Shawn POV
Telingaku menangkap suara seseorang. Pada awalnya aku mengira itu suara Aaliyah tapi ketika aku membuka mata, tempatku tidur terasa asing. Isakan kembali terdengar, mataku memincing mengedarkan pandangan. Kepalaku sedikit pusing karena kurang tidur, tapi aku tidak akan menyesalinya jika semua yang kulakukan hanya untuk Gabby.
Tubuhku sedikit limbung ke kiri ketika bangun. Untungnya rumah Gabby hanya satu lantai, karena aku yakin akan menggelinding ke bawah jika harus menaiki tangga.
"Gab?" Aku berusaha melihatnya yang sedang meringkuk di atas ranjang. Dia menoleh lalu mengelap air mata di pipinya. Syukurlah dia tidak terkena panic attack lagi.
"Apa aku menganggumu?" Suaranya terdengar lemah. Aku segera menggeleng dan berjalan ke samping ranjang.
"Apa kau sudah memakan sesuatu hari ini?" Ku elus puncak kepalanya. Gabby menggeleng lalu menghela napas, air matanya kembali menetes.
"Maaf karena membuatmu terbangun, aku hanya.. Hanya.." Gabby kembali menutup wajahnya dengan tangan, menangis sesenggukan.
"Gabby, kau tidak perlu meminta maaf. Aku tahu ini pasti berat untukmu." Aku berbaring di sampingnya. Menarik Gabby ke dalam pelukanku karena aku ingin membuatnya merasa nyaman, aku ingin dia tahu kalau dia tidak sendirian menghadapi semua ini.
"Mengapa dia melakukannya? Itu hal yang sangat egois, Shawn. Apa dia tidak mengingatku saat memutuskan untuk mengakhiri hidupnya?" Aku menghela napas, tahu dengan pasti kalau ayahnya sangat mengingat Gabby sebelum bunuh diri.
"Dia ayahmu. Ayah sudah pasti mengingat anaknya kapanpun, dan dimanapun. Kau tidak boleh berpikiran seperti itu." Perkataanku tidak membuatnya tenang, tapi sebaliknya. Tangis Gabby semakin pecah.
"Dia mengingatku kemudian bunuh diri? Itu konyol, Shawn." Suaranya serak, aku yakin itu akibat teriakannya semalam juga tangisnya.
Aku sangat ingin memberitahu Gabby kalau ayahnya menitipkan surat padaku, dan surat itu tepat ada di atas nakas. Tapi aku tidak mau membuatnya semakin sedih, lagipula dia belum menyadarinya, jadi aku biarkan saja sampai dia siap untuk membaca apapun yang dituliskan oleh ayahnya.
"Kau masih terguncang, maka dari itu pikiranmu bercabang. Tenangkan dulu dirimu, baru kau bisa mencari tahu penyebab dia melakukannya."
Gabby mencengkram kaosku, meluapkan semua kesedihannya.Melihatnya yang hancur seperti ini membuatku takut. Aku takut hidupnya akan semakin jungkir balik. Selama ini dia bisa menjalankannya dengan rapih, dia lebih memilih untuk tidak ambil pusing dengan apapun. Aku jadi khawatir dia tidak bisa setenang dulu, aku takut dia depresi, aku takut sesuatu yang buruk terjadi padanya.
"Berjanjilah padaku, Gab." Dia masih menangis tapi aku tahu dia mendengarkan. "Berjanji padaku untuk tetap menjadi Gabby yang kuat, Gabby yang tidak peduli dengan sindiran orang-orang, Gabby yang tegar menjalani kehidupan. Berjanjilah kau tidak akan berubah setelah apa yang terjadi." Gabby tidak mengatakan apapun, aku juga tidak memintanya untuk membalas perkataanku. Aku hanya ingin dia berjanji untuk dirinya sendiri, dan kembali menjalani hidupnya dengan normal.
Kukecup puncak kepalanya perlahan, kemudian semakin memperat pelukan kami. Mendengarkan semua curahan hati tanpa perkataan darinya, karena tangis sudah cukup menggambarkan keseluruhan hidup yang dialami oleh Gabby.
Aku sangat ingin melindunginya dari semua hal buruk yang terus menerus datang tanpa ampun. Aku harus melindunginya karena dia adalah prioritasku yang baru.
•••
Gabby POV
Hari ini Shawn sudah mulai kembali ke sekolah, tentunya dengan paksaan dariku. Kemarin dia benar-benar menemaniku seharian, aku hanya tidak ingin membuatnya terkena masalah karena dia belum genap satu bulan berada di sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Reputation [S•M] [COMPLETED]
FanfictionBerawal dari sticky note, mereka saling mengenal. Shawn tidak peduli dengan reputasi yang dimiliki oleh Gabby, dia hanya peduli bahwa hatinya sudah jatuh tepat di depan loker yang penuh dengan kertas warna-warni. Shawn rela mengambil resiko sebanyak...