Tampan sedikit nggak percaya dengan ucapan Rara. Mana ada Teo ngambek karena itu? Teo mungkin punya alasan lain yang lebih “bisa diterima”. Rara terlalu mengada-ngada. Tampan juga tahu, Teo nggak mungkin mencurahkan hasratnya begitu saja pada Rara. Tampan tahu Teo seperti apa, Teo bukan tipikal cowok yang sembarang curhat tentang perasaannya. Apalagi mengenai hal “seintim” itu.
Bukannya Tampan nggak mau.
Tapi…
… Apa ini nggak terlalu awal?
Maksud Tampan… ia pikir ini belum saatnya.
Menurut umur memang sudah, tapi kesiapan mental untuk melakukan itu… Tampan rasa, ia belum siap.
Tampan nggak tega menyetubuhi Teo. Tampan jelas akan menginyakan, kok. Namun dengan catatan, semua itu harus keluar dari mulut Teo sendiri, dan didengar dengan telinga Tampan pribadi. Rara itu nggak bisa dipercaya, sumber tersesat yang pernah ada. Tampan tahu, Rara membecinya ketika awal kenal dulu. Mungkin rasa itu masih ada sampai sekarang. Dan ini muslihatnya untuk melancarkan aksi isengnya dengan mengumbar kebohongan.
Tapi… bagaimana kalo itu benar?
Rara sahabat Teo, Teo dekat dengan Rara, Rara teman sekelas Teo, pun juga Teo yang sering bersama dengan Rara. Mereka sudah seperti sodara kembar beda ibu. Kemanapun selalu bersama. Kalo dinalar, apa Teo tega untuk menyembunyikan secuil perasaan ganjil di hatinya pada Rara? Jelas, Teo pasti minta solusi. Teo pasti akan curhat. Mungkin mengenai apapun. Termasuk… hal yang macam itu tadi?
ARGH! Tampan pusing!
“Nggak ada stok muka lain, apa? Cemberut mulu.” Tampan bertanya pelan. Memandangi wajah yang terlihat bete sejak kemarin lalu. “Mana nggak bilang ‘sayang’ lagi pas ketemu!”
“Emang perlu?” Teo melirik. Jujur, ini tatapan paling mengerikkan yang pernah Teo kasih ke Tampan. Sadis!
“Nggak, sih.” Tampan tertawa garing. “Pengen denger aja kamu ngomong gitu.”
Teo mengalihkan pandangannya lagi. Sepertinya, buku komik itu lebih menarik dibanding kehadirannya sekarang ini. Tampan seperti nggak dianggap. Kalian tahu nggak, sih, rasanya dicuekkin? Padahal, Tampan sudah menunggu momen-momen seperti ini.
“Atau jangan-jangan, kamu udah bosen yah sama aku?” lagi-lagi Tampan bersuara lembut. Namun ucapannya itu disambut tolehan cepat dengan alis mengerut.
“Kok ngomongnya gitu??” Teo meninggi. Emosi.
“Terus… alasan dari semua ini tuh kenapa? Aku bingung, apa semua ini ada hubungannya sama aku? Kalo misalnya enggak, kenapa aku ikut dicuekkin? Kalo iya, aku pengen tahu alasannya kenapa?” Kalimat Tampan menahan tatapan Teo.
Entah kenapa, Teo jadi menelan ludahnya sendiri. Apa Teo sudah kelewat batas? Lihat ekspressi Tampan itu! Teo nggak tega! Tampan kelihatan bingung dengan semua ini. Jelas! Karena Teo juga enggan memberitahunya. Namun, perlu diingatkan. Demi kejutan! Rencana ini belum selesai. Teo masih dalam misi.
“K-kamu nggak salah apa-apa, kok!” Teo mencoba ketus kembali. Berkedip cepat.
“Terus? Salahku diman…” Teo sudah terlanjur berdiri. Melangkah dua kali, namun kembali berbalik.
“A-aku masuk kelas dulu!” Teo meremas jarinya ragu. “K-kamu juga langsung masuk kelas!”
Tampan jelas mengerut. Namun sebelum sempat ia bertanya, kaki itu kembali bergerak. Melangkah cepat menuju lorong. Dikala derap langkahnya memudar, rasa penasaran ini justru makin menguat
Di sepanjang derap langkahnya, Teo mengutuk dirinya sendiri. Teo nggak bisa terus seperti ini. Rasanya Teo nggak tega terus pura-pura marah di depan Tampan. Teo ingin secepatnya mengakhiri sandiwara kecil ini. Rasanya bener-bener nggak nyaman!
***
Tampan nggak kelihatan marah sedikitpun hari ini. Malah, Tampan terlihat sebaliknya. Teo menatap Tampan kasihan. Gimana enggak? Tampan terus bertanya Teo kenapa. Dan Teo masih urung untuk menjawab. Tampan sudah kepo habis-habisan. Cowok itu sedang dirundung banyak tanda tanya akan dirinya. Ucapannya hari ini membuat Teo benar-benar merasa bersalah.
Sosok yang dipikirkannya melambai dari tengah lapangan. Kaos olahraga itu basah di bagian dada dan pangkal lehernya. Tampan diguyur hujan keringat. Teo membalas lambaian kecil. Nggak lupa memasang senyum.
Alih-alih menurunkan tangan, Tampan justru bergerak mendekat. Sekarang kilauan titik-titik air di dahinya makin terlihat nyata. Membentuk aliran kecil yang meluncur dari pelipis, pangkal rahang, dan jatuh melalui leher ke dalam kausnya.
Teo masih fokus menatap gerombolan laki-laki yang sedang berebut bola di tengah lapangan. Mengoper kearah kawan menghindari terkaman lawan. Tanpa disadari, Tampan mencuri-curi pandang kearah Teo.
“Temenin aku, yuk!”
Teo menoleh, “Kemana?”
“Ke ruang ganti bentar. Aku mau ambil sesuatu.”
“Kalo ada guru gimana?”
“Emang mapel apa?”
“Bahasa Inggris.”
“Ck! Pak Widi juga! Gurunya mah nyante! Yuk!”
Teo mengiyakan. Beranjak setelah Tampan. Menjajarkan langkahnya di sampingnya. Tampan sesekali mencoba mengaitkan tangannya pada Teo. Kayak truk gandeng. Tapi Teo menepis lembut. Teo nggak mau menjadi objek perhatian kedua kali. Meskipun nggak ada orang di lorong ini, tapi Teo nggak buta teknologi. Ada mbak CCTV yang siaga melototin mereka setiap waktu.
“Mau ambil apa emang?” Teo basa-basi.
“Baju.” Tampan membuka sebuah loker. Teo menyandarkan punggungnya sepuluh senti di sampingnya. Teo pikir, Tampan hanya akan mengambilnya. Namun dugaan Teo salah.
Tampan berdekhem. Dengan cuek, cowok itu menarik kaosnya keatas. Memperlihatkan perut ratanya yang terbentuk samar. Teo hampir menahan napas ketika melihat Tampan tanpa atasan. Dada bidang itu membuatnya berdesir, merasa nggak karuan ketika melihat puting coklat muda Tampan yang sembunyi malu-malu. Terlebih ketika sorotan cahaya lampu membuat kilatan penoda mata yang menggiurkan di tubuh Tampan. Ditambah mimik lelah itu, rambut Tampan yang berantakan basah akan keringat berhasil menghipnotis iman rapuh Teo.
Untuk kali ini…
…pacarnya benar-benar seksi..“Suka yah lihat aku kekgini?”
Teo mengerjap. Tampan malah tersenyum. Oke, ini nggak bisa dibiarin. Teo harus membuat penyangkalan! Malu-maluin!
“S-siapa bilang?” Teo mencoba fokus menatap wajah Tampan, nggak dengan tubuhnya itu! Tapi tetap aja, mata nakalnya ini nggak bisa diajak kerja sama. Ada aja lirikkan-lirikkan yang membuat tatapannya jatuh ke tubuh menggiurkan itu. Oke, pipi Teo mulai panas.
“Bohong, ah. Kamu suka kok lihat aku kekgini.”
Teo menelan ludahnya. Menggeleng cepat. Memberanikan diri menggunakan nada tinggi. “Badan kamu tuh kerempeng! Aku lebih suka yang berotot!”
Tampan menatapnya. Okeh, Tampan tersinggung. Memangnya Tampan sekerempeng itu? Tubuh Tampan sedengan, kok! Nggak kurus-kurus amat. Bahkan bisa dikatakan berisi. Tampan memang nggak terlalu berotot. Hanya sebatas biceps dan triceps. Tapi Teo malah mengatainya kerempeng??
Tampan mendekatkan tubuhnya. Mengunci tubuh Teo di antara kedua lengannya. Teo menelan ludah. Hatinya bergedup kencang, aliran darahnya berdesir tak karuan. Aroma khas dari tubuh Tampan membuat tubuhnya merinding.