Hari menjelang siang. Sulit di percaya ketika Naruko menuju meja makan sosok ia sudah di nanti begitu banyak orang di sana. "Are?"
"Sudah jam berapa ini dasar tukang tidur." Ino berkacak pinggang di hapan Naruko sedangkan Naruko hanya terkekeh menggaruk pipinya yang tak gatal.
"Ah Dia?." Naruko menatap Sakura yang duduk di sebelah Sasuke. "Sakura-chan ka?"
Sakura terlonjak kaget ketika Naruko menyebukan namanya. Tentu saja Sakura mengenal Naruko namun mereka belum pernah bertemu secara langsung. "Ini benar – benar mengejutkan." Sakura terkekeh sembari melirik Sasuke yang tengah menikmati kopi miliknya.
"Sudah aku katakan." Sasuke memutar bola matanya. Ino menatap heran Sasuke dan Sakura.
"A? Kalian ini kenapa?." Tanyanya penasaran.
"Ino-nee ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan." Sakura, Gaara dan Sasuke saling berpandangan. Hal ini membuat Ino semakin heran dan penasaran.
"Ah tentu." Jawabnya ragu.
"Naruko sarapanlah dulu. Hanya kau sendiri yang belum sarapan." Ucap Kushina sembari menyeret Naruko ke meja makan.
"Baik Kaa-chan."
**
Di halaman belakang suasana di antara mereka bertiga terasa begitu serius. Ini membuat Ino benar – benar merasa tidak nyaman. "Oh ayolah. Aku merasa seperti sedang di introgasi di sini. Ada hal yang ingin kalian tanyakan pada ku?" Ino menyilangkan tangannya di depan dada.
"Gomen Ino nee-san. Kami ingin Ino-Nee menyelidiki prihal Naruko." Ucap Sakura ragu.
"Naruko? Ada apa dengan Naruko? Apa dia kurang sehat?"
"Bukan begitu. Ino-nee bisa melihatnya sendiri jika belakangan ini Naruko terlihat aneh bukan? Mimpi – mimpi itu dan-....."
"Aku tahu." Ino memotong ucapan Gaara.
"Jadi kalian ingin aku memeriksa Naruko karena itu?" Ino menatap serius ketuganya.
"Benar." Jawab Sasuke, Sakura dan Gaara.
"Kau tahu aku ini dokter specialis dalam? Aku mungkin tidak terlalu membantu jika mengenai ini namun pengalaman ku mungkin iya." Terang Ino.
"Kami tahu." Jawab Sakura.
"Mungkin Psikolog akan sangat membantu ya aku juga akan membantu sebisa mungkin."
"Psikolog? Naruko tidak gila Ino-nee." Raung Gaara.
"Hei Gaara. Kau pikir Psikolog hanya melayani orang gila? Kau salah besar." Bantah Ino membuat Gaara terdiam. "Yang di tangani Psikolog tidak hanya itu. Mereka dapat menyelesaikan masalah yang mungkin tidak dapat kita selesaikan. Misalnya saja kau mengalami masalah kegugupan yang berlebihan ketika ingin mencari pekerjaan atau kau memiliki rasa takut yang berlebihan akan sesuatu. Mereka dapat membantu mu menyelesaikan masalah itu." Terangnya. "Kau bisa menyebutnya dengan Konseling. Bukan kah di SMU kalian pernah melakukannya? Apa kalian gila saat melakukan Konseling?" Gaara menggelengkan kepala.
"Kalian beruntung karena aku memiliki teman seorang Psikolog. Besok aku akan menghubunginya." Sakura dan Gaara mengangguk paham.
"Sudah selesai bukan? Karena aku harus pergi bekerja." Ino bangkit dari duduknya dan meninggalkan mereka bertiga di sana.
"Aku harap kita akan segera mendapat jawabannya." Sasuke bangkit dan menyusul kepergian Ino.
"Sas kau mau kemana?" Sakura ikut berdiri dari duduknya.
"Aku ingin melanjutkan skripsiku. Aku pikir tidak ada gunanya terus menunda." Sasuke mengendikan bahunya dan menghilang di balik pintu.
"Ah sudah ku duga jika Sasuke akan fokus ke masalah ini. Itu sebabnya dia memutuskan mengerjakan hal yang ia tinggalkan." Sakura menghela nafas.
"Maksudnya?" Gaara menatap Sakura dengan tatapan tidak mengerti.
"Setelah kematian Naruto Sasuke tidak pernah mengerjakan suatu hal dengan serius. Dan tentu saja itu menjadi masalah bagi masa depannya. Setahuku Naruto itulah yang menjadi penyemangat dan pemicu Sasuke dalam belajar. Walaupun tak terbantahkan jika Uchiha itu memang memiliki kejeniusan yang mengerikan."
"Jadi artinya ia sama sekali tidak menggunakan kejeniusannya belakangan ini?" Gaara asal menyimpulkan.
"Err bisa di bilang begitu. Dan aku harus pergi menemui Karin." Sakura melihat arloji di tangannya.
"Karin?"
"Ah iya kau tidak mengenalnya. Ia adalah keponakan dari Bibi Kushina. Dia memang sangat jarang bermain ke tempat bibi dan juga ia memiliki hubungan yang buruk dengan Naruto dulunya." Sakura menyingsing tasnya dan bersiap untuk pergi.
"Oh souka."
"Besok akan aku kenalkan padamu. Dan kebetulan aku akan memaksanya datang kemari he he." Sakura tersenyum miring.
"Kimochi waruii." Gaara bergidik ngeri.
"Jaa ne."
"Jaa."
**
"Kaa-chan aku pergi ke supermarket." Teriak Naruko sembari memasang sepatunya dan hendak keluar. Namun ketia ia membuka pintu...
BUGHHH
Naruko seperti sedang menabrak sesuatu. Dan yang benar saja ketika ia melihat sosok yang terjatuh di bawah sana. "Ah S-sumimasen aku tidak melihat mu... Hi...Na..Ta-chan(?)."
Hinata yang terjatuh terkejut bukan kepalang. Bukan karena rasa sakit akibat tertabrak melainkan karena siapa sosok yang menabraknya kini. "N-naruto?" ucapnya dengan nada takut.
"Are siapa yang datang Naruko." Kushina meghampiri. "Kenapa ribut sekali. Eh are Hinata-chan. Kapan kau datang? Ayo masuk." Kushina membantu Hinata berdiri dan mendorongnya masuk kerumah. Sedangkan Naruko melanjutkan kegiatan yang sempat terhenti yaitu berburu diskonan ramen di supermarket.
"Aha kau kerkejut ya?" Kushina tersenyum menatap Hinata sambil meletakan secangkir teh untuk Hinata. "Sudah aku duga jika orang terdekat Naruto akan terkejut jika melihat Naruko."
"Naruko?"
"Ya namanya Sabaku Naruko. Dia anak dari kakak ayah Gaara-kun." Jelas Kushina.
"Sou. Aku sudah mendengar sedikit tentangnya dari Sasuke. Tapi aku tidak menyangka akan bertemu dengannya secara langsung seperti ini dan itu benar – benar mengejutkan." Ujarnya masih dengan nada shock. "Mereka benar – benar memiliki paras yang keterlaluan mirip."
"Aku setuju." Kushina tersenyum.
"Oh ya kenapa Hinata-chan datang? Aku dengan jika Hinata-chan sudah menjadi dokter dan pasti sangat sibuk."
"Sasuke menghubungiku. Katanya ada hal penting yang ingin ia bicarakan."
"Waah apa jangan – jangan Sasuke ingin melamar mu Hinata-chan?" Kushina asal menebak.
"A-aaa Bibi Kushina itu tidak mungkin." Hinata membatahnya dengan cepat. "Walau aku berharap jika Sasuke-kun akan melamarku segera. Tapi aku pikir ia memanggilku untuk pulang bukan karena hal itu." Hianat terkekeh.