Tepat tengah hari, mereka sampai di Jakarta. Nia langsung membuntuti sang Oma yang menyambut kedatangan mereka dan melupakan Herman yang tengah menurunkan barang bawaan Nia.
Setelah semuanya masuk, Herman menyusul Nia yang saat ini sedang menikmati segelas es cendol di teriknya matahari.
“Kamu mau langsung pulang, Man?” tanya Omanya sambil menyodorkan gelas berisi es cendol padanya.
“Oma gak seneng banget kalo Man di sini ya?.”
Nia tertawa, “Iyalah gak suka, Bang Man kalo di sini godain anak tetangga terus.”
“Mana tahan Ni, bening-bening begitu. Mubazir kalo gak di godain” sahut Herman.
Pletak..
“Astaga, Omaa.. kepingin aku jadi Sangkuriang ya?.”
“Ya lagian kamu pake bilang gitu. Kamu mau kalo Nia di gituin juga sama laki-laki, Man?.”
“Emang ada yang mau sama si Nia?.”
“Herman” Omanya mendelik. Herman terpingkal di buatnya. Dia suka menggoda perempuan yang satu ini.
Nia pergi menuju kamarnya. Barang bawaannya tidak mungkin bisa langsung tertata rapi di dalam lemari juga rak dengan sendirinya kan?
“Besok kamu langsung masuk sekolah, Ni” ucap Herman dari ambang pintu kamar Nia.
“Lah, kirain aku bisa leha-leha bentar.”
“Leha lagi pergi, adanya Soleh mau?.”
“Lawakannya kayak kerupuk nih!” dengus Nia.
“Napa? Garing? Biasa!” jawab Herman.
“Bukan, alot!.”
Nia meneruskan pekerjaannya, kali ini buku-buku itu yang sedang Nia atur supaya rapi berjejer. Herman masih di sana, memperhatikan adik kecilnya. Herman menggeleng, Nia sudah beranjak remaja dan beberapa tahun lagi akan dewasa. Dia tersenyum membayangkannya.
“Bang Man yang anterin tapi ya?!” tanya Nia membuyarkan lamunan Herman.
Herman mengerjap, “Iya lah. Bang Man yang anterin, sekalian mau liat ada cewe yang bening gak di sekolahmu.”
“Tuh otak gak jauh-jauh sama cewe” dengusnya.
“Cowo, Ni. Pantes. Dari pada di otak Bang Man adanya cowo gimana? Lebih serem kan?.”
***
“Niaa” panggil Herman dari pintu depan.
“Bentaar, lagi pake sepatu!” sahutnya yang juga berteriak.
Lima menit kemudian, Nia datang dengan mencangklong tas hijaunya. Rok abu-abu panjang menjuntai hingga menutupi mata kaki dan kemeja putih berlengan pendek yang sedikit kebesaran melekat di tubuhnya.
“Kita berangkat dulu Oma” pamit Nia mencium kedua pipi Omanya yang tengah menyirami tanaman.
Mereka sampai di depan gerbang sekolah yang masih terbuka lebar. Nia belum turun dari mobilnya, karena dia sedang fokus mendengarkan 1001 petuah dari sang kakak.
“Udah Bang?.”
“Satu lagi” jawab Herman.
“Apa?.”
“Kalo punya temen yang ben, “Bencong. Bang Man demen ama yang begituan? Astaga, nyebut Bang, nyebut!” Nia histeris.
Herman menjengguk kepala Nia, “Gua normal, Shania” geramnya.
Nia terpingkal sambil memegangi perutnya. Nia mengelap air matanya, “Udah ah, cape banget. Bang Man masih pagi udah ngelawak.”
Herman mendengus, “Pale Luh.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Becomes To Us
RomanceSemoga suka?? Becomes to us. Nia berharap akan menjadi seperti itu pada akhirnya. Di akhir penantiannya yang lama hidup pada sebuah kenyataan mereka akan bersatu. Namun harusnya dia tahu, setiap waktu yang berlalu semuanya tidak lagi sama. Tuhan men...