9 - Hujan

5.6K 903 153
                                    


****

Azuna Lilly Violan

Dua puluh tiga tahun.

****

"Ternyata anak ayah berani pulang ke rumah juga," ucap Ayahku pertama kali ketika aku memasuki ruang tamu. Ayahku sedang duduk di sofa kebesarannya dengan sebuah buku dan kacamata tebal di ujung hidungnya.

"Ayah apa kabar, baca apa yah?" tanyaku dengan senyuman meminta maaf.

"Kalau kamu berani pulang berarti Ayah dapat kabar gembira, hmm? Laki-laki atau perempuan?" beliau tersenyum. Senyum yang kuanggap sangat keren sejak dulu. Ayahku begitu memesona ketika muda, wajar saja di hari tuanya ia masih punya keterampilan untuk tersenyum seperti itu.

"Laki-laki apa, maksud ayah apa sih?"

"Kan sudah Ayah bilang, jangan pulang sebelum ada cucu!"

Seketika pipiku memerah, "Ayah!"

"Jadi, perempuan atau laki-laki?"

"Belum, yah! Lilly belum hamil."

Ayah menatapku tajam, lalu kembali memusatkan pandangannya pada buku yang sedari tadi masih ia pegang. "Kalau begitu kembali pada suamimu sana, kalau belum ada cucu Ayah belum mau nerima kamu di rumah!"

"Ayaaaaah," rajukku. Tetapi sejak dulu Ayah tidak pernah mempan dengan orang-orang yang merajuk padanya. Termasuk aku. Sekali ia bilang tidak, maka tetap tidak. Hah! Membayangkan masa-masa kelam di mana aku menjadi anak kesayangan yang tidak boleh ini dan tidak boleh itu membuatku meringis. Aku sudah menikah dan Ayah tidak bisa larang-larang lagi.

"Sana makan dulu, sudah sarapan belum?"

"Belum," jawabku sambil terkekeh dan langsung melesat ke dapur untuk mencari makanan. Meskipun Ibuku sudah lama meninggal. Tetapi rumah ini selalu penuh dengan makanan. Ayah memperkerjakan seorang ahli masak setelah Ibu meninggal, sehingga anak-anaknya tidak ada yang kekurangan gizi. Apalagi Ayah benar-benar buruk dalam memasak.

Ketika aku kembali, Ayah sudah berpindah ke teras belakang dan meminum secangkir teh. Uap panas masih mengepul-ngepul dari cangkir tersebut, membuatku bertanya-tanya kapan Ayah sempat untuk membuatnya tanpa sepengetahuanku.

Lagi-lagi Ia melirikku dengan tajam ketika aku berjalan mendekatinya. Kali ini Ia tak mengenakan kacamata bacanya. "Kalau sudah makan, pulang sana."

Duh, Ayahku memang juara kalau masalah mengusir anak.

"Alan sedang ke Jepang, Yah. Aku sendirian di rumah daripada gila mending gangguin Ayah!"

Ayah mendengus, "Istri yang baik itu setia nunggu di rumah sampai suaminya pulang!"

Mataku memicing menatap Ayah, sedangkan beliau melirikku sejenak kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke halaman belakang.

"Ayah ngaku deh, Ayah tuh lebih ngebelain Alan daripada aku kan?"

"Perasaanmu saja," jawabnya sambil kembali menyeruput tehnya.

Karena sudah masuk pada pembicaraan Alan, mungkin aku bisa bertanya sekarang. "Yah, kenapa jodohin aku sama Alan?"

Jika Ayahku tampak kaget, maka beliau menyembunyikannya dengan cukup baik. Tetapi masih bisa kulihat tangannya yang agak tegang ketika memegang cangkir teh.

"Sebagai hukuman karena kamu kabur sama Ailena seminggu tanpa kabar," jawab Ayah dengan senyum licik. Ayahku memang licik, dia pintar memutarbalikkan perkataanku dan menjawab semua tuntutanku dengan tuntutan balik. Kali ini aku harus menang debat melawan Ayah!

"Biasanya juga aku sering pergi bahkan lebih dari seminggu sama Ailena tapi aku nggak tiba-tiba dijodohin, terus kenapa harus Alan?"

"Kenapa bukan Alan?"

"Aku duluan yang tanya, ayah jawab."

"Kalau kamu jawab pertanyaan ayah, ayah jawab pertanyaan kamu!"

Tahan Lilly, kamu kuat, kamu kuat.

"Kenapa Alan bilang kalau Kak Reno ngejual aku buat perusahaannya?" tanyaku sengit. Harusnya Ayah tidak bisa membantah soal hal ini.

"Kamu banyak berimajinasi, sayang!" jawabnya santai.

Ugh!

"Aku denger sendiri Alan ngomong begitu di hari pertunangan kita!"

Sebenarnya Ailena sudah menjelaskan kalau itu hanya salah paham. Mana mungkin Kak Reno yang cinta mati sama adiknya mau menjual aku hanya demi perusahaan. Tetapi cerita dibalik percakapan itu yang membuatku bingung. Kalau memang bukan seperti itu kenapa Alan berkata kalau Kak Reno menjualku?

"Kamu itu nggak bisa diem, nggak anggun, sulit diatur dan pembangkang. Susah mencari suami untukmu, jadi bersyukur saja punya suami tampan seperti Alan."

"Ayah!" seruku tidak terima. Dimana-mana orang tua akan membanggakan anaknya, kenapa Ayah malah menjelek-jelekkan aku?!

Ayah tampak menghela nafas. Ia meletakan cangkir tehnya di meja. "Alan yang melamarmu lebih dahulu. Tidak ada perjodohan. Tidak ada perjanjian."

Aku memandangi Ayah lama. Menunggu apalagi yang akan ia katakan, tetapi ia tetap diam. Tak memandangku sama sekali.

"Terus Ayah setuju?" tuntutku ketika Ayah tak kunjung mengatakan apapun.

"Tanyakan pada Reno, kakakmu yang lebih mengerti."

Ayah beranjak pergi, menepuk pundakku dan memberiku senyum tipis. "Pulang, sebelum hujan turun."

****

Terima kasih sudah membaca, jangan lupa berikan vote dan tinggalkan komentar ya. Cerita ini sudah tamat di Karyakarsa, jangan lupa mampir ke profil Amuba ya. Ada potongan diskon kalau kalau mengecek dibagian Paket. Sampai jumpa di chapter selanjutnya.

Salam sayang,
Amubamini.

PUBLISHED [15-06-2017]
LAST EDITED [07-05-2023]

Before The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang