[kring..kring..kriing..]
Alarm jam beker berbunyi dan membangunkan Adnan dari lelapnya, tanpa terasa membuatnya bangkit dari kenyamanan ranjang dan kelembutan bantal-bantalnya.
Adnan mengetuk jam bekernya tak lama dari itu suara yang mengganggupun hilang.
Di lihatnya kedalam jam itu, ternyata jam beker menyapa lembut dan ramah menunjukan bahwa kini pukul 04:45.
Yang memang sengaja Adnan setel untuk membangunkannya.
Pandangannya masih meremang-remang menyadari suatu hal bahwa di jam segini seharusnya dia masih terlelap.
Sempat dia bertanya kepada dirinya sendiri bahwa mengapa ia bisa menyetel jam beker dan di jam yang tidak biasanya.
Namun Adnan tersadar ketika dia melihat kedalam layar ponselnya disana tidak terdapat notifikasi dari Nindya.
Ya.. Nindya telah menjauh dan pergi dalam kehidupannya ini mimpi buruk yang benar-benar terjadi.
"jadi.. Sudah berakhirkah? "
Adnan menggumam kesal kepada ponselnya yang padahal tidak bersalah.
Setelah menyadari hal itu Adnan menjangkau handuk yang menggantung di balik pintu kamarnya.
Dan berjalan menuju kamar mandi bergegas untuk pergi kesekolah. Sebelum dia masuk ke dalam kamar mandi
Dia melihat kedalam kulkas yang berada di dapur mengecek apa isinya, ternyata disana terdapat sekotak mangkuk makanan yang tertutup rapat.
Adnan mengambil makanan itu dan pergi kemeja makan menaruhnya disana.
"ternyata masih belum pulang ya.."
Adnan berbicara menatap makanan yang tertutup rapat dihadapannya dan berfikir bahwa dia benar-benar sendirian.
Bagaimana tidak, memang untuk saat ini ibunda Adnan sedang pergi keluar kota untuk menjenguk saudaranya yang sedang sakit.
Yang biasanya Adnan turun dari kamarnya dan setelah mandi hanya tinggal menyantap sarapan yang telah dihidangkan oleh ibunya
Namun kini Adnan harus melakukanya sendiri, seharusnya dia tetap bersyukur bahwa baju-baju kotornya dan kebersihan rumah di kerjakan oleh orang suruhan ibunya.
Tugasnya Adalah makan dan bersekolah dengan baik.
Untuk saat ini sebenarnya Adnan tidak menginginkan hal ini. Karena bukan hanya ditinggal ibunya Adnan harus menerima bahwa Nindya juga menjauh dan pergi darinya.
***
"Seandainya Ayah masih ada mungkin aku tahu bagaimana caranya menangani perasaan ini.."
-Adnan***
Adnan seakan tidak ingin berlarut-larut dalam lamunanya dia bergegas beranjak untuk mandi
Membersihkan tubuhnya dan rasa lukanya mungkin hari ini keadaan akan baik-baik saja.
Harapannya untuk hari ini setidaknya dia masih bisa melihat Nindya meski dari kejauhan namun untuk menyapanya mungkin itu yang sulit.
Dengan optimis dan harapannya itu Adnan mempercepat kedatanganya di sekolah mungkin dari hal ini dia bisa mencuri perhatian Nindya.
Kini Adnan sudah siap untuk pergi kesekolah namun ia lupa untuk menyantap sarapannya.
Yang dia taruh di atas meja makan, tak habis akal dia memasukan kotak yang berisi makanan itu kedalam tas punggungnya.
Berharap dia dapat memakannya bersama Nindya di sekolah. Adnan mempercepat langkahnya dan menaiki motor yang telah siap untuk di ajak jalan
[tin..tin..]
Tegur Adnan dengan motornya kepada pak satpam yang menjaga rumah. Memberi arti pamit.
Disepanjang jalan Adnan menggumam dan bertengkar pada dirinya sendiri.
Bahwa apa yang akan dia lakukan pertama kali setelah sampai di sekolah. Menyapa Nindya ? Guru piket? Penjaga sekolah? Atau terdiam.
Mungkin yang terakhirlah yang akan dia pilih karena tidak ada lagi yang dapat ia lakukan. Jadi diam adalah caranya yang tepat
Setidaknya untuk saat ini..
***
Kini Adnan telah sampai di sekolah dan berjalan menuju kelas namun saat di lobi dia mendapatkan salam yang hangat dari guru piket.
"walaah.. Adnan ? tumben dateng pagi.?"
Seperti menyindir Adnan dengan kelakuanya akhir-akhir ini yang sering datang terlambat.
"eh ibu.. Pagi bu.."
Adnan menjawab salam yang menyindir dirinya dengan ramah dan mencoba untuk bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
"iya bu.. Kebetulan hari ini jadwal piketnya saya dikelas.." lanjutnya
"ooh.. Kamu mah tiap hari aja deh piketnya biar dateng pagi terus.. Biar ibu ngga cape nulis nama kamu di daftar keterlambatan." jahil guru piket kepada Adnan
"si ibu.. Bisa aja. Mm.. Saya pamit ke kelas dulu ya bu.. Permisi.."
Adnan mengakhiri percakapan yang sebenarnya tidak dapat ia terima, namun mau tidak mau harus dia telan juga karena memang itu adalah kesalahanya.
Pagi ini perasaan Adnan masih canggung dengan seisi sekolah karena kejadian kemarin yang di mana dia berkelahi dengan Haikal.
Namun karena mungkin Adnan sudah terbiasa dengan sikap masa bodo dan cuek terhadap sekelilingnya jadi ya.. Lagi-lagi dia menghiraukannya.
Di sepanjang koridor kelas ketika Adnan berjalan dengan santai menahan rasa malu yang bercampur kesal.
Sedikit banyaknya dia mendengar gosip tentangnya yang dibawa oleh angin membisikan dengan sangat perlahan membuat sebuah luka.
"eh.. Liat tuh si Adnan yang ribut sama haikal kemaren.. Tau ngga ternyata Nindya milih haikal dan ninggalin dia.." seorang siswi bergosip
"emang iya.? Lu tau dari mana.? Kasian ya dia.. Lagian bego si, ngapain juga dia ngerebutin Nindya yang pada akhirnya dia ditinggal jugam. Ahhaahaha.." cetus siswi dan tertawa kecil
Mereka menertawai Adnan dengan kebodohannya dan angin yang dengan jujurnya memberi tahu Adnan
Memberikan sebuah luka dengan dalam kejujuran dan kepolosan angin. Dan ada benarnya juga percuma saja Adnan mengharapkan Nindya pun Nindya memilih pergi darinya.
Entah memang karena sebuah kebodohan yang menghancurkan hubunganya dengan Nindya. Atau memang sudah jalanya.
***
"Tolong hentikan ini, aku diam tapi perasaan ini tetap melukaiku.."
-Adnan***
"hmm.. Bodohnya gua.."
Gerutu Adnan pada sebuah angin yang membisikan sebuah luka kepadanya.
"Andai aja.. Gua ngga bego sama perasaan mungkin semua akan baik-baik aja.."
Langkahnya terhenti tepat di depan kelasnya Adnan menarik nafas cukup panjang sebelum melanjutkan langkahnya memasuki ruang kelas
Perlahan langkah demi langkah mengiringi sorot mata seisi kelas memperhatikan Adnan berjalan.
Adnan menatap kosong kepada mereka menganggap tidak ada yang perlu di khawatirkan.
Dengan berat hati Adnan menempelkan bokongnya ke kursi tempatnya duduk. Dan menutup kepalanya dengan tas
Berharap seisi kelas tidak lagi memperhatikannya dengan sorotan mata yang tidak mengenakkan.
Jantung Adnan mulai berdegup cukup kencang ketika suara seseorang gadis memanggilnya, dia gelisah..
"Nan.."
"haa.. I..iiya.?"
Jawabnya dengan gugup dan melihat kearah dimana suara bersumber. Ternyata disana berdiri sesosok murid perempuan melambaikan tangannya mencoba mengarahkan pandangan Adnan
Gadis itu mendekat kepada Adnan dan memulai kata-katanya dengan cukup ramah.
"hmm.. Hai, gua rotua.. Lu masih inget ngga? Yang waktu itu minjem uang lu.." gadis itu mengenalkan dirinya
"iya inget.. Ada apa.?" jawab Adnan masih tidak sadar
"gue mau balikin uangnya doang sih... Haha.. Nih.. Makasih ya.." kata Rotua menyodorkan uang
"eh iya.. Selow aja kali.." kata Adnan sedikit menolak
"udah nih.. Ahh.. Lagian juga gue kan bilangnya minjem.." Rotua memasukan uangnya kedalam saku baju Adnan
"hehee.. Iya iya sama-sama." jawab Adnan memalu
"iyaudah si gitu doang.. Hmm.. Gimana nanti pas istirahat kekantin yuk.. Gue yang bayarin okay.. Mau ngga?" Rotua menawarkan kebaikannya
"mmm..." Adnan berfikir
"udah mau aja nanti gua jemput kekelas, lu jangan kemana-man oke.."
Rotua menyela Adnan dan pergi dengan tangan melambai keluar kelas, disaat bersamaan Adnan tersenyum.
Perasaan Adnan berubah seketika Rotua menyapanya dan melukiskan sebuah goresan di benaknya bahwa mereka dapat berteman.
Adnan dalam hatinya menerima tawaran dari Rotua mencoba untuk membuka sebuah lembaran baru.
Sebuah Lembaran PERTEMANAN...
***
"Setidaknya dia bisa menjadi temanku... "
-Adnan***