8. Janji Dan Harapan (A)

735 57 6
                                    

Syafiq berjalan menghampiri Diva di ruang tamu. Istrinya itu tengah duduk sambil menghafal dengan Al-Qur'an berada di tangannya.

"Udah selesai?"

Diva menoleh lantas mengangguk.

"Mau berapa ayat hari ini?"

"Tujuh." Jemari mungilnya membentuk angka. "Mulai ya."

Baru Diva akan membuka mulut, Syafiq buru-buru menyela.

"Sebentar."

Diva menyerit. "Kenapa?"

Syafiq menghela napas lalu mengambil alih Al-Qur'an di tangan Diva dan menyimpannya di meja. "Sebelumnya aku mau tanya. Tapi kamu jawab jujur."

Diva mengangguk sebagai jawaban.

"Selama ini ... kamu hafalan Qur'an, sholat malam, puasa sunnah. Itu karna apa? Apa kamu terpaksa? Terpaksa karna aku juga ngelakuin itu jadi kamu ngerasa harus ngelakuin juga?"

Jeda sebelum menjawab, Diva balas menatap Syafiq dengan serius. "Kenapa Kak Syafiq mikir gitu? Apa Diva keliatan terpaksa?"

"Untuk kali ini. Jangan jawab pertanyaan aku sama pertanyaan."

"Diva nggak terpaksa, sama sekali enggak." Diva menjawab dengan mantap. "Diva menghafal Qur'an, sholat malam, puasa sunnah. Itu semua buat Diva sendiri. Bukan buat Kak Syafiq, Mama atau Papa. Jad kenapa Diva harus terpaksa?"

"Semua yang Diva lakuin sekarang ini," lanjut Diva. "Diva nggak pernah merasa terpaksa."

Kecuali pernikahan kita Diva melanjutkan dalam hati.

"Alhamdulillah," Syafiq menghela napas lega. "Diva, kalau kamu melakukan semua ini karna Allah ... InsyaAllah, kamu pasti bisa ngerasain manfaatnya."

Syafiq tersenyum. "Yang penting kamu ikhlas."

Diva terdiam.

"Nah," Qur'an di meja kembali Syafiq ambil. "Ayo, mulai hafalannya."

Namun Diva tak kunjung menjawab.

"Kenapa?"

Raut wajah Diva terlihat kesal. Ia mengepalkan tangan lalu mencubit bahu Syafiq. "Gara-gara Kak Syafiq nanya kaya gitu hafalan Diva jadi buyar tau!"

Syafiq tak menjawab, ia hanya tertawa geli. Bahkan cubitan Diva di bahunya tak terasa sakit sama sekali.

"Ish! Sana Kak Syafiq pergi dulu. Nanti kalau Diva udah hafal Diva panggil."

***

Berminggu-minggu telah Diva lewati dengan tak sabar. Hari ini akhirnya ia bisa bertemu dengan teman-temannya. Teman yang selalu Diva harapkan ingin bertemu dengan mereka.

Ponsel Diva berdering, nama Disti terpampang jelas dan membuat kedua bola mata cokelat itu berbinar.

"Halo, assalamualaikum."

[Waalaikumussalam. Aduh, gimana sih nih orang Bogor. Masa jam segini belum datang. Kalah sama yang dari kalimantan.]

Diva tertawa geli. "Acaranya kan mulai jam 12 kamunya aja yang terlalu rajin datang pagi-pagi. Woo."

Terdengar suara tawa. [Kamu lagi dimana? Kesini sama siapa?]

"Dijalan." Diva menoleh pada Syafiq yang masih fokus menyetir. "Aku kesana dianter suami aku."

[Eum ciee suami.]

Diva tertawa. "Tunggu ya, nggak lama lagi aku datang. Disana udah ada siapa?"

Kamu akan menyukai ini

          

[Engg ... ada aku, Rian, Kak Rifa, Kak Dimas, Kak Alfi. Baru segitu sih.]

"Aku nggak sabar mau ketemu kalian."

[Aku juga. Aku tunggunya, hati-hati. Jaa.]

"Uhm," Diva mengangguk. "Jaa."

Telepon ditutup, Diva memeluk ponselnya erat-erat.

"Temen kamu?"

Diva mengangguk keras. "Iya. Yuchi yang suka aku ceritain itu lho Kak. Kak Syafiq inget kan?"

"Inget. Yang kamu panggilnya Yuchi, karna nama asli dia Ayu. Dan dia minta kamu manggil dia Yuu, tapi kamu nggak mau karna itu kependekan. Akhirnya kamu tambahin akhiran Chi di belakangnya biar kaya Kise Ryouta di anime Kurobas. Meskipun sebenernya Kise pakai 2 huruf C, tapi kamu bilang ribet ngetiknya. Akhirnya nama panggilan dia Yuchi."

Diva berdecak kagum. "Kak Syafiq punya ingatan yang kuat."

"Oh iya, Kak."

"Hm?"

"Kak Syafiq yakin nggak mau ikut? Nanti di rumah Kak Syafiq makan apa?"

Syafiq tersenyum, rasanya begitu nyaman saat diperhatikan oleh istri kecilnya. "Aku bisa masak telor ceplok kok."

Diva merengut. "Kalau selama 2 hari Kak Syafiq makan telor terus, bisa-bisa pas Diva pulang Kak Syafiq udah bisulan."

"Nggak lah, Diva." Tawa Syafiq semakin keras. Satu tangannya menepuk kepala Diva. "Kamu ini."

***

Villa besar di tengah kebun teh kini mulai dipenuhi oleh kendaraan.

"Tuh! Orang Bogornya datang."

Saat Diva keluar dari mobil, ia langsung dihadiahi pelukan oleh seorang perempuan berambut panjang dan postur tubuh tinggi.

"Yuchi!" Tanpa sungkan, Diva membalas pelukan Disti dengan erat, sangat erat.

"Diva, Aiuko!"

"Mega!" Ikut memeluk, Mega tersenyum ditengah dekapan eratnya.

"Kalian cantik banget." Diva tak dapat menahan haru. Bertemu langsung dengan teman-temannya bagaikan sebuah mimpi yang menjadi nyata. Teman yang hanya bertemu via sosial media, kini ada di hadapannya.

"Kamu juga cantik banget." Disti balas memuji sambil mencubit pipi Diva.

"Oh iya," hampir lupa, Diva menoleh pada Syafiq. "Ini suami aku, Kak Syafiq."

Disti tersenyum lalu mengulurkan tangan. "Ayu."

Namun Syafiq hanya menautkan kedua telapak tangannya, sambil tersenyum.

"Ah," Disti mengerti. Syafiq tak ingin bersentuhan. Ia langsung menarik kembali tangannya. "Sorry."

Syafiq mengangguk. "Nggak masalah."

Tak lama, seorang laki-laki datang menghampiri. "Masuk dulu."

Mega tersenyum. "Nah Diva. Coba tebak ini siapa?"

Diva tertawa kecil. "Kak Alfi, ya?"

"Right." Alfi tersenyum. Ia melirik Syafiq lalu mengulurkan tangan. "Alfi."

Choose Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang