[9] Bingkai Diorama Kehidupan

59 0 0
                                    

Karya : Rafafida


BINGKAI DIORAMA KEHIDUPAN

Syahdan, tertoreh secangkir kopi disudut meja. Pandangan tersudut pada seorang pria yang sudah berkepala empat.Tetesan kopi hitam yang menempel pada sudut bibir tebalnya. Kacamata silindris yang selalu tersimpan menemani kedua matanya.

Kini selembar kertas putih berada dalam genggamannya.Kulit sawo matang yang tersapu mentari pagi seakan ada sedikit kecerahan saat ia duduk manis diatas kursi rotan sembari membaca aksara tinta hitam. Ia termenung saat membaca kalimat akhir dari selembar kertas putih yang bertuliskan :

" Yas, apa kau ingat masa dimana kita layaknya seorang Marcopolo?Sungguh itu sebuah kekonyolan.Tapi kita berlagak bak Marcopolo dengan alasan yang jelas.Kami rindu akan kebersamaan.

TTD

Thomas & Piyaga

"

Sejenak ia terdiam.Otaknya yang terus berputar hingga kedalam bagian temporal.Denyut nadi yang terasa berhenti saat terjun masuk kedalam sebuah kenangan.Dalam hatinya mungkin ia berpikir mengapa Tuhan menciptakan sekeping hati begitu rapuh dan mudah terluka saat ia dihadapkan dalam sebuah kenangan kebahagiaan yang menusuk relung kekosongan hati didalamnya.Menimbulkan segudang tanya,menghimpit bayangan dan menyesakkan dada.Sesak karena hal itu dalam logika sehat tak dapat terulang kembali. Bagai sayap yang telah hancur,berserakan.Hanya bayangan yang ia dapat. Otaknya terus teringat akan hal beberapa puluh tahun lalu yang pernah ia jalani.Otak tuanya yang terus memaksakan diri untuk mengingat dan masuk kembali dalam bayangan penuh kenangan akan sebuah perjuangan

***

Pantulan sinar mentari tepat dihadapan bola mata Isayas paruh baya bak gelondongan kayu terbakar.Terlihat pancaran semangat bagai seutas tali yang terus menyambung tanpa sebuah akhiran.Bebatuan tajam dengan ganasnya menghujam telapak kaki kecil Isayas. Dengan tangan terkepal dan kaki tanpa alas ia tetap tak menghiraukan begitu tajamnya bebatuan dalam jalan setapak,bahkan banyak pula tumbuhan liar bagai duri mawar yang mungkin sengaja melukai pelipis kaki si kulit sawo matang.

"Hai kamong,kamari!" teriak Isayas,mungkin ia berteriak karena suaranya yang kecil tak mau kalah dengan desisan angin dan daun dalam hutan yang saling bergesekan seakan merekalah yang menjadi penyahut ketika alam berbicara.

"Hai Isayas!cepat kamari,kami menunggu kau" teriak Thomas, yang tak lain sahabat karib Isayas.

"Santai lah kawan,ini baru setengah perjalanan.Setelah itu kita harus menempuh satu setengah hari.Belum lagi saat senja datang kita harus beristirahat ditengah hutan dengan perbekalan seadanya.Pagi datang kita meneruskan perjalanan,dan saat senja kembali lagi mungkin kita sudah sampai.Beruntunglah orang diluar sana yang masih sempat mengenyam pendidikan tak sesulit kita.Tapi kebanyakan dari mereka yang sering tak menghargai fasilitas dan jerih payah orangtua yang telah diberikannya untuk mereka."gumam Isayas dengan sedikit nafas terengah.

" Dengar ya kawan,setiap bunga akan mekar ketika saatnya tiba seperti forsythia,kamelia,dan bunga-bunga lain,bebungaan itu tahu kapan mereka akan mekar; tidak seperti kebanyakan dari kita yang selalu ingin mendahului yang lain.Apakah kalian merasa tertinggal dari saudara kita yang ada di ibukota?Apakah kalian merasa menyia-siakan waktu sementara saudara kalian mulai melangkah menuju kesuksesan?Jika kalian berpikir demikian,ingatlah bahwa kalian memiliki masa mekar sendiri,begitu juga dengan saudara kita yang jauh nun di ibukota sana.Musim kita belum datang.Namu,ia akan datang ketika kuncup terbuka.Mungkin kuncup itu mekar lebih lama daripada yang lain,tetapi ketika sampai pada waktunya kamu akan mekar begitu indah dan menawan seperti bebungaan lain yang telah mekar sebelum diri kalian.Jadi angkatlah kepala dan bersiaplah menyambut musim kalian, yang juga musim kita"Gumam Piyaga sebagai penengah sekaligus pengakhir pembicaraan.

Sejenak suasana menjadi sunyi senyap mendengar lontaran kalimat pembicaraan Isayas dan Piyaga.Daun dan pepohonan ibarat saling bercengkrama tertiup hembusan angin lalu mengatup bak putri malu yang tersentuh.Keadaan saat itu seperti seekor gagak yang menghujam paruhnya kedalam bangkai yang sama.Sungguh,saat itu tak ada mulut yang ternganga satu milimeter pun.

Matahari terasa tepat 1cm diatas kepala.Peluh mulai bercucuran dari dahi Isayas,begitupun beberapa anak lainnya yang mengikuti Isayas dari belakang. Suasana dimana titik emosi sedang memuncak.Amarah yang terus bergejolak.Penyesalan akan mengapa mereka harus sesulit ini untuk menempuh pendidikan.Sulit bagai mencari jarum dalam jerami.Tapi dalam benak mereka,mereka harus mensyukuri apapun yang telah Tuhan beri.Harapan mereka yang bisa berteleportase sungguh itu hanya angan belaka bagi Isayas dan kawan kawannya,lebih tepatnya lagi itu sebuah hal mustahil seperti mereka mendambakan sekolah yang berdiri dengan tegak di hutan daerah Manokwari.

"Ayo semangat !!" teriak teman teman dibelakang Isayas. Isayas yang hanya melontarkan senyum khas nya menanggapi perkataan kawannya.

"Tak terasa waktu sudah senja.Cepat kamari kawan kita pasang tenda untuk sekedar merebahkan badan sejenak.Kumpulkan kayu hutan.Kalian mengerti?" Perintah Isayas seperti komandan.

Hawa dingin hembusan angin dengan cuaca kebekuan yang mengiris sendi tulang. Sesekali mata Isayas tetap terjaga dalam kesunyian yang merayapi malam. Pandangan yang terasa buram,tak ada yang berani membandingkan derau angin malam dengan desahan bayi yang nyenyak dalam buaian. Menatap malam dengan cahaya gemerlap bintang yang bertaburan. Nampak dalam bayangan,kasih cinta dan kebersamaan yang selalu tertuang setiap waktu bersama hanya untuk menimba secarik ilmu dengan tujuan mengejar harapan.Tampaknya bagi Isayas dan kawan kawanya untuk menggapai dunia pendidikan itu sesulit metamorfosis kupu kupu dalam fase si sayap indah yang akan keluar dari kepompong.Dalam hati kecilnya ingin melepas penat dalam deburan ombak dilaut lepas dan memicingkan mata ke langit biru walau sekedar melihat kerumunan burung albatros yang saling bergurau.

Setelah kantuk menghanyutkan roh nya ke alam mimpi, tak terasa pancaran sinar memantul kedalam tetes embun yang membasahi daun eucalyptus dan manoa pinnata.Isayas dan kawannya meneruskan perjalan ke Desa Bahamyenti. Desa Bahamyenti inilah tempat dimana mereka mencari sebuah ilmu,membaca setiap huruf,menulis dalam secarik kertas.Perilaku tangan dan tatapan mata yang menjadi saksi bisu akan usaha dan kehadiran mereka ke dunia bagai air danau tenang yang memantulkan cahaya mentari dalam sejuknya angin pagi. Dalam perjalanannya menuju sebuah bangunan yang sering sebut sebagai sekolah ia berharap bahwa ayahnya melihat dan bangga akan perjuangannya walau melalui tirai keabadian.

Kicauan burung menambah semangat pagi.Desau angin membuat otak segar kembali. Hutan kini berganti dengan hamparan padang rumput dengan ribuan ilalang seakan melambaikan sambutan kepada kerumunan Isayas. Disisi kanan dan kiri tersuguh eloknya cemara yang kokoh berdiri dalam tanah hijau perbukitan.Langit biru pertanda kedamaian, tak tampak pula awan kumulus nimbus yang biasanya menghancurkan cuaca indah dengan awan yang terlihat bagai kapas putih.

Padang rumput kini berganti menjadi hamparan tanah becek dengan jejak telapak kaki kerbau dan orang yang berlalu lalang. Aktivitas kehidupan manusia sudah mulai terlihat di desa bahamyenti mulai dari pemanggul jerami,penarik kerbau bahkan pedagang.Tak satupun dari komplotan Isayas yang mau meninggalkan momen berharga ini,momen dimana mereka tak akan mereka temui dihutan daerah Manokwari.

Senja datang kembali,kaki kecil mereka yang terus berjalan tiada henti.Kepastian belum saja menghampiri.Bagai menunggu bangkai kasuari yang telah mati,mereka menapaki jalan tanpa setengah hati.Kini mereka beranggap bahwa hidup itu seperti permainan catur,harus dijalani dengan hati hati,sama hal nya dengan nasib yang tengah mereka jalani.Kini mata mereka dihadapkan pada sebuah bangunan tua dengan tiang bendera yang menjulang tinggi ditengan bangunan tua itu.Mereka menatap bangunan tua dengan pondasi kayu yang sudah termakan usia.Dan bangunan inilah yang akan menjadi saksi sejarah kehidupan bagi mereka terutamanya bagi Isayas si kulit sawo matang.

***

Ia terdiam untuk kedua kalinya.Sepertinya ia merindukan Isayas paruh baya. Masa dimana dirinya hidup dalam beribu tahap perjuangan,menyelesaikan permasalahan,hidup dengan jalinan persahabatan.Air mata kerinduan Isayas seakan pecah menggema bagai suara merantai diatas tebing saat ia keluar dalam pemikiran fase sebuah kenangan.Kini ia mengerti akan sepucuk surat yang ia terima dari kedua sahabatnya.Tak terasa air mata menetes bagai titik titik embun syahdu yang membongkarkan rahasia mawar layu. Kenangan itu bagai lagu yang dikumandangkan oleh kesunyian,disingkirkan oleh kebisingan,dan dilipat oleh kebenaran, lalu lagu itu disembunyikan oleh kesadaran siang dan dinyanyikan kembali dalam sukma malam.

Cimahi, 25 Juli 2017.

Cerita Pendek 1 AnivWhere stories live. Discover now