8

43 4 0
                                    

"Haru adalah seorang anak dari sepasang kembar, namun hanya Haru-lah yang akrab denganku. Tentu saja karena 'perkumpulan' itu. Berbeda denganku yang mati-matian mengajakmu, Haru justru tidak suka saudara kembarnya ikut terlibat. Ia merahasiakan ini dari keluarganya. Aku tidak begitu yakin, alasan apakah yang membuatnya bertahan di sini? Sepertinya ia mencoba melindungi seseorang, alasan yang aneh bukan?

*PS : Jika kau sudah bisa membaca apa pun pesan yang dituliskan di atas, itu artinya ada yang tidak beres dan aku akan bertanggung jawab sesuai keadaan saat itu."

Dengan jenis aksara yang sama seperti halaman-halaman sebelumnya, tidak butuh waktu lama bagi Sven memahami maksud dari tulisan tersebut. Tulisan itu sebetulnya tidak sama persis dengan halaman lainnya. Tulisan itu ditulis, bukan huruf cetakan printer seperti halaman-halaman lainnya.

"Maru, mengapa kau tak pernah bercerita bahwa kau mempunyai saudara kembar?" Sven bertanya sinis ke arah Maru. Yang ditanya justru keheranan dengan sikap Sven.

"Tahu dari mana kau tentang--"

"Haru," Sven menghela napas. Menatap Maru semakin tajam.

"Kalian ini bicara apa?" Rei tampak tergesa karena hanya mereka berdua yang memahami apa yang sedang dibicarakan.

"Jadi semua ini karena si brengs** itu?" Sven tidak menggubris Rei, menyatakan rasa tidak terimanya.

"Kau! Apa-apaan?! Aku saja tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Sekarang kau memaki saudaraku yang sudah meninggal?? Di mana sikap hormatmu??" Kali ini Maru menuju ranjang Sven, hampir-hampir menghajarnya. Namun, belum sampai langkah kakinya mencapai arah yang ditujunya, tubuh Maru terpelanting mundur.

Aku yang menghentikan aksinya itu.

"Berhati-hatilah, Dik," suara langkah pantofel hitamku terdengar bergema di ruang yang hening ini. Sosokku perlahan menjelas. Transparansi dimensi tubuhku perlahan menguat. Kini aku bisa mereka lihat. Dan di sinilah aku sekarang. Bersama dengan Haru di sebelahku.

Seluruh ruangan tentu saja terkejut dengan kehadiran 'Maru palsu'. Kali ini, mereka terkejut karena 'Maru tersebut' menggunakan setelan baju seperti saat keberangkatan mereka untuk berlibur. Tak terkejut sama sekali, Sven seakan sudah tahu akan kedatanganku yang menggunakan kaos dongker berlengan panjang serta celana. Walaupun aku tahu ia berusaha menyembunyikan wajah sumringahnya saat melihatku, ia tetap berusaha menampakkan sisi dinginnya kepadaku. Kepada Haru.

"Hai, Maru. Lama tak bertemu."

Maru masih melongo sejak kedatanganku. Melihatku yang tiba-tiba muncul saja sudah aneh, dan sekarang tentu ia sangat tidak menyangka akan kehadiran Haru. Awalnya ia berjalan perlahan, namun tanpa menunggu lebih lama, segera saja ia berlari menuju saudara kembarnya itu.

"Sialan kau! Ke mana saja selama ini? Mengapa kau meninggalkanku? Dan mengapa sekarang kau muncul begitu saja? Kau pikir lucu meninggalkan rumah seperti itu? Nenek dan ayah mencarimu ke mana-mana! Ya Tuhan, bagaimana bisa semua ini dijelaskan secara rasional," Maru memeluk Haru erat setelah puas membolak-balik tubuh Haru, mengacak rambutnya, bahkan mencubit kedua pipinya. Astaga, itu lucu sekali.

Namun, ah, lihatlah keenam anak itu. Semuanya sinis melihat ke arah Haru.

"Hhh, begini, ya," suara Zhou tampak menahan emosi. "Maru, sepertinya kau belum tahu bahwa saudaramu inilah yang mencelakakan kami. Karena itulah aku memberitahumu, bahwa sepertinya ia tidak di pihak kita, jadi sebaiknya kau--"

"Aku di pihaknya," Haru angkat bicara, Maru yang dimaksudnya.

"Apa maksudmu? Kau kira keadaan kami semua di sini lucu bagimu? Untunglah kau cukup bodoh untuk mencelakakan kami di jalan tol, bukan di jurang," wajah Khai memerah karena marah. Raut mukanya terlihat ingin memaki, namun ia tampak menahannya.

          

Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Haru.

Maru yang melakukannya.

"Apa yang kau lakukan kepada mereka?" Wajah Maru kini tampak marah.

"Aku hanya ingin melindungimu. Kau tidak mau mendengarku, sih. Jadi aku lakukan saja agar mereka tidak lagi di mengusikmu," tak mau mengalah, Haru membela diri.

"Itu namanya mencelakai orang lain, sama saja kau mencelakai hidupku. Lagipula, mereka bukan pengganggu, mereka itu temanku."

"Tapi mereka membuatmu terlibat dalam masalah itu, Maru!"

"Kau tidak perlu melindungiku lagi. Aku ini sudah besar!"

Tak lama berselang, Maru tampak menimang-nimang perbincangan barusan. Aku berusaha membaca pikirannya. Déjà vu?

Melihat situasi perdebatan yang mungkin tiada habisnya, Haru menghela napas perlahan, "Kau tidak pernah tahu apa yang kau, dan teman-temanmu lakukan malam itu, Maru." Ia mengangkat kedua tangannya, menandakan bendera putih, -Aku tidak mau bertengkar saat akhirnya bisa berjumpa denganmu, Maru. Aku membaca pikirannya dengan jelas.

"Hah? Apa?" Sven tak mau kalah ambil giliran bicara. Jelas dia akan menjadi orang yang akan sangat menyesal jika ia tahu apa yang terjadi. Ialah orang yang mengawali semua rangkaian peristiwa itu.

"Jelas kau bisa saja melakukannya lagi kapanpun demi bertemu Glen, kan?" Haru menengok ke arah Sven, menantang. Untuk pertama kalinya Haru berbincang tanpa topi dan masker dengan Sven. Aku mengerti isi hati Sven, rasanya tidak mudah berdebat dengan Haru yang wajahnya sama persis seperti Maru.

"Apa maksudmu?" Sven tak mau kalah, ikut menantang debat.

"AAAARGH! Apa yang kalian semua bicarakan, hah? Apa sulitnya menjelaskan dulu kepada kami apa yang sebenarnya terjadi? Kalian pikir kami manusia aneh macam kalian? Tidak! Aku tahu ada yang berniat jahat dibalik semua ini! Mengakulah! Ceritakan semuanya dari awal hingga akhir!" Rei menumpahkan seluruh emosinya saat itu. Sementara Nutta ikut menimpali setuju, disusul Khai dan Zhou yang bersemangat ingin tahu apa yang terjadi.

"Beri aku satu alasan, mengapa aku bisa kalian kambinghitamkan malam itu," suara Alf tampak datar, tidak menuntut kejelasan dengan emosi seperti yang lainnya. Tenang, tapi mampu membuat Sven menelan ludahnya, memasang wajah gelisah. Tak lama, ia menghela napas, meminta maaf sedalam-dalamnya kepada Alf.

"Maafkan aku semuanya, terutama Alf."

Sven bercerita panjang lebar ─seperti pengakuannya pada kalian saat membaca chapter ketujuh. Bahwa dialah otak dari penginapan itu. Seluruh alasan konyol mengapa ia mengorbankan keenam temannya. Hanya untuk bertemu denganku. Untuk urusan yang tak kalah konyolnya. Wajah-wajah yang baru paham, wajah-wajah muak, hingga wajah-wajah yang penuh kemarahan memenuhi ruangan kala itu.

"Ah, kalian semua sudah sadar. Yang menjenguk ini kakaknya, ya?"

Hening.

"Oh, kalian punya teman kembar juga? Satu sekolah atau bagaimana? Identik sekali," suster yang baru masuk untuk melakukan pemeriksaan rutin, mengoceh panjang lebar.

"Ada apa ini? Rapat dalam ruangan? Mengapa wajah-wajahnya serius sekali? Sebaiknya kalian perbanyak istirahat dibanding memikirkan hal-hal berat di saat seperti ini," suster itu menutup kalimatnya sebelum meninggalkan ruangan. Jelas sekali suasana canggung menyelimuti saat ia tiba di ruangan ini. Aku tahu persis suster itu ingin cepat-cepat keluar dari sini barusan.

"Jadi, itu juga ulah kau yang membuat ban motorku bocor malam itu?" sudah malas mendengar lebih jauh lagi, Rei asal memberikan pertanyaan mumpung ingatannya sedang kembali. Sven yang sejak tadi menunjukkan wajah penyesalannya, dengan cepat berganti menjadi ekspresi keheranan, "Malam kapan?"

7/9Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang