Sudah Saatnya

14 1 0
                                    

Biarkan aku dalam pikiranku. Sementara menghilang dari penatnya jalan ini. Adakah yang melihatku bermain? Bersenang-senang tanpa ekspresi. Sejujurnya, dialah teman bermainku. Dia sangat pandai membuat lelucon dan terkadang dia membuatku terkejut saat dia muncul tiba-tiba. Dia juga suka sulap bisa menghilang dari hadapanku. Pernah dia datang dengan teman-temannya lalu kuusir saja mereka. Bagaimana tidak kuusir adakah yang berani menemui mereka, melihatnya pun mungkin kau akan lari.

Pertama bertemu dengannya aku tak merasa bahwa dia berbeda. Dia yang menyapaku pertama.

"Apa kamu bisa melihatku?" Pertanyaan yang aneh, tentu saja aku dapat melihatnya dia tinggi, rambutnya hitam, memakai baju warna putih, dan berkulit putih.

"Apa kamu bisa melihatku? Jika kamu bisa melihatku tentu saja aku juga bisa melihatmu." Kataku.

Dia melanjutkan, "Apakah kamu bercanda atau kamu berbeda?".

"Apa aku berbeda? Maksudmu rambutku ini yang botak tidak seperti perempuan lain yang menggerai rambut mereka?" Aku geram, dia mengingatkanku akan mahkotaku.

"Tidak, bukan itu. Maksudku maukah kamu menjadi temanku?" Ucapnya pelan.

Aku semakin heran dengan semua perkataannya. Sudahlah aku lelah, mungkin dia sedang mempermainkanku. Lalu kutinggalkan dia di sana. Sejak itu dia semakin sering mendatangiku. Aku tak tahu bagaimana dia bisa masuk di rumahku. Aku juga tak tahu harus bagaimana karena orang tuaku berkata bahwa tidak ada seorang pun saat aku merajuk.

Dimana pun aku berada dia selalu mengawasiku, itu membuatku terganggu dalam melakuan kegiatan. Beberapa hari ini dia semakin membuatku risih ketika aku sedang tidur, dia memperhatikanku di meja belajar. Aku juga mempercepat jalanku agar dia tak bisa mengikutiku tetapi itu sia-sia. Dia selalu menemukanku. Walaupun aku melihatnya tetapi aku tak mengajaknya bicara.

Lalu ada saatnya aku bertanya, "Haruskah kamu mengikutiku setiap saat?" Dia tersenyum,

"Iya, karena kamu membuatku hidup kembali."

Apa dia sudah gila atau aku yang gila. Kemudian kuputar ulang memoriku. Kedua kali aku melihatnya saat makan malam.

"Ma, mengapa orang itu ada di sini? Apa dia tamu kita?" Tanyaku. Kedua orang tuaku heran.

"Apa kamu merasa pusing, Nak?" Wajah mereka terlihat ketakutan. Aku memang merasa sedikit pusing.

"Sedikit Ma." Lalu mereka menyuruhku untuk beristirahat, aku menurut.

Ketiga, aku membuka mata dan kulihat wajah seseorang menatapku begitu dekat. Aku mengeluh karena pusing dan membuang pendanganku. Rasanya aku pernah berada di ruangan ini tetapi apa aku diperiksa lagi. Sinar lampu menyorot tepat di atas, silau. Kualihkan tepat jatuh pada seseorang di belakang dokter, "Apa aku sudah berada di surga?" Pelan kubertanya. Mereka menjawab bahwa aku masih hidup. "Lalu siapa dia yang di belakang itu, bukankah itu malaikat maut?" Lanjutku.

Keempat, kelima, keenam, dan seterusnya dia sering mendatangiku. Aku hanya diam dan tenang karena sudah terbiasa dengannya sempat aku berpikir bahwa dia hanya imajinasiku saja. Tetapi, ternyata dia berbeda aku tak dapat menjelaskannya. Akhirnya, aku bisa menerimanya dalam hidupku. Hingga mungkin kita tak akan berbeda lagi ketika waktu membunuhku secara perlahan.

Cerita berlanjut, namaku Zia, aku seorang perempuan yang berada diambang maut. Kini aku hanya ingin menikmati indahnya dunia, menghargai setiap napas yang kuhembuskan, dan membahagiakan orang-orang di dekatku. Di dekatku, dia satu-satu orang yang selalu ada di dekatku untuk menikmati indahnya dunia. Sekarang kami sedang bermain di taman, taman rumah sakit tepatnya. Wajahku terpana melihatnya tertawa lepas. Aku terdiam, melihat tubuhnya berayun semakin cepat di atas ayunan.

"Hei! mengapa kamu hanya diam? Ayo kita terbang ke langit bersama!" Aku memiringkan kepalaku, heran. Seolah-olah hanya dengan berayun kita dapat menggapai langit.

"Tidak mau ah! Tunggu saja disaat dunia kita sama." Senyum getirku mengikuti perkataanku.

Aku tahu, hanya aku yang dapat melihatnya dan berbicara dengannya. Namanya Panji mungkin jika dia masih hidup usianya sama sepertiku, 16 tahun. Satu lagi, nama itu sepertinya tidak asing untukku. Entah aku pernah mengenalnya atau nama itu memang pasaran. Semua orang melihatku dengan aneh, aku tahu karena seolah aku berbicara, tersenyum, dan tertawa sendiri. Tetapi hanya dengannya aku bisa melupakan penyakitku ini.

Panji dan aku menghabiskan waktu hingga sang mentari ditelan megahnya bangunan nan menjulang tinggi. Siluet bangunan itu berlatar belakang langit yang berwarna biru bercampur dengan jingga menciptakan gradasi sempurna. Apakah ini yang dinamakan magic hour, begitu indah. Kuangkat kepalaku dan menari di antara bunga-bunga, akhirnya aku dapat tertawa lepas. Sampai pandanganku jatuh pada suster yang melihat kearahku, sudah saatnya aku diperiksa lagi.

Dia menunjuk jam tangan di tangan kirinya sambil tersenyum. Wajahnya ramah, aku mengenalnya sejak pertama kali aku di sini. Saat aku masih memiliki rambut panjang. Dia menjadi suster yang selalu menemaniku jalan-jalan ke taman. Sebenarnya, dia juga dapat melihat Panji itu sebabnya dia tidak heran saat aku berbicara dan tertawa dengan Panji. Dia pun selalu membiarkanku bermain bersama Panji.

"Sudah saatnya aku menjalani pengobatan, jika kau mengijinkan aku ingin kau menemaniku." Aku menoleh ke arahnya, dia tersenyum. Dapat diartikan dia setuju.

Untuk pertama kalinya aku meminta Panji untuk menemaniku. Kurasa aku memerlukan pendamping untuk menjelaskan bagaimana menghadapi kematian. Aku memang sudah putus asa sedari tadi malam. Mama menyuruhku untuk tidur, lalu kutarik selimut dan menutup mata. Mama mencium keningku, "Mimpi indah sayang." Aku berpura-pura sudah terlelap.

"Tapi dok apa tidak ada cara lain lagi?" Di balik pintu itu aku tahu mereka sedang membicarakanku dan aku juga tahu bahwa mama menangis.

Cairan mendesak untuk keluar dari mataku. Sudah cukup! Aku muak dengan penyakit ini. Kau merenggut semua hidupku! Kau membuat mamaku menangis! Kau menghilangkan rambutku! Kau menghancurkan semuanya. Hanya saja aku mengumpat dalam hati, agar mereka tidak mendengarku. Kuredam suara tangisku, yang membuatku sesekali sesegukan. Darah segar keluar mulus melalui hidungku. Air mata bercampur darah sukses melumuri kedua tanganku. seketika gelap dan penglihatanku juga menjadi remang-remang kemudian menghitam. Aku merasakan kesakitan luar biasa di sekujur tubuhku. Masih kurasakan, sampai pada satu titik dimana aku tidak lagi merasakan rasa sakit itu lagi. Sebelum aku benar-benar tak sadarkan diri aku melihat sekilas Panji berada di sampingku, dia menepati janjinya.

Samar-samar kulihat mereka berlari kearahku, mama menangis histeris, para dokter datang memasangi banyak alat di tubuhku, dan Panji tersenyum kepadaku.

"Sudah saatnya." Sahutnya. Selamat tinggal semuanya, aku terlelap.

Biarkan aku terbaring dalam lelapku, karena jiwa ini dirasuki cinta, karena kedua bola mata ini telah teramat lelah. Hapus air matamu Ma, ciumlah dahiku Yah. Kemarin aku sendirian di dunia ini, kemarin diriku adalah sepatah kata yang tak bersuara. Kini aku menjelma menjadi nyanyian menyenangkan di atas tanah baru ini. Itu karena kau, datang dan menarikku ke duniamu.

~selesai~

haiii... teman-teman! sebenernya ini adalah tugas cerpen semester lalu, wkwkwk dari pada nganggur di dokumen lebih baik aku post deh. :) :) :)

Sudah Saatnyaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن