Hujan yang menjebak mengejeknya. Kalau hujan bisa bicara, maka dia tengah meneriakkan fakta bahwa tak seharusnya Yoo Seonho marah pada Guanlin-hyung.
Di hadapannya berseliweran kendaraan-kendaraan. Beraneka ragamnya, namun tak satu pun merupakan jemputan pribadinya.
Ia menggigit bibir, tidak mau sampai-sampai bibirnya bergetar karena terlalu kedinginan. Badan ia dempet-dempetkan ke dinding gedung di belakangnya. Tetap saja air menciprati bagian kulit tulang keringnya.
Gedung di belakang bukannya tak bisa ia masuki. Toh, itu gedung agensinya. Bukan hal sulit untuk sekadar duduk-duduk di dalam. Tapi, gedung agensi di belakang punggungnya itu membuatnya gugup. Tadi ia keluar dari dalam, dan ia tidak mau masuk kembali. Sumpah. Ketika tadi ia tergesa-gesa mengambil tas dari ruang latihan, ia tidak memikirkan apakah di luar hujan atau tidak. Yang ia pikirkan hanya ia ingin hilang dari hadapan Lai Guanlin.
Bunyi detap langkah kaki terdengar. Kepalanya sedikit menegak lantaran terkejut, tapi perlahan ia tundukkan kembali, berusaha keras agar tak terlihat menyadari keberadaan suara langkah tersebut.
Bukan, itu bukan langkah kaki Guanlin-hyung. Bukan kok. Bukan, bukan.
"Seonho."
...yak. Itu Guanlin-hyung.
Bunyi langkah kaki kanan dan kirinya bersahut-sahutan dalam tempo lambat. Dia menuruni anak-anak tangga satu demi satu. Tak ada sedikitpun kesan terburu-buru, seolah tahu bahwa yang dipanggilnya tidak akan kemana-mana.
Memangnya di cuaca hujan begini mau ke mana sih Seonho? Ia cuma anak manja yang tidak bisa apa-apa selain mepet-mepet tembok, berusaha menghindari cipratan air hujan. Ia boleh kekanakan, tapi ia tidak segegabah itu untuk berani menerjang derasnya hujan.
Tentu saja Guanlin-hyung tahu hal sesepele itu. Sudah beberapa bulan terakhir ini mereka menghabiskan banyak waktu bersama. Entah itu latihan, berdiskusi tentang musik, atau sesepele berbagi kisah mengenai hari masing-masing. Hari ini mungkin salah satu dari hari sepele tersebut, namun tidak berakhir dengan baik.
Bunyi langkah terhenti. Tebakannya, Guanlin-hyung berhenti di anak tangga ketiga dari bawah. "Seonho-ya."
Yoo Seonho menarik napas dalam. Ia memeluk badan, mengelus sepasang sikunya dengan kedua telapak tangannya. Kepalanya kaku. Persendian di leher menolak untuk berputar barang satu mili pun. Tidak ada cerita bahwa ia akan menggubris panggilan tersebut. Bukan karena tidak sopan terhadap yang lebih tua, melainkan karena alkisah alias ceritanya ia tidak dengar.
Muncul suara hembus napas pendek.
Guanlin-hyung kecewa?
"Tunggu di dalam aja. Nanti lo sakit."
Ia juga maunya tunggu di dalam. Tapi kalau harus sama-sama dengan Guanlin-hyung, malu juga. Ia sudah terlanjur marah. Tadi memang tidak ada kenaikan dalam nada suaranya, tapi tetap saja ia sempat pasang wajah gusar. Banget. Ia malu dan di saat seperti ini 'minta maaf' lenyap total dari kamusnya, hu. Terlalu manja kah, ia? ...iya ya, sepertinya.
Bunyi langkah yang tadi sempat terhenti, tersambung lagi.
Tap, tap.
Lalu berubah menjadi detap bercampur suara percik air.
Seonho tidak kabur. Tidak ada gunanya. Selain kecepatan berlarinya lebih lambat, orang yang menjemputnya akan kerepotan kalau mesti menjemput di tempat lain selain di depan gedung CUBE. Ia tidak suka merepotkan orang lain. Belum lagi kalau lari ia bakalan kehujanan.
Lagipula, alasan marahnya tadi benar-benar sepele. Bisa dimaklumi. Ia cuma tidak mau masuk karena malu lantaran sempat sampai marah. Jadi ya, biarkan saja Guanlin-hyung menghampirinya. Biarkan saja dia membujuk supaya Seonho masuk. Ia juga aslinya ingin masuk. Cuma malu. Ya gitu deh.
KAMU SEDANG MEMBACA
FIRSTS; guanho
FanfictionBanyak kali-kali pertama yang Yoo Seonho alami bersama Lai Guanlin dan tidak sekalipun pernah ia menyangka. || [2/?] || Cover picture credit to @luckylai7 on Twitter.