Kejutan Pagi

58.8K 9.3K 1K
                                    

Jantungku sudah jumpalitan seakan hendak kabur dari rongga dada. Aku memejamkan mata, seperti yang biasanya dilakukan tokoh-tokoh di novel atau film saat hendak dicium. Inhale, exhale, Nuansa! Tanganku gemetaran.

"Cium! Buruan!"

Tanganku berkeringat.

"Lama amat, elah, macem sinetron."

Aku baru sadar ada yang berbisik di belakang. Sontak, mataku terbuka. Baik aku maupun Sabda menoleh ke belakang, mendapati Dierja melongokkan kepala dari balik pintu. Saudara kembar keparatku itu praktis menutup pintu, lenyap dari pandangan kami. Sekejap mata, aku jadi mati kutu hingga tak berani menegakkan kepala.

"Aku pamit dulu. Selamat malam." Mendengar Suara Sabda, aku mengangguk dan meliriknya. Ia beranjak canggung, langsung membawa pergi kemejanya.

Begitu tak lagi melihatnya, aku menghela napas panjang. Kutiup poni kesal. Aku melompati sofa, lalu berlari menuju kamar Dierja. Ia sengaja mengunci pintu kamar. Sudah pasti, ia berusaha menghindari bogemanku.

"Kamu sedetik aja nggak rese bisa, hah?" seruku jengkel. Kutendang pintu kamarnya. "Ngeselin!" Sekali lagi kutendang pintu itu dan mengacak rambut.

*

Kantor dalam keadaan cukup ramai. Kukira Iota Rho yang datang. Soalnya, hanya dia yang mampu membuat suasana kantor menjadi ramai lantaran hampir semua karyawan perempuan berebut minta foto bareng. Namun, perkiraanku salah. Alih-alih Iota, ada seorang penulis perempuan terkenal, Ruby, yang duduk di sofa tamu. Sementara, beberapa karyawan Aksara mengantre minta tanda tangan dan foto bersama. Aku yang tak begitu tertarik melenggang begitu saja. Hendak memasuki ruang editorial, suara Bu Darla menghentikan langkah kakiku. Aku menoleh, melihatnya melambai memanggilku. Setengah bingung, aku menghampirinya.

"Kalian sana dulu, hush." Bu Darla memerintahkan karyawan lain bubar. Dengan kecewa, mereka melangkah menjauh. "Ini Nuansa, salah satu editor di sini. Meski masih baru, dia yang menangani naskah Aji Manunggal dan Iota Rho. Jadi, kamu...."

Ucapan Bu Darla yang memperkenalkanku pada Ruby terputus saat gadis itu menyeletuk, "Bu Darla yakin dia yang bakal ngurusin naskah saya di sini? Orang baru? Bu Darla tahu kan semua novel saya diedit para editor senior?"

Mataku mendelik mendengar perkataan meremehkannya. Aku tahu ia penulis pop yang karyanya selalu nangkring di urutan nomor satu toko-toko buku, tapi bukan berarti meremehkan orang seenak jidat jenongnya.

"Dia kelihatan nggak berpengalaman," lanjutnya, masih belum puas merendahkanku.

"Eh, begini. Dia ini jadi editor kesayangan Pak Aji, loh. Padahal baru satu karyanya yang dipegang Nuansa. Terus, Iota juga...."

"Berarti dia khusus nanganin naskah berat, kan? Bu Darla tahu nggak kalau karyaku ini semuanya pop? Anak muda banget. Kalau nanti diutak-atik gimana?"

Sudut bibirku terangkat. Aku melipat tangan di depan dada. "Sebelum pegang naskah berat, aku juga sering pegang naskah pop, kali. Meski baru bergabung di tempat ini, pengalaman saya sudah banyak. Saya sudah menjadi proofreader dan editor lepas sejak masih duduk di bangku kuliah. Saya juga pernah jadi asisten penulis pop dan editor senior. Sehebat apa sih karya kamu sampai bisa merendahkan orang?" Aku mengibas rambut.

Ruby menatap tercengang, sementara Bu Darla mengusap wajah frustrasi. Selain Iota, Ruby menjadi tulang punggung di kantor ini. Penjualan novelnya selalu best seller. Kalau Aksara kehilangan Ruby, tentu akan menimbulkan kerugian. Tapi, aku tak bisa diam seperti keledai setelah direndahkan seperti itu. Bahkan, Iota yang kuanggap penulis sombong, tidak pernah merendahkanku sejahat ini.

"Ruby, kalau Ruby nggak mau diedit anak baru, nanti saya lempar ke editor senior, ya."

"Maunya Elisa Restika atau yang selevel!"

Kamu akan menyukai ini

          

"Tapi Elisa udah pensiun, Sayang. Baru beberapa bulan lalu resign. Makanya, Nuansa saya terima di sini buat gantiin. Lagi pula, dia direkomendasikan langsung oleh Elisa Restika." Bu Darla mengembangkan senyum lebar.

Ruby mendengus. "Kalau gitu yang agak lama di sini. Siapa aja, asal bukan anak baru."

"Ya udah. Desi yang saya suruh ngedit."

Bu Darla mengembuskan napas berat. Ia melenggang menuju ruang editorial untuk memanggil Mbak Desi. Ruby melengos. Ia membuka novelnya sendiri dan membacanya. Aku tertawa pendek.

"Popular author nowadays... Like a bunch of shit." Aku berbalik badan.

Mendengar ucapanku, Ruby mengempaskan novelnya ke meja. "Lo kalau nggak suka sama gue bilang aja."

Memutar badan menghadap ke arahnya, aku tersenyum. "Iya, gue nggak suka sama lo. Jangan mentang-mentang situ terkenal, situ bisa mandang rendah orang lain. Attitude comes first, Darling. Popular without manner is nothing." Aesh, aku paling benci berdebat dengan anak kemarin sore.

Seolah Tuhan tidak ingin perkelahian antara penulis terkenal dan editor terjadi di sini, seseorang berdeham. Aku kaget mendapati Iota sudah berdiri di sebelah. Melihat kedatangannya, Ruby mengubah ekspresinya, yang mulanya seperti setan berubah menjadi malikat polos.

"Io, kamu di sini juga. Pasti tahu dari Insta Story-ku, ya?" tanya Ruby bersemu merah.

Iota tertawa tak bersuara. Detik berikut, Bu Darla muncul bersama Mbak Desi. Kacamata Bu Darla diturunkan bertemu dengan Iota. Sebelum wanita itu membuka mulut, Iota membungkam dengan menggandeng pergelangan tanganku dan berujar,

"Saya izin bawa dia, mau rapat." Lantas, menyeretku keluar kantor.

*

"Can you stop forcing me like this?" Aku memutar mata begitu samai di kafetaria kantor.

Iota tersenyum singkat setelah duduk di depanku. Ia menopang dagu memandangku.

"Kenapa nggak ada kabar lagi? Gue nungguin perkembangan naskah, tahu."

"Sabar kenapa, sih. Naskah yang gue pegang bukan cuma punya lo doang. Gue sampai lembur dan ngorbanin weekend."

Ia mengangguk-angguk. Ditinggalkan aku dalam kebingungan. Ia melangkah menuju ke konter es krim, lalu memesan dua gelas. Setelah me dapatkan dua gelas es krim, ia mengangsurkan satu untukku.

"Gue ke sini pengen makan es krim sama lo. Biasanya gue kalau ke sini mampir beli es krim."

Sebelah alisku terangkat. "Kok lo tahu sih gue suka es krim matcha?" Mataku menyipit.

Ia menyengir dan mulai menyendokkan es krim ke mulutnya. "Di Instagram lo pernah posting es krim matcha dan dikasih emoji love."

Aku berhenti menggerakkan sendok. "Demi apa lo stalking gue sampai kiriman dua tahun lalu?"

Iota bergeming. Ekor matanya diarahkan padaku. Ia berdeham, lalu melahap es krim vanilanya lagi.

"Makan, keburu meleleh, Anca. Tuh tuh udah mulai meleleh." Ia menggerakkan tanganku, menyuapkan sesendok es krim ke mulutnya. "Enak."

Sudut bibirku menukik ke atas. Aku tersenyum sepanjang melihatnya makan es krim. Ia tak lagi memandangku. Barangkali telanjur malu ketahuan memeriksa Instagramku sampai sejauh itu.

Untuk ucapannya tempo hari, aku sudah melupakannya. Aku menganggap ucapannya waktu di rumahnya sekadar kalimat sambil lalu yang keluar dari seseorang yang merindukan kasih sayang kakak ke adik.

Gincu #1: When You Have Hot Neighbor but He Does(n't) Like You (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang