo sales sepuitis ituuu :3 yang ada beli kagak, baper iya :v
Btw, gue galau berat nih, sebenernya kalian suka gak sih sama cerita ini? Bingung loooh :'v, Qibi sedih, cih!.
Gue gak pernah berharap kalo cerita ini sampe dilirik penerbit, gue cuman berharap cerita ini bisa jadi penghibur kalian! Bijak kan gueeeeee:3
Bye Miring People! Take care Bee! Jangan lupa beli jas hujan yaaah!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Miring Squad
HumorLelaki itu menatapnya tajam, lalu tersenyum sinis, seolah mendapat mangsa yang enak untuk santapan makan malam. Ia berniat mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya, Relya bersiaga siap berteriak ataupun berlari. "Daripada sendirian di tengah hujan d...