Prolog

60.3K 3.5K 224
                                    

Kata orang pelacur itu adalah pekerjaan yang paling hina. Menjual tubuh untuk kesenangan para lelaki hidung belang di luar sana. Ya, aku membenarkannya. Karena aku merupakan salah satu bagian dari mereka. Menjadi seorang pelacur bukanlah kemauanku, bukan juga menuruti hawa nafsu, melainkan hanya untuk mencari sesuap nasi.
Apalagi jika tinggal di kota besar seperti Jakarta ini. Walaupun jujur aku tekankan, bahwa pekerjaan ini HARAM.

Jujur saja, terkadang aku pun malu dengan pekerjaan yang hina ini. Hidup hanya bermodalkan badan, penuh dosa, selalu jadi cemoohan orang dan yang pasti dikucilkan para masyarakat. Kecuali para pria yang haus akan nafsu, tentunya mereka membutuhkan orang sepertiku.

Kalian juga pasti tahu bahwa mencari uang tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Namun di luar sana masih banyak orang yang tidak bersyukur dan membuang uangnya ke hal yang tidak berguna. Terlebih para ABG jaman sekarang, sudah seharusnya bersyukur memiliki orang tua yang mampu membelikan segalanya untuk mereka tanpa harus bekerja keras atau menjual badan seperti aku.

Hidup memang terkadang tidak adil, tapi apa boleh buat. Aku tidak bisa protes atau menuntut pada Tuhan, memangnya aku siapa? Aku ini hanya mahkluk ciptaannya yang lemah. Jadi tidak ada pilihan, selain menerima kenyataan. Maka dari itu, aku harus tetap melangkah maju dan berjuang sendiri demi putriku.

Namun sepertinya malam ini bukanlah hari keberuntunganku. Pelanggan pria yang datang ke klub pun tidak begitu banyak, mereka lebih memilih minum daripada memakai jasaku. Dengan langkah lemah aku keluar dari tempat hiburan malam. Aku lebih memilih pulang ke kontrakan daripada duduk dengan para pria yang sudah mabuk itu.

Sesampainya di parkiran aku berhenti ketika melihat seorang pemuda berdiri dengan posisi punggung bersandar di pintu mobil sambil memainkan ponsel di tangannya. Aku berinisitiaf mendatangainya, berharap dia mau memakaiku malam ini.

"Hai," Sapaku lembut dengan bibir tersenyum.

Dia mendongak menatapku. Aku berhasil mengalihkan perhatian pria itu dari ponsel di tangannya.

Sesaat dia bingung. Dia melirik kanan dan kiri untuk memastikan bahwa dia orang yang aku sapa barusan.

"Aku?"

"Iya." Kepalaku mengangguk. "Sendirian?" Tanyaku lagi sambil berdiri di sebelahnya.

"Hmm sebenarnya tidak. Aku datang bersama beberapa teman, hanya saja mereka masih di dalam klub."

"Kenapa tidak bergabung dengan mereka dan malah memilih berdiri sendiri di sini?" Tanyaku sekedar ingin tahu.

"Di dalam terlalu ramai dan musiknya juga begitu bising di telingaku."

Sesaat aku terdiam. Lalu detik berikutnya aku tertawa akan jawaban pemuda itu. Apa dia tidak tahu kalau yang namanya klub itu sudah pasti ramai dan bising, kalau mau sepi ya di kuburan saja.

Sepertinya aku salah mendatangi pria ini. Seharusnya aku pulang saja tadi.

"Ada yang lucu?" Tanyanya bingung.

Aku bergeleng pelan dan menghentikan suara tawaku. "Tidak." Meskipun aku bisa menebak jawaban apa yang akan dia berikan nanti, tapi aku tetap penasaran dan bertanya padanya. "Apa kamu butuh teman hiburan? Maksudku, memberikan kehangatan di atas ranjang untukmu. Aku bisa memberi tarif murah jika kamu mau."

Aku baru sadar kalau pemuda ini memiliki dua mata hitam yang pekat. Pandangannya juga begitu meneduhkan hati bagi siapapun yang melihatnya.

"Maaf. Aku bukan lelaki yang melakukan hal seperti itu," Ucapnya sopan.

Sudah kuduga. "Lalu untuk apa kamu datang ke tempat hiburan malam ini?"

"Teman sekantor ada yang merayakan ulang tahun di sini. Jadi aku datang untuk menghargai undangannya."

Aku kembali mengangguk. "Oh."

"Kamu sudah lama kerja di sini?"

"Hmm, belum lama. Mungkin sekitar enam bulan. Soalnya susah nyari kerja, apalagi yang hanya lulusan SMA seperti aku."

Dia tersenyum kecil. "Apa sih yang tidak mungkin di dunia ini? Walaupun lulusan SD juga insya Allah pasti ada kerjaan yang lebih baik."

"Pernah sih dulu jadi Pembantu, tapi aku malah sering disiksa sama majikan. Terus gaji aku dibayar kecil, sementara putriku di rumah butuh makan."

"Putri?" Sebelah alis hitamnya terangkat menatapku. "Kamu sudah punya anak? Maaf sebelumnya, tapi suami kamu kemana?"

Biasanya aku tidak pernah menceritakan masa lalu kepada siapapun. Tapi entah mengapa bibirku begitu lancar mengucapkannya kepada pria yang baru saja aku kenal beberapa menit tadi. "Aku nikah muda. Lalu setahun kemudian, dia menceraikan aku dan pergi dengan wanita lain."

"Jadi sekarang kamu hidup cuma berdua dengan putrimu?" Tanyanya lagi. Mungkin tertarik dengan kisah hidupku.

"Iya kami hanya hidup berdua di kontrakan." Kukeluarkan ponsel dari kantong jeans dan menunjukkan wajah putriku padanya. "Namanya Kasih Janiella. Bulan depan dia berusia tujuh tahun. Cantikkan?"

Pemuda itu tersenyum menatap wajah putriku dari layar ponsel. "Ya. Dia anak perempuan yang cantik sekali."

"Aku berharap nanti jika putriku sudah besar, dia tidak akan seperti aku."

Iris mata hitamnya beralih memandangku. "Maaf, aku tidak bermaksud untuk menyinggung. Tapi apa kamu pernah berfikir, bahwa pekerjaan ini haram?"

"Bukan pernah lagi, tapi selalu. Tapi mau bagaimana lagi aku dapet uang? Kedua orang tuaku sudah meninggal. Dan aku tidak mungkin minta-minta kepada saudara."

"Kasihan anak kamu. Dia memakan uang haram."

Aku mengerti, dia tidak sedang menghinaku. Tapi dia lebih prihatin pada nasib putriku. "Aku selalu berdoa pada Tuhan, biarlah aku yang menanggung dosa itu semua. Yang penting anak aku bisa makan enak dan bisa sekolah."

"Semoga kamu cepet dapat hidayah. Jadi kamu bisa dapat pekerjaan yang lebih layak."

Aku yakin itu perkataan tulus dari hatinya.

"Amin. Terimakasih sudah mau ngobrol sama aku."

Dia tersenyum. "Memang kenapa? Tidak salah kan?"

Aku mengedikkan bahu. "Kebanyakan orang-orang ngucilin aku. Paling yang mau bicara itu Om-Om atau pemuda yang mau jadi langganan aku."

"Semua orang derajatnya sama. Yang membedakan cuma amal perbuatan saja."

"Ya. Kamu benar." Aku memandangnya dengan penuh kagum. Bukan karena wajahnya yang tampan tapi lebih ke sikapnya yang bersahaja dan ramah padaku.

Selama dua puluh empat tahun aku hidup, untuk pertama kalinya aku bertemu dengan lelaki yang berbeda. Percaya atau tidak, tapi hatiku mengatakan kalau dia adalah pemuda yang baik dan tahu cara menghargai seorang wanita.

Dia menatap uluran tangan kananku padanya. "Senang bisa berbicara denganmu."

"Aku juga senang bisa berbicara denganmu," Balasnya dengan menyambut tanganku.

Lalu aku memutuskan untuk pergi dari sana. Semoga saja Kasih tidak terbangun, karena jika itu terjadi dia pasti akan duduk di depan kontrakan rumah sambil menungguku pulang.

17-Oktober-2017

Tangan gue lagi gatal pingin publish cerita ini. By the way yang nggak suka cerita sedih atau wanita pelacur, lebih baik jangan dibaca. Gue serius, ini cerita bakalan miris dan berpotensi menyayat hati. Nggak ada happy2nya sama sekali. Jadi gue nggak tanggung kalo kalian bakalan kesal atau emosi baca ini. Karena gue udah kasih peringatan. Hohohoho....

By the way gue terinspirasi judul cerita ini dari lagu Eppure Sentire. Liriknya sedih, jadi gue kepikiran untuk buat cerita sedih juga.

Semoga ide lancar jadi bisa update setiap hari. Hihihihii

Eppure SentireΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα