Dua Puluh Tiga-Kening

2.4K 228 10
                                    

Saat Cikko masuk ke apartemen, ia melihat Mora duduk di sofa sambil bermain ponsel. Wajah Mora terangkat saat ia menutup pintu cukup kencang.

"Kak Cikko. Kakak sudah datang!" Mora meletakkan ponselnya kemudian berjalan menghampiri Cikko.

Cikko melihat Mora yang tersenyum ceria. Tidak seperti kemarin saat Mora mendiamkannya. Kemudian Cikko ingat kejadian di restoran tadi. Apa setelah bertemu dengan lelaki itu, Mora jadi ceria seperti ini?

"Kakak mau dibuatkan apa? Kopi? Atau teh ?" tawar Mora.

"Buatkan jus jambu."

Mora mengernyit. "Oke, Kak. Mora buatkan." Mora berbalik lalu berjalan ke dapur.

Kenapa sih Mora terlihat sangat ceria? Cikko yakin pasti gara-gara lelaki yang mencium Mora tadi.

"Mora kasih es yang banyak!" Cikko kemudian masuk kamar. Ia membanting pintu lalu berbaring di ranjang. Matanya menerawang langit-langit kamar. Ada apa dengannya? Kenapa ia tidak suka Mora dekat dengan lelaki lain?

***

"Kak. Aku boleh nggak kalau siang ini di apartemen kakak?"

Cikko menghentikan suapannya, menatap Mora sambil mengernyit. "Memang kamu nggak kuliah?"

Mora memutar bola matanya malas. Lelaki di depannya masih saja menganggapnya masih kuliah. Mentang-mentang tubuhnya kecil jadi terlihat seperti gadis kuliah. "Kak. Aku sudah dua puluh lima tahun, ya."

Mendengar angka itu membuat Cikko tersedak. Ia menepuk dada yang terasa sakit karena tersedak tempe goreng. Cikko mengambil segelas air putih lalu menegakknya hingga tandas. Punggungnya lalu terasa diusap oleh tangan kecil. Cikko mendongak, melihat Mora berdiri di sebelahnya.

"Kakak. Hati-hati dong kalau makan. Udah baikan?" tanya Mora sambil mengusap punggung Cikko.

Cikko menelan ludah. Tapi usapan di punggungnya cukup menghilangkan rasa sakit itu. "Sudah nggak apa-apa, Mora."

Mora kembali ke posisinya.

Cikko menatap Mora intens. Ia masih tidak yakin dengan ucapan Mora. Tubuh dan wajah Mora terlihat seperti gadis kuliahan. Sekali lagi Cikko menatap Mora intens, meyakinkan dirinya sendiri.

Pipi Mora merona karena ditatap seperti itu. Ia mengambil gelas dan pura-pura minum. Sesekali ia melirik Cikko yang masih menatapnya itu. Mora meletakkan gelas kemudian menundukkan wajah. "Kakak. Kenapa natap seperti itu?"

Cikko tergagap melihat Mora yang menunduk malu itu. "Bener kamu umur dua puluh lima tahun?"

Mora mengangkat wajah. Apa Cikko masih belum percaya? Tapi jika dipikir-pikir biarlah Cikko menganggapnya masih anak kecil. Gue awet muda.

"Udahlah, Kak. Nggak usah dibahas masalah umur." Mora kembali melanjutkan sarapannya. Saat satu suapan sudah masuk ke mulutnya ia teringat sesuatu. Ia kembali menatap Cikko penuh tanya. "Ngomong-ngomong umur kakak berapa?"

Cikko mendongak. Baru beberapa menit gadis di depannya melarang membahas umur justru sekarang bertanya seperti itu. "Sudahlah nggak usah dibahas masalah umur." Cikko menirukan jawaban Mora.

Mora mengaduk-aduk makanan di depannya dengan malu. Cikko pintar sekali memutar balikkan kalimat. Ia mengambil segelas air putih, meminumnya hingga tandas dan mengakhiri sarapannya.

Mora berdiri, mengambil piring dan gelas kotor lalu meletakkan di tempat cucian piring. Ia mulai membilas piring dan gelas kotor itu. Setelah selesai, Mora berbalik. Ia menangkap basah Cikko sedang menatapnya. Mora tersenyum lembut.

Cikko mengalihkan pandangan saat tertangkap basah sedang menatap Mora. Cikko menggaruk tengkuk, berdiri dan berjalan meninggalkan dapur.

Mora melihat punggung Cikko yang menjauh lalu berlari mengejar. "Kak Cikko tunggu!"

Cikko menghentikan langkah. Ia menoleh dan melihat Mora berdiri dua langkah di belakangnya.

"Mora boleh kan di apartemen Kak Cikko?" tanya Mora meminta izin.

Cikko menarik napas panjang. Jadi Mora memanggilnya hanya untuk itu? Ia kira Mora akan bertindak lain.

"Boleh Mora. Tapi ingat nggak boleh nyuri, nggak boleh gledah-gledah. Nggak sopan."

Bibir Mora mengerucut. Ia seperti anak kecil yang akan di tinggal pergi. Ia jelas tahu apa yang boleh ia lakukan dan tidak. Apalagi apartemen milik orang lain. "Iya, Kak. Mora ngerti." jawabnya setengah hati.

Cikko maju selangkah lalu mengacak-acak rambut Mora gemas. Kehadiran Mora membuat hidupnya sedikit berwarna. Kepolosan dan keceriaan Mora selalu membuat bibirnya tertarik ke atas. "Saya pergi dulu."

Mora masih setengah sadar. Ia sangat menikmati belaian tangan Cikko di rambutnya. Hah belaian? Padahal Cikko cuma mengacak rambut.

Ceklek....

Mendengar suara pintu terbuka, Mora langsung sadar. Ia melihat Cikko yang keluar apartemen dan hendak menutup pintu. Mora berlari, menahan pintu agar tidak tertutup.

"Ada apa lagi, Mora?" tanya Cikko bingung.

Mora menggeleng sambil menatap Cikko malu-malu. "Kakak hati-hati, ya."

Cikkobterkekeh melihat ekspresi Mora saat mengucapkan 'hati-hati' kepadanya. Ia menunduk, mencium kening Mora sekilas. "Iya, Mora. Saya pergi dulu." pamitnya kemudian melenggang pergi.

Tubuh Mora kaku. Waktu seakan berhenti. Mora masih belum percaya dengan apa yang menimpanya. Ia lalu menyentuh kening.

"Aaaa!Gue dicium Kak Cikko." Mora segera menutup pintu kemudian meloncat-loncat seperti kanguru.

How Can I Move On?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang