[18] Closer

6.1K 499 26
                                    

SETELAH melihat pemandangan malam yang memang jarang sekali Violin lihat secara nyata dan jelas seperti kemarin malam, Vallen dan Violin baru pulang ke Villa pada pukul satu dini hari. Alasannya? Banyak, ribet menjelaskannya jika harus secara detail.

Yang pasti selama satu jam penuh, mereka duduk dan mengobrol mengenai apapun di rooftop. Dan dari obrolan tersebut, Violin jadi mengetahui banyak hal penting, salah satunya adalah hubungan Sani dan Miranda yang ternyata sudah menginjak waktu selama tiga bulan. Kata Vallen, mereka jadian sewaktu perpisahan murid kelas dua belas, yang berarti pas saat mereka semua kenaikan kelas.

Violin juga bercerita banyak hal kepada Vallen, dan Vallen mendengarkannya dengan baik, walaupun Vallen berkali-kali berdecak kesal karena harus janji kelingking setiap ada rahasia yang ingin Violin bagikan ke Vallen.

Matahari tak menampakkan batang hidung, tertutup oleh kabut-kabut di udara, kalah saing. Pagi-pagi sekali tadi, semua murid dan guru mengunjungi kuburan Bu Arini. Sebagian besar anak perempuan menangis, termasuk Violin. Tapi dia tak menangis dengan alay seperti murid perempuan kebanyakan, Violin hanya menangis dalam diam di balik selendang hitamnya.

Karena setelah tahun baru memang diberikan waktu libur selama seminggu, maka Pak Oki memutuskan bahwa waktu pulang mereka tak harus terkesan tergesa-gesa. Mungkin mereka bisa menikmati dulu waktunya di Pangalengan, mumpung suasana di sini sangat bagus dan membuat setiap orang betah.

Baru saja Violin ingin keluar memetik satu atau dua buah stroberi-yang sudah diperbolehkan Pak Haris untuk dipetik-tiba-tiba dia disambut dengan obrolan random milik Vallen dan Clara, bayi mungil milik Bu Nuri, yang baru tadi malam Violin ketahui dari cerita Vallen, bahwa wanita berusia dua puluh sembilan tahun tersebut merupakan adik kandung dari Papa Vallen.

Ah bukan bayi juga, sih. Umurnya dua tahun, dan Clara baru bisa mengucapkan kata mama dan papa.

"Eh, elo...." Vallen berdeham kecil, kemudian bergeser sedikit, seakan menyiratkan secara tak lisan agar Violin duduk di sebelahnya, di depan baby walker milik Clara.

Tanpa dikode dua kali, Violin segera melangkahkan kakinya, duduk bersimpuh di depan Clara yang masih tersenyum senang ke arah Vallen, yang notabenenya sebagai Paman Clara.

"Ini namanya Tante Violin ya, Clar...," ujar Vallen menahan tawa, membuat Violin sontak melotot galak ke arah Vallen yang masih mengulum senyumnya agar tak kelepasan untuk tertawa. Jika saja tak di depan anak kecil yang manis ini, dia pasti sudah menabok Vallen habis-habisan.

"Emang gue sama kayak lo yang udah jadi om-om?" tanya Violin menyeringai, juga dibalas dengan seringai oleh Vallen.

"Ya iyalah, kalau kita nikah besok."

Violin melebarkan matanya, kaget, blush, bercampur kesal dengan ucapan Vallen yang ngasal. Tangan kanannya mulai memukul tubuh Vallen, dan lelaki itu hanya bisa meringis kesakitan-meski masih tertawa. "Jijay."

"Gue lebih jijay."

Clara yang sedaritadi hanya bisa menonton, lantas melebarkan kedua tangannya, mengode agar Vallen memeluknya seperti sebelum Violin datang di antara mereka. Vallen yang mengerti dengan kode Clara-karena dia sudah terbiasa mendapat kode tai dari fans alaynya-pun segera menyambar gadis kecil tersebut dengan pelukan hangat.

"Clara mau pegang tangan Abang?" tanya Vallen menyodorkan tangan kanannya, langsung digenggam erat oleh Clara yang tersenyum menampakkan gigi kelincinya, pas terletak di depan.

"Kok Abang, sih? Kan Om!" sambar Violin, mendapat delikan tajam dari Vallen.

"Ya Abang, lah. Umur gue kan masih enam belas," balas Vallen memutar kedua bola matanya kesal, hanya direspon dengan gelak tawa oleh Violin.

Mr. Ice Cream; The Rainy Season Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang