"Adek seneng kan liat Abang begini?" singgung Aaron setelah melihat Ebeth berdiri di ambang pintu ruang keluarga.
Terang saja Ebeth merasa senang mempunyai kesempatan untuk mengerjai kedua makhluk yang selalu mengganggunya itu tapi lagi-lagi hatinya mengkhianati. Ebeth tidak tega. Ebeth hanya menggelengkan kepalanya dan menunduk dalam. Ebeth kan perasa orangnya.
Aaron dan Ewaldo kini menyeringai.
"Adek mau sampai kapan berdiri disana?" tanya Aaron lagi.
Ebeth memberanikan dirinya untuk melihat ke arah Aaron yang masih menatapnya intens.
"Adek mau bantu Abang?" tanya Aaron sambil menaikkan satu alisnya, Ebeth hanya mengangguk pasrah. Aaron memberi isyarat kepada Ebeth untuk mendekat ke arahnya.
"Tolong kamu ambil balon-balonnya dek!"
Ebeth menengadah ke atap melihat balon-balon yang berterbangan tidak beraturan disetiap sisi ruangan, lama ia berpikir untuk mencerna perintah Abangnya.
"Abang tidak lihat? itu kan tinggi banget." Aaron mengacuhkan Ebeth sembari melanjutkan acara sapu meyapunya.
Ebeth masih asik menatap ke atas melihat balon-balon itu. Percuma ia naik ke atas sofa sama sekali tidak membantu melihat tinggi badannya yang hanya seperti anak berumur 12 tahun.
Ewaldo yang sedari tadi telah menyelesaikan tugasnya kini sedang duduk di sofa memainkan ponselnya hanya untuk sekedar membalas pesan dan mengecek emailnya. Sesekali ia melirik ke arah Ebeth yang masih stay dengan posisinya berdiri menatap atap-atap rumah. Ia hanya tersenyum samar melihat tingkah bocah itu. Aaron mengikuti jejak Ewaldo duduk santai sambil menyandarkan tubuhnya ke kepala sofa.
Ia juga memperhatikan si kecil -Ebeth- yang berdiri tepat dihadapannya, Aaron menyeringai ke arah Ewaldo begitupun sebaliknya, kini Ewaldo sudah berdiri dari duduknya. Ebeth mengikik kaget karena tindakan Abangnya yang tiba-tiba, Aaron mengangkat tubuh kecilnya dari belakang dan menaikkannya di atas bahu kokoh Ewaldo. Ia menarik kencang rambut Ewaldo agar tidak jatuh.
"Jangan banyak gerak Beth." ucap Ewaldo menenangkan Ebeth yang masih gelisah di atas bahunya dan tarikan Ebeth di rambutnya makin kencang. Ewaldo hanya menghembuskan napasnya melihat tingkah Ebeth, anak itu panikan. Ewaldo memegang paha Ebeth dan menepuk-nepukya Ebeth menegang dan berhenti bergerak, sentuhan Ewaldo begitu nyaman membuatnya merasa aman.
"Coba kamu ambil balonnya Beth." suara Ewaldo lembut masih memegang pahanya. Ebeth calm dan patuh. Satu tangannya masih memegang rambut Ewaldo satu tangannya lagi berusaha mencapai balon-balon diatas sana. Aaron hanya tersenyum melihat Adik kesayangannya itu.
"Ehh Adek, awas jatuh loh!" seru Monic keluar dari dapur sambil membawa cemilan di tangannya dan duduk di samping Aaron.
Tangan mungil Ebeth kini sudah penuh dengan tali-tali balon, Ebeth tersenyum bahagia karena telah berhasil memungut balon-balon itu, dan bersorak-sorak tidak jelas di atas bahu kokoh Ewaldo.
"Dasar bocah!" desis Ewaldo.
"Apa kamu bilang?" marah Ebeth "Bang sini bang pegangin balon Adek, cepeten!" perintah Ebeth yang langsung dituruti oleh Aaron. Ebeth menjambak rambut Ewaldo tanpa ampun membuat Ewaldo mengerang kesakitan.
"Eh..eh.. Adek awas jatuh!" pekik Monic.
Ebeth mengacuhkan Teriakan Monic ia terus menarik rambut Ewaldo membuat kepala Ewaldo terluntang-lanting ke kiri dan ke kanan tapi ia tetap berusaha menjaga keseimbangannya agar tidak jatuh.
Ewaldo dengan cekatan menurunkan tubuh Ebeth dari bahunya dan membawa tubuh mungilnya ke depan layaknya menggendong anak bayi membuat Ebeth melepaskan tarikannya di rambut Ewaldo.
YOU ARE READING
I Wouldn't Mind With Your Shadow
Teen FictionEbeth Shamus seorang bocah kecil super manja berumur 16 tahun. Perawakannya yang polos dan menggemaskan membuat orang-orang di sekelilingnya dengan mudah jatuh hati padanya. Tidak ada yang bisa menolak pesonanya. Ebeth terlalu menarik perhatian oran...