Udara pagi terasa sangat segar hari ini. Aku duduk di sebuah taman rumah sakit sambil merasakan udara yang menerpa wajahku. Kakiku yang terbalut dengan flatshoes hitam bergesekkan pada tanah untuk mengisi kesepianku. Tanganmu masuk ke dalam saku pakaian susterku. Bibirku bersenandung sebuah lagu lama yang pernah aku dengar beberapa tahun silam.
Mataku menatap anak kecil yang berjarak tidak jauh dari tempatku. Ia sedang duduk di sebuah kursi roda sambil belajar menghafalkan sebuah lagu anak-anak bersama dengan susternya. Aku tersenyum melihatnya. Dia sangat lucu sekali dengan rambut pendek dan jepit rambut berwarna biru muda di sisi kanan atas kepalanya. Matanya bulat lucu dengan bibir mungil yang makin membuat dirinya tampak menarik perhatian. Andai saja aku bisa memiliki anak. Pasti akan selucu itu jika aku menikah dengan, ehm... Apa aku harus menyebut namanya juga?
Park Chanyeol!
Dia akhirnya datang. Aku segera berdiri dari dudukku. Mataku memandang dirinya yang tampak turun dari mobil hitam mengkilap. Bibirku tertarik semakin lebar saat melihat Chanyeol yang tampak sangat tampan seperti hari-hari sebelumnya. Ah, tidak-tidak. Dia semakin tambah tampan setiap harinya. Dengan rambut hitam yang tersisir rapi, pahatan wajahnya yang terbetuk sangat sempurna dengan bibir seksi merah mudanya, serta bentuk tubuh yang sangat wanita idamkan. Tidak heran banyak para pekerja rumah sakit yang sangat menyukainya--termasuk aku. Ya, aku menyukainya, sejak saat pertama kali kami bertemu.
Saat itu--pertama kali aku bertemu dengannya--aku sedang berjalan menyusuri koridor sambil membawa beberapa dokumen pasien di tanganku. Mataku memandang ke depan sambil bersenandung sebuah lagu yang saat itu sangat aku sukai. Tidak sengaja, pada tikungan yang akan aku lewati, Chanyeol muncul dengan wajah dinginnya. Aku menoleh padanya yang saat itu adalah seorang dokter baru di rumah sakit tempat aku bekerja. Mataku melirik pada nametag-nya yang bertuliskan 'Park Chanyeol'.
Aku berusaha menarik bibirku sebagai salam padanya. Namun, dia sepertinya tidak berniat untuk melirikku sama sekali. Bibirku perlahan menyurut bersamaan dengan rasa malu yang hinggap di dadaku saat itu. Langkahku mulai memelan saat Chanyeol sudah berjalan melewatiku. Kepalaku perlahan menoleh dan melihat punggung lebarnya yang semakin lama semakin menjauh. Dia terlihat sangat jauh dan sulit untuk digapai. Entah bagaimana awalnya, aku merasa menyukainya. Meskipun dia, tidak akan pernah tahu siapa aku.
Aku, Shin Ji Tak. Wanita malang yang menyukai dokter bernama Park Chanyeol. Tapi, tidak sekalipun si pria mengetahuiku.
Kembali lagi pada waktu sekarang. Aku segera melangkahkan kakiku dengan larian kecil menyusul Chanyeol yang saat ini tengah berjalan memasuki lobby rumah sakit. Setelah mendekatinya, aku berjalan di sampingnya sambil tersenyum kecil. Mataku melirik ke arahnya yang masih tampak diam dengan tangannya yang masuk ke dalam saku. Tinggiku yang hanya sebatas bahunya membuatku harus mendongak hanya untuk melihat wajah tampannya. Seperti biasa, ia selalu membutakan diri padaku. Ia tidak sekalipun ingin melihat wajahku yang selalu aku usahakan tampil cantik di depannya.
"Dokter Park," panggilku padanya. Mataku kembali memandang ke depan karena takut jika menabrak orang di depanku.
Dia tidak menjawab. Pria itu selalu saja meresponmu dengan menulikan diri. Matanya memandang pada suatu arah yang menampilkan dokter perempuan berusia lebih dariku. Aku mendapati Chanyeol yang saat ini tersenyum lebar padanya sambil sedikit membungkukkan diri padanya. Aku mengerucutkan bibir kesal dan menatap wanita itu penuh kebencian. Chanyeol mengeluarkan tangannya yang tadi masuk ke dalam saku, dan ia segera melambaikan tangannya dengan riang pada dokter itu.
Aku menundukkan kepala sambil menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di mataku. Pandanganku meneliti pada pakaian lusuh susterku saat ini. Ada beberapa bercak kotoran di sana. Sadarlah, aku hanyalah seorang suster yang sangat tidak pantas jika bersanding dengan seorang dokter seperti Park Chanyeol. Jika dibandingkan dengan dokter wanita yang disapa oleh Chanyeol, aku bukanlah apa-apa. Hanya segelintir kotoran kuku yang sangat menjijikkan.
Kepalaku kembali terangkat, bersamaan dengan tanganku yang mengusap mataku. Tidak apa-apa. Ini ujian untuk hatiku. Aku harus lebih kuat untuk menghadapi segala cobaan ini. Aku masih berjalan beriringan dengan Chanyeol. Mataku memandang pada Chanyeol lagi dan pria itu masih tidak mau melihatku juga.
"Chanyeol-ah," panggilku lagi. "Kapan kau mengerti bahwa aku sangat menyukaimu?" tanyaku, yang tentu saja tidak akan ia tanggapi.
Aku menghela nafas. Langkahku berubah memelan dan berjalan di belakangnya dengan tatapan kecewa. Pria itu segera masuk ke dalam ruangannya.
Braakkk!!! Pintu tertutup tepat di depan mukaku dan sukses membuatku terkejut. Aku mengelus dadaku dengan lembut sambil menahan air mataku yang lagi-lagi ingin menetes. Aku menyandarkan dahiku tepat di pintu, namun belum sampai tersentuh aku dibuat terjatuh. Aku melupakan bahwa aku tidak bisa melakukan ini. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kakiku mulai melangkah memasuki ruangan Chanyeol dengan hati-hati. Takut jika ia merasa terganggu oleh kedatanganku. Tapi, Chanyeol tetaplah Chanyeol, ia tidak akan sadar bahwa aku ada.
Dia tampak sibuk dengan layar komputernya saat ini. Tangannya mengeklik mouse, tatapannya terlihat sangat ragu. Chanyeol menghembuskan nafasnya kasar lalu mengusap wajahnya. Ia menyandarkan punggungnya pada kursi sambil menatap layar monitor dengan perasaan kacau yang terbaca pada mataku saat ini.
"Ada apa?" tanyaku, yang duduk di depan mejanya sambil menatapnya penasaran.
Lagi-lagi dia tidak menanggapi. Aku menghela nafas sambil memandang ke bawah. Tanganku bergerak melilit pakaian lusuhku sambil sesekali melirik ke arahnya.
"Kau selalu saja begitu," lirihku.
Hari berganti dengan cepat. Keadaan tidak berubah. Aku tetaplah orang yang selalu tidak dianggap oleh orang yang aku sukai. Tapi, setiap hari aku tidak putus asa. Aku selalu mengajak Chanyeol mengobrol walau ia selalu mendadak tuli. Hatiku selalu sakit setiap hari diperlakukan seperti itu. Tapi siapa yang peduli. Aku hanya bisa menahan rasa sakitku sendiri.
Sekarang, aku sedang duduk di sofa ruangan Dokter Park sambil menunggunya yang saat ini sedang memeriksa pasien. Kakiku aku letakkan di atas meja sambil mataku membaca lembaran koran yang memberitakan tentang kecelakaan pesawat yang terjadi dua hari lalu. Aku membacanya dengan hati yang terasa sesak tiba-tiba. Aku pernah merasakan hal ini. Tidak terasa air mataku mulai menurun jika mengingat hal itu.
Suara pintu terbuka membuatku menoleh dengan cepat. Chanyeol terlihat masuk dengan wajah sumringah. Dahiku mengerut bingung melihatnya yang sekarang tampak senyum-senyum sendiri di atas kursi. Aku yang penasaran mulai berdiri dan mendekatinya. Tanganku melambai di depan mukanya berharap ia menatapku tapi ia tidak akan melakukan itu.
"Ada apa denganmu?" tanyaku.
Chanyeol kini sibuk dengan ponsel di tangannya. Aku memperhatikannya yang saat ini tersenyum kecil. Lalu berubah menjadi tawa lebar saat ia mendapat sebuah pesan masuk. Aku ikut terkekeh melihatnya bahagia seperti sekarang ini. Kepalaku melongok untuk melihat apa yang sedang dibacanya pada ponselnya. Tapi belum sedetik aku melihat, layar ponselnya sudah ia matikan dan ia letakkan di atas meja. Aku mendesah kecewa. Namun, aku sempat melihat sebuah gambar stiker pada room chat-nya. Stiker tentang cinta yang sungguh saat ini membuat perasaanku gelisah.
Dan benar saja. Kegundahaanku dijawab saat seorang wanita berpakaian dokter--yang aku lihat lusa kemarin--datang sambil tersenyum penuh arti pada Chanyeol. Kulihat mata Chanyeol yang berbinar senang. Aku hampir saja terjengkang ke belakang kalau saja kakiku tidak cepat menahan saat Chanyeol melewatiku hingga menabrakku. Ia tidak berkata maaf atau apa. Pria itu menarik dokter wanita itu untuk duduk di sofa ruangannya.
Aku melihatnya dengan mata yang sudah dibasahi oleh air mata. Tanganku mencengkram kain bajuku dengan hati yang memanas. Kulihat, Chanyeol tampak bahagia menceritakan sesuatu pada kekasih barunya--karena kudengar, mereka saling memanggil dengan panggilan sayang. Aku melangkahkan kakiku dengan pelan sambil menatap Chanyeol kecewa.
Chanyeol bergerak menyelipkan rambut kekasihnya ke belakang. Tangannya mengelus pipi lembut perempuan di depannya. Perlahan, kepalanya mulai mendekat dan mengecup lembut bibir kekasihnya.
Aku melihat semua itu dengan jelas. Jujur saja, rasanya sangat sakit sekali. Selama ini, aku menyukainya dan berusaha membuat Chanyeol sadar akan kehadiranku. Tapi, Chanyeol tetaplah membutakan dan menulikan diri untukku. Kakiku perlahan berjalan keluar ruangan menembus pintu dengan perasaan hancur.
Aku selalu saja melupakan fakta. Bahwa diriku, hanyalah seorang hantu.