a p a k a h p e r l u ?

8K 1.3K 385
                                    

--
Kecurangan adalah tanda ketidakmampuan
--

Namaku Sena Senjana, seorang siswi yang sedang menganggur usai Ujian Nasional SMP. Sejak 12 Mei lalu lah kehidupan menganggurku dimulai. Dan hari ini membuat jantungku berdebar kelewat kencang. Tanggal 25 Mei, yaitu hari ini, hasil Ujian Nasional akan diumumkan pukul satu siang nanti. Jantungku tak mau berhenti berdebar, jangan-jangan gejala hipertensi, amit-amit.

Aku hanya seorang pelajar SMP yang akan menuju SMA. Mengandalkan NEM untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Jika NEM-ku di bawah passing grade kebanyakan SMA negeri di daerahku, terpaksa aku masuk swasta. Aku tidak pernah berharap ada di sana, juga bersekolah di swasta tidak ada dalam daftar rencana kehidupanku sebagai manusia seutuhnya. Bukan, bukannya aku menganggap swasta buruk atau bagaimana, hanya saja aku berpikir sekolah swasta lebih mahal, aku tidak mau orangtuaku kewalahan perihal dana.

Mengenai orangtua, sejujurnya aku hanya memiliki ibuku. Ayahku bukan meninggal, ia hanya pergi dan tidak tahu kapan kembali. Ia pergi setelah pertengkaran lumayan hebat dengan ibuku ketika usiaku baru menginjak 11 tahun. Ia pergi tanpa mengucap selamat tinggal dan tanpa melirikku, seakan aku tak kasatmata. Ia tak pernah pergi sebelumnya, ketika pertengkaran yang lebih hebat bahkan terjadi, ia menetap, menelan mentah-mentah egonya hanya untukku, tapi saat itu, ia memilih pergi tanpa kutahu apa alasannya.

Semua sudah berlalu begitu saja, meninggalkan rasa penasaran, tapi aku tak bertanya, saat itu aku sudah cukup dewasa untuk membaca situasi. 4 tahun sudah, tapi tak pernah sekalipun aku melupakannya. Ketika aku bahkan tak bisa mengiriminya pesan, aku tahu aku bisa mengiriminya do'a. Aku ingat segalanya, termasuk watak ayah yang hobi menyembunyikan jati dirinya. Watak asli ayah yang tidak akan ia tunjukkan kepada sembarang orang. Mungkin orang lain menilai ayah hanya sebagai pria pekerja keras yang tekun dan sayang keluarga, tanpa tahu ayahku adalah pembenci kecurangan nomor wahid.

Ia bahkan meninggalkan kantor tempatnya bekerja pada tahun 2013 karena si pemimpin perusahaan berniat menjadi oknum yang mencurangi masyarakat. Saat itu aku tidak mengerti apa yang dimaksud dengan 'mencurangi masyarakat', mungkin maksudnya pemimpin perusahaan itu membuat kebijakan yang mempermainkan uang. Ayahku seorang akuntan omong-omong, makanya ia agak sensitif ketika membicarakan uang dan kecurangan.

"Sena, jangan melamun, cepat masuk ke mobil, sudah hampir pukul 1, kamu mau Ibu terlambat seperti orang bodoh?" ujar ibuku. Tanpa pikir panjang, aku segera masuk ke dalam mobil.

Seperti yang telah kukatakan tadi, hari ini hari pengumuman hasil Ujian Nasional. Seluruh wali murid diminta untuk hadir bersama putra-putrinya di sekolah karena akan ada penghargaan untuk siapa-siapa saja yang berperestasi dalam UN.

Di sekolah, semua wali murid langsung berkumpul di aula, sedangkan anak-anak mereka menunggu di koridor sambil menandatangani spanduk untuk kenang-kenangan. Selesai menandatangani spanduk, aku bergabung dengan teman-temanku, membicarakan banyak hal. Termasuk tentang kecurangan yang membuatku teringat ayah.

"Pokoknya, apapun hasilnya nanti, jangan pernah berpikir untuk curang," ujar Nada, "Kata Pak Hafidz gitu."

"Oh, kayak nyogok biar dapet sekolah bagus gitu, ya?" tanyaku.

"Iya, sekolah negeri, 'kan, gratis, tapi gak akan jadi gratis kalau kamu nyogok, paling mahal nyogok itu sekitar 20 juta. Tetanggaku nyogok juga soalnya, tapi ibunya bilang itu namanya 'nitip'," jawab Alfi.

Huft, apakah perlu melakukan hal tersebut? Kalau ayah tahu fenomena ini, pasti ia tak habis pikir. Lagipula, semua sekolah sama saja, 'kan? Tergantung bagaimana kamu sebagai murid memanfaatkan waktu belajar di sekolahmu, kalau kamu memanfaatkan dengan sangat bagus, niscaya PTN terfavorit yang terkesan mustahil untuk digapai saja akan dapat kamu gapai dengan cara yang halal. Apakah perlu mencurangi orang lain dengan menyogok dan membuat kesempatan mereka tergeser hanya untuk bersekolah sedangkan ada banyak cara yang lebih halal untuk mendapat kesuksesan di sekolah, bahkan di akhirat nanti?

1 jam kemudian, ibu keluar dari aula, diikuti wali murid lain. Wajahnya seperti sangat bahagia, sama bahagianya saat aku memberitahu ibu bahwa aku mendapat juara 1 lomba membaca puisi tingkat provinsi. Setelah menemukanku lewat mata elangnya, ibu berlari ke arahku, aku ikut berlari ke arahnya agar ibu tidak perlu lari terlalu jauh.

"Hebat! Nilai Bahasa Indonesia-mu sempurna, Sena!" Ibu menjerit girang, lalu menyodorkan lembaran nilaiku di udara. Aku melihatnya-10,00-lalu tersenyum penuh kebahagiaan. Aku pun memeluk ibu.

"Sayang sekali, nilai Matematikamu 4,75," ujar ibu setelah pelukan kami terlepas. Aku mengubah air mukaku menjadi sedih. Matematika selalu menjadi kekuranganku.

--

NEM-ku hanya 30,45. Bagiku nem segitu bukan 'hanya', aku bahkan tidak pernah berekspektasi mendapat NEM yang menurutku bagus itu, tapi untuk bersekolah di SMA Negeri yang aku dan ibu inginkan butuh nem lebih dari itu. Tahun lalu passing grade-nya 35,05, dengan NEM yang aku dapatkan, aku sama sekali tidak berharap bisa bersekolah di sekolah itu lagi. Di mana saja asalkan aku bisa mengenyam pendidikan.

Sejak kemarin saat pendaftaran SMA dibuka, ibu jadi sangat sibuk, jarang ada di rumah. Pagi ini saja aku sudah mendapati ibu berpakaian rapi dan langsung mencelos pergi dengan meninggalkan sarapan pagi untukku di meja makan. Urusan pekerjaannya mungkin sedang sangat membludak.

Sebelum sarapan, aku memutuskan untuk mengecek web PPDB online kotaku, ingin tahu aku sudah berada diurutan berapa, bisa jadi juga aku sudah hilang dari tabel pendaftar karena kuota terpenuhi dan NEM-ku tenggelam.

Aku terus mengusap layar ponselku ke bawah, karena namaku tidak mungkin ada di atas. Ya aku cukup tahu diri saja karena NEM ku, 'kan, cuma se--

Sena Senjana, urutan 40 dari 380 pendaftar, NEM 37,50.

Apa maksudnya?

Aku segera menelpon ibu, kejadian ini terlalu janggal. Semoga saja ini hanya sebuah kesalahan teknis.

"Iya, Sena, ada apa?" tanya ibu.

"Ibu, ini aneh," ujarku gemetar, "Namaku ada di tabel pendaftar dengan NEM 37,50. Bisa Ibu pulang dan mengurus ini ke SMA itu Bu? Ini harus dibereskan."

"Sena tenanglah," balas ibu.

"Ibu aku tidak bisa tenang, pasti ada kesalahan, harusnya namaku sudah tidak ada di tabel itu, tapi kenapa malah ada dan dengan NEM yang bukan milikku?"

"Sena, semuanya sudah diatur, tanggal 12 Juli kamu masuk sekolah itu dan memulai masa SMA, belajar yang benar jangan sampai membuat Ibu kecewa," balas ibu. Aku mengernyit, ada yang salah.

"Ibu, tapi, bagaimana bisa?"

"Bisa, semuanya bisa dengan uang, Sena."

Aku mematikan sambungan telepon, terkejut mendengar perkataan ibu.

Akhirnya, setelah 4 tahun, aku tahu alasan ayah pergi, ibu yang punya sifat itu, ibu yang membuatnya pergi, ibu yang curang.

Tapi, apakah semua ini perlu dilakukan?

--

a/n. first time bikin ginian,
kalo kalian merasa aneh sama ayahnya yang pergi dengan alasan kayak gitu tanpa pernah ngabarin anaknya, aku juga ngerasa aneh kok, maklumin aja😂

Apakah Perlu? Where stories live. Discover now